PROLOG---Sebelum Semuanya Lenyap
"Ingatlah bahwa kamu akan mati,
dan justru karena itu, kamu harus hidup sepenuhnya."
Angin laut bertiup pelan, seperti bisikan kuno yang terjebak di antara pohon-pohon damar dan langit senja yang mulai pudar warnanya. Di ujung dermaga kayu yang hampir lapuk, seorang pria berdiri diam, matanya menatap ombak yang datang dan pergi tanpa janji. Namanya Raka. Ia tak tahu pasti apa yang menuntunnya ke pulau ini---pekerjaan, takdir, atau mungkin... pelarian.
Ia datang sebagai orang asing. Tidak hanya pada tanah ini, tapi juga pada dirinya sendiri.
Di balik pegunungan dan suara burung enggang, ia bertemu seorang perempuan. Anjani. Wajahnya seperti bagian dari pulau itu sendiri---tenang, namun tak bisa ditebak. Seperti tanah yang memeluk akar, tapi juga menyimpan bara.
Mereka tidak jatuh cinta.
Mereka tumbuh ke dalamnya.
Perlahan, seperti embun yang tidak memilih daun untuk jatuh.
Namun cinta tidak pernah cukup bagi dua jiwa yang hidup dalam dua dunia. Dunia Raka dibangun dari logika, kota, dan kenangan yang sudah ia kubur. Dunia Anjani berisi adat, langit leluhur, dan restu yang tak mudah didapat.
Mereka mencoba menjembatani dua dunia itu.
Tapi bahkan jembatan terkuat pun bisa rapuh oleh waktu.
Atau oleh restu yang tak kunjung datang.
Pulau ini menyimpan kisah mereka.
Sebuah kisah tentang cinta yang diuji oleh perbedaan, tentang restu yang menjadi harga mati, dan tentang kematian---bukan sebagai akhir, tapi sebagai pengingat bahwa hidup adalah pilihan yang harus dihayati sepenuh hati.
Dan di tengah semuanya, satu kalimat terus bergema dalam benak Raka: