Kebijakan gratis ini berlaku universal: tidak hanya untuk siswa dari keluarga berpendapatan rendah, melainkan semua siswa.Â
Anggaran cukup besar: di Seoul diperkirakan 700 miliar won per tahun untuk memperluas free lunch ke semua sekolah.Â
Program ini juga berfokus pada kualitas makanan: penggunaan bahan ramah lingkungan, menu bergizi, dan kesejahteraan siswa serta keadilan sosial agar siswa tidak merasa terdiskriminasi.Â
Berikut adalah beberapa perbedaan signifikan antara MBG di Indonesia dengan free school meals di Korea Selatan.
Tantangan dan Kontroversi
Indonesia
Kasus Keracunan
Sejak pelaksanaan MBG, sudah ditemukan ribuan kasus keracunan siswa di berbagai daerah yang terkait dengan kualitas dan keamanan pangan.Ketersediaan Infrastruktur dan SPPG
Banyak dapur pengolahan gizi (SPPG) yang belum tersebar merata, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Distribusi bahan pangan lokal dan penyimpanan makanan sering terkendala oleh kondisi jalan, cuaca, suhu, dan ketersediaan sarana pendingin.Regulasi dan Operasional
Beberapa regulasi dan petunjuk teknis (juknis) masih belum cukup detail (misalnya mengenai standar kebersihan, keamanan pangan, distribusi, pengemasan) sehingga menyebabkan perbedaan pelaksanaan yang bisa menjadi celah kesalahan.ÂBiaya dan Keberlanjutan Anggaran
Anggaran yang besar (Rp 71 triliun dan target penerima yang sangat banyak) menuntut pengelolaan fiskal yang hati-hati agar program tidak menjadi beban jangka panjang yang tidak terkendali. Tantangan pengelolaan dana dan pengawasan juga muncul karena skala besar.
Korea Selatan