Penyediaan makanan bergizi secara gratis di lingkungan sekolah menjadi suatu kebijakan publik yang semakin mendapat perhatian di banyak negara. Tujuannya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi siswa tetapi juga sebagai bagian dari pembangunan sumber daya manusia, pengurangan kemiskanan, dan promosi kesehatan. Di Indonesia, kebijakan ini dimanifestasikan lewat Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan tahun 2025. Di Korea Selatan, program makan sekolah gratis telah lebih dulu dioperasikan dan terus diperluas secara bertahap. Berikut adalah perbandingan mendalam antara keduanya, termasuk kekuatan, tantangan, dan pelajaran yang bisa diambil.
Sekilas Mengenai Keduanya
Indonesia: MBG (Makan Bergizi Gratis)
Diluncurkan secara resmi pada 6 Januari 2025, di bawah Badan Gizi Nasional.
Sasaran: anak sekolah (PAUD hingga SMA/sederajat), balita, ibu hamil, ibu menyusui.
Target penerima manfaat: sekitar 19,47 juta orang pada 2025.
Anggaran: Rp 71 triliun dialokasikan untuk MBG pada 2025.
Tujuan: mengatasi malnutrisi dan stunting, meningkatkan kualitas gizi, mendukung pertumbuhan SDM, menggerakkan ekonomi lokal melalui keterlibatan UMKM dan penggunaan bahan pangan lokal.
Korea Selatan: Program Makan Sekolah Gratis
Seoul, ibu kota Korea Selatan, telah memperluas program makanan sekolah gratis untuk semua siswa di sekolah dasar, menengah, dan mulai 2021 juga ke semua sekolah termasuk swasta dan taman kanak-kanak (kindergarten).
Kebijakan gratis ini berlaku universal: tidak hanya untuk siswa dari keluarga berpendapatan rendah, melainkan semua siswa.
Anggaran cukup besar: di Seoul diperkirakan 700 miliar won per tahun untuk memperluas free lunch ke semua sekolah.
Program ini juga berfokus pada kualitas makanan: penggunaan bahan ramah lingkungan, menu bergizi, dan kesejahteraan siswa serta keadilan sosial agar siswa tidak merasa terdiskriminasi.
Berikut adalah beberapa perbedaan signifikan antara MBG di Indonesia dengan free school meals di Korea Selatan.
Tantangan dan Kontroversi
Indonesia
Kasus Keracunan
Sejak pelaksanaan MBG, sudah ditemukan ribuan kasus keracunan siswa di berbagai daerah yang terkait dengan kualitas dan keamanan pangan.Ketersediaan Infrastruktur dan SPPG
Banyak dapur pengolahan gizi (SPPG) yang belum tersebar merata, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Distribusi bahan pangan lokal dan penyimpanan makanan sering terkendala oleh kondisi jalan, cuaca, suhu, dan ketersediaan sarana pendingin.Regulasi dan Operasional
Beberapa regulasi dan petunjuk teknis (juknis) masih belum cukup detail (misalnya mengenai standar kebersihan, keamanan pangan, distribusi, pengemasan) sehingga menyebabkan perbedaan pelaksanaan yang bisa menjadi celah kesalahan.Biaya dan Keberlanjutan Anggaran
Anggaran yang besar (Rp 71 triliun dan target penerima yang sangat banyak) menuntut pengelolaan fiskal yang hati-hati agar program tidak menjadi beban jangka panjang yang tidak terkendali. Tantangan pengelolaan dana dan pengawasan juga muncul karena skala besar.
Korea Selatan
Beban Fiskal
Program universal makan sekolah gratis memerlukan dana substansial. Pemerintah daerah dan kota harus menanggung sebagian besar biaya, dan apa yang terjadi jika ekonomi melambat atau anggaran pemerintah lokal terbatas? Misalnya, ada laporan bahwa beberapa daerah mempertimbangkan pengurangan bahan ramah lingkungan dalam menu karena biaya bahan tinggi.Kesetaraan dan Persepsi Sosial
Meski program bersifat universal, ada tantangan sosial dalam menghindari stigma bagi siswa yang sebelumnya mendapat bantuan makan gratis karena ekonomi rendah. Korea mengatasi ini dengan memakai sistem voucher atau cara distribusi yang membuat semua siswa merasa mendapat perlakuan sama.Kualitas dan Sumber Bahan
Menjaga menu bergizi, variasi, dan memastikan bahan yang digunakan aman dan ramah lingkungan menjadi perhatian penting. Korea Selatan sejak awal telah memasukkan komponen “eco-friendly ingredients” dan melakukan standarisasi kualitas makanan sekolah.
Pelajaran yang Bisa Diambil / Rekomendasi Bagi Indonesia
Berdasarkan perbandingan dengan Korea Selatan, berikut beberapa pelajaran atau hal yang bisa diperkuat dalam pelaksanaan MBG agar efektif dan berkelanjutan:
Pendekatan Universal tapi Bertahap
Walau target MBG sangat besar dan meliputi banyak kelompok, bisa dianggap baik untuk memulai dengan pilot di sejumlah wilayah terlebih dahulu — seperti telah dilakukan — tetapi sangat penting agar infrastruktur pendukungnya kuat sebelum diperluas. Contoh: dapur pengolahan, distribusi, penyimpanan, pelatihan tenaga dapur.Regulasi Standar Kebersihan dan Keamanan Pangan yang Jelas
Kesalahan dalam keamanan pangan dapat mengganggu kepercayaan publik dan merusak tujuan program. Perlu standar seperti SOP, sertifikasi dapur & juru masak, pengawasan mikrobiologi, kontrol distribusi suhu.Transparansi dan Partisipasi Lokal
Pelibatan UMKM lokal dalam suplai bahan pangan dapat mendorong ekonomi lokal dan mengurangi biaya transportasi. Namun perlu pengaturan supaya kualitas bahan tetap terjamin.Pengelolaan Anggaran yang Efisien dan Berkelanjutan
Pastikan alokasi dana nyata dan ada mekanisme audit, evaluasi berkala untuk memastikan dana digunakan tepat sasaran dan tidak ada pemborosan.Perhatikan Dimensi Sosial: Kesetaraan & Stigma
Agar anak-anak dari keluarga kurang mampu tidak merasa berbeda, mekanisme distribusi dan layanan harus menjaga agar pelayanan terlihat “sama” dengan yang lainnya, seperti yang dilakukan di Korea lewat pendekatan universal dan sistem voucher.Kualitas Menu dan Edukasi Gizi
Tidak cukup makanan diberikan; kualitas, keseimbangan nutrisi, variasi makanan, dan edukasi kepada siswa tentang gizi juga penting agar program tidak hanya menjadi pengisi perut, tetapi juga mendidik pola makan sehat jangka panjang.
Kesimpulan
Program MBG di Indonesia dan program makan sekolah gratis di Korea Selatan memiliki tujuan yang sejalan: menyediakan nutrisi yang baik untuk siswa, mendukung pertumbuhan dan kesehatan generasi muda, sekaligus bagian dari kewajiban negara dalam pembangunan SDM. Namun, mereka berbeda dalam beberapa aspek seperti skala pelaksanaan (Indonesia memulai secara nasional dengan target besar sekaligus; Korea memperluas secara bertahap), universalisasi, sistem pendanaan, pengawasan, dan penggunaan bahan makanan.
Korea Selatan memberi contoh bahwa universalisasi bisa membawa manfaat besar jika didukung infrastruktur, regulasi, dan anggaran yang stabil. Sementara itu Indonesia menghadapi berbagai tantangan khas: kondisi geografis, infrastruktur yang belum merata, pengawasan keamanan pangan, dan beban logistik yang tinggi. Namun, dengan pelajaran dari pengalaman negara lain, Indonesia memiliki peluang untuk mengoptimalkan MBG agar manfaatnya maksimal, terutama dalam jangka panjang.
#SalamLiterasi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI