Mohon tunggu...
ardhani prameswari
ardhani prameswari Mohon Tunggu... Guru - guru

seorang yang sangat menyukai photography

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bonus Demografi dan Radikalisme

4 September 2018   06:04 Diperbarui: 4 September 2018   07:18 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
majalahkartini.co.id

Pada tahun 2020 sampai 2030 Indonesia menghadapi bonus demografi. Bonus demografi adalah suatu kondisi dimana jumlah penduduk usia produktif (usia 15-64 tahun) lebih banyak dibanding usia non produktif (diatas 65 tahun). Bappenas pernah merilis bahwa rentang tahun itu, jumlah penduduk usia produktif Indonesia bisa mencapai 209 juta jiwa dari 321 juta jiwa.

Secara logika melimpahnya jumlah penduduk usia kerja akan menguntungkan dari sisi pembangunan. Ini  dapat memacu pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang tinggi. Impasnya adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Jepang pada tahun 1950 mengalami bonus demografi. Padahal lima tahun sebelumnya negara ini harus menghadapi bom atom Hiroshima dan Nagasaki yang membuat Jepang bertekuk lutut pada Sekutu.  

Beberapa kota hancur dan rakyat tak bersalah ikut jadi korban. Namun bonus demografi  pada tahun 1950 itu ternyata bisa dimanfaatkan oleh Jepang untuk bangkit dan meningkatkan produktifitasnya. Jepang kemudian menjelma menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ke 3 di dunia pada sekitar tahun 1970 an setelah Amerika Serikat (AS) dan Uni Sovyet (sekarang Rusia)

Bangsa kita, Indonesia sampai saat ini dianggap punya modal Sumber Daya Manusia (SDM) yang sama dengan Jepang pada tahun 1950 an . Bahkan SDM Indonesia diprediksi akan meningkat melampaui tahun 2030 yaitu berlangsung sampai tahun 2035.

Namun yang menjadi masalah adalah banyaknya SDM yang tidak diimbangi dengan kualitas memadai atau tidak terkelola dengan baik. Jika ini terjadi maka bonus demografi yang seharusnya menjadi berkah dan peluang untuk keuntungan besar bagi kemajuan negara tidak mencapai sasaran. Ini bisa menjadi musibah dan bukan berkah.

Dalam kondisi itu, ledakan penduduk produktif malah bisa menimbulkan berbagai bentuk patologi sosial. Patologi sosial bisa berupa kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, ketimpangan sosial dan semacamnya. Dalam kondisi semacam ini, paham intoleransi dan radikalisme keagamaan rawan menjangkiti para remaja.

Ancaman macam ini menyerang usia remaja karena bagi kaum radikal yang paham pola gerakan dan pertumbuhan, usia remaja adalah kaum potensial yang mudah ter-indoktrinasi paham radikal. Remaja adalah masa paling rentan terhadp paparan ideologi radikal.

Pakar radikalisme JM Venhaus mengungkapkan dalam bukunya, bahwa faktor psikologi sosial adalah pemicu keterlibatan anak muda dalam fenomena radikalisme. Faktor-faktornya adalah krisis psikologis, kesulitan dalam indentifikasi sosial, pencarian status dan balas dendam terhadap 'musuh' yang mungkin bertahun-tahun dipupuknya. ( JM Venhaus 1995: 21)

Karena itu beberapa pihak merasa prihatin akan hal ini sehingga menggagas pentingnya pendidikan anti radikalisme sejak dini. Artinya pengenalan terhadap anti radikalisme harus dimulai sejak anak itu masih kanak-kanak, bahkan ketika masih batita.

Pengajarannya mungkin bukan dengan ajaran kekerasan dan 'perang' terhadap anti radikal itu tetapi dengan menanamkan budi pekerti dan nilai-nilai keberagaman sejak usia anak masih dini. Nilai-nilai yang diajarkan hendaknya adalah nilai-nilai yang dapat meredusir(mengurangi) paham radikal itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun