Di sisi lain, rasa empati yang demikian besar bukan berarti dengan mudah mendirikan sebuah posko untuk menerima dan menyalurkan bantuan. Tanpa persiapan dan perlengkapan atau sarana dan prasarana yang memadai justru malah menghambat penyaluran bantuan. Apalagi tanpa kerjasama dengan tim atau instansi lain.
Ada contoh, sebuah organisasi atau komunitas dengan beberapa anggota terpanggil untuk mendirikan posko bencana alam. Begitu menerima bantuan yang cukup banyak justru malah kebingungan bagaimana cara menyalurkan. Tak ada kendaraan, dana, dan tenaga yang memadai. Bantuan hanya menumpuk di sebuah tempat. Hal ini bisa menimbulkan kecurigaan.Â
Seperti kejadian gempa bumi di Bengkulu th 2000 yang heboh karena adanya bantuan yang mandek. Dan juga tempat lainnya.Â
Siap menerima juga harus siap menyalurkan. Bukan menyimpan.
Pengalaman penulis menjadi relawan tidak serta merta selalu lancar dalam menyalurkan bantuan.Â
Pada 2010, setelah bergerak bersama SMA Pangudi Luhur Van Lith, Muntilan dalam menyalurkan bantuan masker untuk korban letusan Gunung Merapi, kami bergerak cepat membagikan masker ke Ngadisari, Sukapura Probolinggo.Â
Pemberitaan seramnya akibat erupsi Gunung Bromo yang demikian masif ditambah para relawan yang lelah setelah berbulan-bulan bekerja, ternyata membuat kami harus mengantar sendiri dengan bantuan pinjaman mobil ESEMKA Digdaya 2.000 dari SMK Negeri 1, Malang.
Sialnya, di lautan pasir Bromo mobil terjebak bubur lumpur. Tiga puluh menit antara hidup dan mati di tengah badai datanglah bala bantuan dari Linmas Ngadisari yang dikirim oleh kepala desa, Bpk Supomo.
Pengalaman lain, ketika mengantar bantuan dari sebuah komunitas untuk korban bencana letusan G. Kelud 2014. Bantuan terpaksa dititipkan pada posko milik komunitas lain demi keselamatan diri.