Pengalaman sebagai anggota Korp Sukarela atau KSR angkatan ke 2 pada th 1977 dari PMI Cabang Malang saya banyak terlatih dan terlibat dalam membantu dan menyalurkan bantuan kepada korban bencana alam.
Ketrampilan yang kami peroleh saat itu hanyalah Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K). Namun kenyataan di lapangan jauh berbeda sebab tidak tahu bagaimana cara menyalurkan bantuan pada korban bencana alam serta melewati jalur yang berbahaya.
Pada saat itu belum ada Basarnas, BPBN, dan BPBD. Jika ada bencana alam yang bergerak biasanya tim SAR yang ada di Pemda, Dinas Sosial, dan PMI cabang di tiap daerah. Serta dibantu TNI AD saat itu ABRI.
Luar biasanya, bantuan yang diterima dari masyarakat dan beberapa perusahaan selalu mencapai sasaran dengan tepat. Misalnya saat ada banjir bandang dan tanah longsor di wilayah selatan Malang. Padahal kendaraan pengangkut biasanya hanya mengandalkan kendaraan militer dari TNI atau kendaraan dinas milik Pemda.
Para relawan bekerja dengan sukarela tanpa uang saku selain jaminan makan. Jangan harap ada seragam atau alat pelindung diri (APD). Seragam pernah mendapat hanya satu kali dari PMI pusat berupa kain drill sisa-sisa bantuan UNESCO saat terjadi gempa bumi di Papua dan Bali pada 1974.Â
Seragam ini dibuat untuk pakaian dinas lapangan saat bergerak dalam usaha kesehatan lapangan.
0 0 0
Kejadian letusan Gunung Galunggung pada awal 80an, menceritakan banyak korban yang tidak mendapat bantuan. Padahal banyak papan nama komunitas yang mau menerima dan menyalurkan bantuan. Kisah ini cukup heboh di media cetak mainstream dan beberapa oknum yang berkedok menyalurkan bantuan fiktif pun ditangkap.
Ketika ada saudara kita sebangsa mengalami penderitaan karena bencana selalu ada saja yang memanfaatkan untuk kepentingan diri maupun kelompok.Â
Perbuatan ini tentu saja mencoreng para relawan lain yang sepenuh hati berjuang meringankan penderitaan korban.
Di sisi lain, rasa empati yang demikian besar bukan berarti dengan mudah mendirikan sebuah posko untuk menerima dan menyalurkan bantuan. Tanpa persiapan dan perlengkapan atau sarana dan prasarana yang memadai justru malah menghambat penyaluran bantuan. Apalagi tanpa kerjasama dengan tim atau instansi lain.
Ada contoh, sebuah organisasi atau komunitas dengan beberapa anggota terpanggil untuk mendirikan posko bencana alam. Begitu menerima bantuan yang cukup banyak justru malah kebingungan bagaimana cara menyalurkan. Tak ada kendaraan, dana, dan tenaga yang memadai. Bantuan hanya menumpuk di sebuah tempat. Hal ini bisa menimbulkan kecurigaan.Â
Seperti kejadian gempa bumi di Bengkulu th 2000 yang heboh karena adanya bantuan yang mandek. Dan juga tempat lainnya.Â
Siap menerima juga harus siap menyalurkan. Bukan menyimpan.
Pengalaman penulis menjadi relawan tidak serta merta selalu lancar dalam menyalurkan bantuan.Â
Pada 2010, setelah bergerak bersama SMA Pangudi Luhur Van Lith, Muntilan dalam menyalurkan bantuan masker untuk korban letusan Gunung Merapi, kami bergerak cepat membagikan masker ke Ngadisari, Sukapura Probolinggo.Â
Pemberitaan seramnya akibat erupsi Gunung Bromo yang demikian masif ditambah para relawan yang lelah setelah berbulan-bulan bekerja, ternyata membuat kami harus mengantar sendiri dengan bantuan pinjaman mobil ESEMKA Digdaya 2.000 dari SMK Negeri 1, Malang.
Sialnya, di lautan pasir Bromo mobil terjebak bubur lumpur. Tiga puluh menit antara hidup dan mati di tengah badai datanglah bala bantuan dari Linmas Ngadisari yang dikirim oleh kepala desa, Bpk Supomo.
Pengalaman lain, ketika mengantar bantuan dari sebuah komunitas untuk korban bencana letusan G. Kelud 2014. Bantuan terpaksa dititipkan pada posko milik komunitas lain demi keselamatan diri.
Pada peristiwa lainnya, misalnya saat Gunung Merapi meletus banyak menceritakan kisah pilu para relawan justru menjadi korban karena kurangnya kerjasama yang baik dan terpadu.Â
#Dirangkum dari beberapa tulisan penulis di Kompasiana pada 2012-2014.Â