Mohon tunggu...
Ardanmarua
Ardanmarua Mohon Tunggu... Freelancer - Warga Negara Indonesia

Pecinta damai, pembenci perbudakan atas nama apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hujan, Anak Penjual Gorengan, dan Pasukan Langit

11 September 2019   23:11 Diperbarui: 14 September 2019   14:58 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasukan langit berseragam oranye|dokpri

Potret pasukan langit di medan juang
Potret pasukan langit di medan juang
Seluruh pasukan ini, dari oranye hingga biru, benar-benar menjaga bumi. Yang mereka perbuat adalah menciptakan keajaiban. Kenapa tidak? Tanpa air bersih yang mengalir dengan pasti sebagaimana mestinya, tidak akan ada tahan yang subur; tanpa tanah yang subur, tidak ada lingkungan yang sehat; dan tanpa lingkungan yang sehat, seluruh gerak makhluk hidup hannyalah sebuah proses membunuh diri sendiri.

Sayangnya, dengan kontribusi sebesar itu, perjuangan mereka masih kerap kali dianggap sepele dan bukan sesuatu yang luar biasa. Pada yang dilakukan pasukan langit adalah bukan sekadar menjalankan tugas profesi, melampaui itu, mereka menjalankan tugas mereka sebagai pemimpin di muka bumi dengan menjaga kehidupan bumi tetap lestari.

Saya pikir, sikap saya yang tidak menanyakan siapa nama anak penjual gorengan keliling itu dan sikap orang-orang yang tidak membalas perjuangan pasukan langit penjaga kelestarian bumi dengan sesuatu yang setimpal adalah sama saja. Padahal kita semua sama-sama sadar dan tahu bahwa kehidupan ini berpangkal pada rasa peduli, bukan iba. 

Ya, meski antara "peduli" dan "iba" itu berbeda, tapi tidak ada seorang pun yang mampu membedakan dengan jelas mana peduli dan mana iba dalam motif tindakan manusia, kecuali pada niat. Dan niat itu, hanya Tuhan sajalah yang tahu secara persis niat setiap orang dalam setiap perbuatan.

"Kak, saya pergi dulu," tukas anak penjual gorengan. "Iya. Eh, dek dek, beli pisang gorengmu 5 ribu," ucap saya dengan nada yang agak sedikit melambung. 

Setelah itu, ia kemudian berjalan keluar meninggalkan kedai kopi yang hangat dan sunyi itu. Tiga langkah menuju pintu, ia tiba-tiba kembali membalikkan badan ke arah saya dan menatap saya lekat-lekat, kemudian berkata: "Terima kasih, kak."

Terakhir, "Tidak peduli bencana alam yang saya bahas, apakah itu kebakaran atau banjir, saya selalu kembali dengan perspektif yang jauh lebih besar yaitu kepedulian," kata Jahe Zee, ilmuan berkebangsaan Amerika Serikat. 

Tanpa tahu nama, tidak peduli rasa peduli itu diberikan kepada siapa, saya dan anak itu tetap saling peduli, meskipun rasa peduli itu hanya sebatas mengucapkan terima kasih. Karena pada hakikatnya tugas utama manusia adalah menjadi manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun