Vox populi, vox dei adalah frasa Latin yang berarti "suara rakyat adalah suara Tuhan". Ungkapan ini sering digunakan dalam konteks politik dan sosial untuk menekankan bahwa pendapat mayoritas rakyat memiliki kekuatan yang signifikan, seolah-olah adalah kehendak ilahi atau kebenaran tertinggi dalam masyaraka. Demonstrasi semestinya menjadi saluran efektif dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Namun, sayangnya, banyak aksi turun ke jalan di Indonesia berubah wajah---dari damai menjadi anarkis dan brutal. Apa yang sebenarnya terjadi di balik lemparan batu dan kebakaran gedung? Berikut penjelasan komprehensif, disertai insight dan data terkini:
1. Provokasi Terstruktur dan Penunggang Aksi
Terkadang, kerusuhan bukan sekadar reaksi spontan. Ada aksi yang memang "dirancang" untuk menciptakan kekacauan. Sebagaimana disorot oleh pengamat, beberapa demonstrasi jadi ajang bagi oknum tertentu untuk memicu benturan dengan aparat atau menghancurkan fasilitas publik demi "viral"---mengurangi substansi tuntutan demi drama kekacauan.
2. Kurangnya Manajemen Massa dan Koordinasi Internal
Sebuah demo tanpa pemimpin jelas, tanpa komunikasi tertata dengan aparat, dan tanpa kontrol internal mudah berubah chaos. Massa tidak terkoordinasi, emosi mengalahkan logika, dan pintu terbuka untuk kerusuhan.
3. Jiwa Massa dan Efek "Anarki Kolektif"
Dalam kerumunan, individu bisa kehilangan kendali rasional dan melakukan tindakan ekstrem---padahal tak akan mereka lakukan sendirian. Fenomena "jiwa massa" ini sering terjadi saat massa mengenakan atribut seragam, saling memprovokasi, atau terhipnotis lingkungan.
Psikolog juga menunjukkan bahwa di antara mahasiswa, ada dorongan ingin terlihat "heroik"---menjadi pusat perhatian meski itu berarti melakukan tindakan anarkis tanpa logika.
4. FOMO Digital & Kaburnya Fokus Isu
Zaman digital membuat banyak orang ikut demo bukan karena paham substansi, melainkan karena dorongan viral. Generasi yang takut ketinggalan (FOMO) abai pada kedalaman isu dan lebih terjebak emosional.