Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Sekongkol Sepak Bola dengan Globalisasi

19 Mei 2018   21:49 Diperbarui: 20 Mei 2018   00:21 2472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover buku (Sumber gambar: bangsalpikiran.files.wordpress.com) | Edit; Cropping

"Sepak bola bukan sekadar olahraga."

Jelas, publik awam sudah mengakui. Tapi untuk menjadikan sebuah klaim tampak meyakinkan, harus ada bukti ilmiah yang ikut mendasari. Bukan cuma cuap-cuap heboh di kantin saat makan siang, dibutuhkan penjelasan empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.

Franklin Foer, seorang jurnalis Amerika Serikat, menggiring klaim "sepak bola bukan sekadar olahraga" ke ranah yang lebih serius lewat bukunya yang dijuduli "How Soccer Explain The World: The Unlikely Theory Of Globalization". Buku setebal 248 halaman yang sudah di-Indonesia-kan dengan judul "Memahami Dunia Lewat Sepakbola" oleh penerbit Margin Kiri ini memang cukup lawas (terbit awal 2004), namun bobot isinya masih punya wibawa untuk menjelaskan dunia persebakbolaan terkini.

Buku yang digarap Foer hampir satu tahun ini tidak melulu didasarkan pada telaah literatur, menariknya, ia memutuskan berkeliling dunia demi menyaksikan sendiri bagaimana sepakbola sebagai sebuah fenomena dimaknai oleh bermacam latar belakang budaya.

Dengan kejujuran, ketajaman yang sering nyelekit, terkadang diikuti lelucon renyah, Foer menampilkan sepakbola secara utuh dan dalam. Bukan hanya sisi positif nan menghibur, namun aspek kelam dan brutal yang ternyata menjadikan permainan ini lebih rumit dari sekadar mencetak gol dan menang.

Foer, misalnya, jadi saksi bagaimana rivalitas di luar nalar yang tercipta antara dua tim kawakan asal ibukota Skotlandia, Glasgow: Celtic dan Rangers.

Ia memaparkan kondisi "Old Firm Derby" yang benar-benar mencekam di antara hooligan garis keras kedua tim. Bukan cuma adu kuat di atas lapangan, Celtic dan Rangers merupakan representasi konflik sektarian berkepanjangan yang banyak memakan korban di Skotlandia; Celtic mewakili minoritas Katolik, sedangkan Rangers menjadi perpanjangan tangan kaum Protestan yang menjadi agama resmi negara.

"Hari pertandingan Celtic dengan Rangers selalu menjadi hari yang paling rawan gesekan. Pertikaian ini telah menghasilkan kisah-kisah horor dalam persepakbolaan. Ada yang ditolak bekerja karena mendukung tim lawan. Ada fans yang dibunuh karena mengenakan kaos yang salah di lingkungan yang salah. Perseteruan Celtic dengan Rangers lebih dari sekadar kebencian terhadap orang terdekat. Inilah perang yang belum tuntas antara Katolik dengan gerakan reformasi Protestan."

Old firm derby selalu tersaji panas. (gambar: devoetbaltempel.files.wordpress.com)
Old firm derby selalu tersaji panas. (gambar: devoetbaltempel.files.wordpress.com)
Namun seperti sub judul buku, Foer banyak menyoroti adanya "udang di balik batu" akibat pengaruh globalisasi pada duel keras antara kedua pendukung tim. Memasuki era sepakbola sebagai industri, segala pernik olahraga ini punya peluang diuangkan. Mulai dari gantungan kunci sampai rivalitas yang sudah terawat lama, keuntungan bisa dikeruk.

Rivalitas garis keras antara Celtic dan Rangers, duga Foer, berlangsung bukan lagi hanya demi rivalitas itu sendiri, melainkan dilestarikan untuk meraup provit besar bagi berbagai pihak.

Globalisasi yang mengkontaminasi sepakbola juga membuka ruang bagi kaum oportunis untuk menyusup ke dalam tim dan menjadikannya alat efektif demi mencapai kepentingan tertentu.

Foer terbang jauh ke kota mode Milan untuk menyaksikan dengan gamblang bagaimana Silvio Berlusconi--dibantu dengan jejaring media--mampu memanfaatkan kekuatan luar biasa sepakbola untuk menaikkan elektabilitas dan kelak menjadi penguasa tanah Italia.

AC Milan, klub yang diakuisisi Berlusconi, tidak hanya sekadar tim yang dipadati pemain bintang dan gelar juara--ia merangkap sebagai kendaraan politik.

Berlusconi sadar betul potensi daya sepakbola. (gambar: umberbola.nikff6y.netdna-cdn.com)
Berlusconi sadar betul potensi daya sepakbola. (gambar: umberbola.nikff6y.netdna-cdn.com)
Di tempat yang sama, Foer juga ikut dalam pertemuan bawah tanah eksklusif yang menampilkan seperti apa jadinya jika ideologi Marxisme bercampur dalam basis pendukung rival sekota AC Milan, Interazionale Milano.

Tidak cuma itu, sepakbola juga ternyata memiliki cukup daya untuk mencetus revolusi. Di negara sekonservatif Iran misalnya. Negeri Ayatollah pernah jadi tempat terjadinya "pemberontakan" yang dirangsang oleh euforia sepakbola. Menarik, karena revolusi tersebut justru diprakarsai oleh kaum perempuan. Negara Islam Iran yang berusaha memisahkan perempuan dan olahraga, yang dalam pandangan budaya dan teologi dianggap tidak layak menggandrungi olahraga maskulin semacam sepakbola, mesti mengaku kalah saat globalisasi ikut campur tangan.

Untuk sepakbola, para wanita nekat melawan. Mulai dari aksi kecil namun berbahaya dengan menyamar sebagai pria untuk menonton pertandingan sepakbola,

"Kalau dicermati lebih lanjut, jelaslah bahwa pria-pria ini sebenarnya bukan pria.Mereka pres payudaranya, gelung rambut panjangnya, berpakaian dengan jubah pria, dan menyelinap masuk ke dalam stadion."

hingga lima ribuan perempuan Iran yang bersatu menembus barikade aparat demi menyaksikan para pemain idolanya secara langsung pasca memastikan lolos ke Piala Dunia,

"Ribuan perempuan mengabaikan himbauan pemerintah, mereka berkumpul di seberang gerbang Azadi pada suhu menggigilkan minus 2 derajat Celsius. Ketika polisi menolak masuknya perempuan-perempuan ini, mereka berteriak, "bukankah kami juga bagian dari bangsa ini? Kami ingin merayakannya juga. Kami bukan semut!" Takut akan massa yang membludak, polisi pun memperbolehkan 3 ribu perempuan memasuki tempat khusus. Tapi bagaimana dengan 2 ribu perempuan yang lainnya? Mereka mendobrak pagar polisi dan berebut masuk ke stadion. Polisi tak punya pilihan selain membolehkan mereka masuk dan mengaku kalah."

Buku ini juga membahas mengenai keterlibatan para pelaku kejahatan kemanusiaan dalam konflik Serbia-Bosnia yang menjadi pendukung penting klub raksasa Serbia, Red Star Belgrade. Ia juga menyusuri fenomena masa lalu cerah dan mulai redupnya praktik hooliganism di Inggris raya lewat interview mendalam dengan pentolan HeadHunters, suporter garis keras Chelsea.

Pembahasan bernas juga bisa ditemukan dalam kajian Foer perihal rasisme sepakbola di Ukraina, nasionalisme Katalan yang kental diwakili oleh mes que un club, Barcelona, serta fakta unik sejarah Zionisme yang bersinggungan dengan sepakbola dan di saat yang sama gerakan anti-semit yang mewarnai kompetisi Eropa. Foer juga tidak lupa membahas negeri para Dewa Bola, namun dengan sorot suram, saat sepakbola menjadi lahan seksi untuk praktik korupsi di Brazil.

Lewat pandangan teoretis dan pengamatan langsung yang panjang, Foer berusaha menjalin hubungan rasional yang tercipta antara globalisasi dan sepakbola sebagai sebuah kondisi yang punya pengaruh menentukan bagi banyak aspek vital global; sosial-politik, ekonomi sampai primordialisme. Dan tampaknya, ia berhasil.

Namun akibatnya, buku ini jadi tampak kering jika pembaca berharap mendapat sajian sepakbola murni sebagai sebuah permainan. Tidak banyak kisah-kisah menarik yang terjadi di atas lapangan, tidak ada cerita gol-gol spektakuler atau data dan fakta yang membawa kita lebih dekat ke pemain-pemain bintang.

Mungkin ini bisa dijelaskan dari latar belakang Franklin Foer yang merupakan warga AS, negara yang kulturnya lebih dekat dengan basket dan bisbol.

Walau mengaku sebagai pengemar sepakbola dan klub Barcelona, namun Foer, setidaknya dalam buku ini, terkesan lebih jelas melihat aspek sepakbola dari luar sepakbola itu sendiri. Tidak jadi soal bagi pembaca yang memang ingin mencari alasan rasional dan ilmiah untuk lebih mengagumi sepakbola.

Bagi pembaca Indonesia, buku yang diterjemahkan dengan baik ini cukup bisa menjadi kudapan bergizi untuk wawasan pengetahuan sepakbola yang dapat dihubungkan dengan berbagai fenomena menarik sepakbola lokal dan tentu bisa jadi modal untuk lebih yakin berucap "sepakbola bukan sekadar olahraga".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun