Mohon tunggu...
Ardanmarua
Ardanmarua Mohon Tunggu... Freelancer - Warga Negara Indonesia

Pecinta damai, pembenci perbudakan atas nama apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hujan, Anak Penjual Gorengan, dan Pasukan Langit

11 September 2019   23:11 Diperbarui: 14 September 2019   14:58 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasukan langit berseragam oranye|dokpri

"Jangan marah dengan hujan; ia tidak tahu bagaimana jatuh ke atas." -Vladimir Nabokov.

Makassar, 10 Agustus 2019, di suatu kedai kopi dan dalam suasana sore hari penuh hangat, saat itu hujan sedang menari di bawah langit, seorang anak kecil penjual gorengan keliling tiba-tiba menghampiri saya dan mengatakan dirinya ingin duduk di kursi sebelah tempat saya duduk. Kami tidak saling kenal, ia datang hanya untuk berlindung dari hujan yang sedang deras-derasnya mengguyur bumi.

"Maaf kak, bisa saya duduk di sini?," tanya anak itu dengan wajah malu-malu sambil jari tangannya menunjuk ke bangku yang berada di samping tempat saya duduk. 

"Iya. Silakan, dek," jawab saya, sembari tangan saya menyodorkan padanya kursi yang ia minta. Saat ia beranjak duduk, dari kantong celananya terdengar bunyi uang recehan saling berbenturan, hal itu menandakan bahwa gorengan jualannya itu belum banyak terjual.

Kondisinya nyaris memunculkan rasa iba dalam diri saya padannya, tapi saya sadar tak seorang di dunia ini yang senang menerima rasa iba dari orang lain, kecuali orang yang merasa dirinya hina. 

Toh, yang membawanya ke samping saya adalah bukan karena ia lupa membawa payung, tapi dirinya yang tidak pandai membaca gerak-gerik alam, dan inilah kesamaan kami berdua.

Kebetulan saat itu saya sedang mengerjakan tugas kuliah, jadi saya lebih berfokus pada apa yang mesti saya selesaikan. Itu membuat saya hampir tidak menyapa anak itu sekali pun. 

Alih-alih berusaha untuk membuatnya merasa lebih dekat dengan sosok laki-laki yang berada di sampingnya itu bukanlah orang lain melainkan kakak laki-lakinya sendiri, menanyakan namanya saja pun tak saya lalukan. Selama duduk, ia pun hanya diam dan sesekali tangannya merapikan dagangan jualan miliknya.

Kenda demikian, antara saya dan anak itu beberapa kali saling bertukar senyuman. Bibirnya kecil dan rias wajahnya beraura penuh semangat. Saya pikir, senyum adalah bahasa paling sederhana untuk mengungkapkan rasa peduli, bukan iba, dan penghormatan terhadap sesama.

Meskipun keberadaannya di samping saya nyaris terabaikan, tapi melaluinya saya menyadari satu hal; bahwa nikmat yang sama dari Tuhan selalu diterima dan syukuri manusia dengan cara yang berbeda-beda. Nikmat yang saya maksud di sini adalah hujan. Kebetulan sebab hadirnya anak itu di samping saya adalah hujan sedang melakukan apa yang ingin dilakukan: Jatuh, jatuh, dan jatuh membumi.

Saya mengekspresikan rasa syukur saya atas turunnya hujan dengan cara meminum kopi sembari mengerjakan tugas kuliah. Sedangkan cara anak itu memaknai hujan sebagai rahmat dari Tuhan dengan terus bergerak riang dalam keadaan tetap berjualan. 

Rasanya, bagi anak itu, hujan dan tidak hujan itu sama saja---adalah waktu hidup dipertaruhkan agar layak dijalani, persis seperti yang dikatakan oleh Sutan Sjahrir: "Hidup yang tak dipertaruhkan adalah hidup yang tak layak dimenangkan."

Sedangkan ada juga orang yang memandang saat hujan sebagai waktu yang pas untuk melepas lelah alias beristirahat, dan mungkin saja orang itu adalah Anda. Ada pula yang memandang saat turunnya hujan sebagai momentum yang pas untuk memahat prasasti puisi, biasa itu berlaku pada para sastrawan.

Dan di saat hujan, ada juga sebagian orang yang waswas memikirkan keselamatan diri, keluarga, dan lingkungannya. Pasalnya, tak ada satu orang pun di dunia ini yang tahu pasti kapan waktu hujan reda dan banjir tiba. 

Saya pernah mengalaminya, dan yang biasanya dilakukan hannyalah meminta pada Tuhan untuk bilang kepada hujan agar ketika datang ke bumi tidak membawa musibah, mengingat tak seluruh kondisi tanah bisa menyerap air dengan baik sebagaimana mestinya.

Namun apa pun yang nantinya akan hujan bawa, entah musibah atau kehijauan tumbuhan, saya sangat suka dan mensyukurinya. Paling tidak rintiknya, bagi saya, adalah nyanyian langit mengajak penghuni bumi bergembira menjaga alam.

Menurut Rahim (teman kuliah saya), siapa pun yang ingin tumbuh bersama alam semestinya menikmati hujan, seperti yang pepohonan lakukan. 

Baginya, hujan adalah saat yang tepat untuk berdoa, bukan cemas apalagi berkeluh kesalah. Darinya saya belajar memandang dunia sebagaimana adanya, bukan sebagaimana maunya---dan sebaik-baiknya harapan adalah perbuatan.

Melalui anak kecil penjual gorengan keliling saya merefleksikan tentang banyak hal. Pikiran saya pun terbawa pada puluhan ribu senyuman yang penuh riang-gembira di tengah hujan, angin, dan dalam cuaca seperti apa pun. 

Senyuman yang berasal dari wajah-wajah pasukan pelangi penjaga DKI Jakarta, yang mana tugas mereka adalah menjaga alam lestari dan kehidupan warga DKI Jakarta tetap indah.

Mereka disebut "pasukan pelangi" karena seragam yang mereka kenakan jika hendak pergi ke medan juang itu berwarna-warni, yaitu seragam berwarna oranye, hijau, dan biru. Jumlah mereka puluhan ribu. Saya sendiri biasa menyebut mereka sebagai pasukan langit penjaga bumi.

Pasukan Langit Penjaga Bumi

Sudah menjadi rahasia umum bahwa air sangat penting bagi kelangsungan hidup pepohonan, tumbuh-tumbuhan, dan manusia. Dan sudah menjadi rahasia umum pula bahwa manusia itu pada umumnya tidak memedulikan bagaimana seharusnya air dipandang dan diperlakukan.

Suka tidak suka, mengaku atau tidak mengaku, anggapan bawa hujan sebagai penghalang rutinitas masih hidup di kepala banyak orang. Kalau pun ada yang memandang hujan bukan penghalang rutinitas melainkan rahmat bagi bumi dari Tuhan, saya pikir, jumlahnya tidak sebanyak orang yang mengeluhkan kehadiran hujan. Beruntungnya, di setiap keluh-kesah selalu ada penghiburan. Lihatlah ke sekeliling Anda.

Di saat banyak warga Jakarta mengeluh karena hujan mengakibatkan banjir, di sisi yang berdekatan dengan respons yang berbeda pasukan langit senantiasa berupaya menekan segala kemungkinan terburuk yang bisa menimpa Jakarta. Di setiap keluh-kesah warga Jakarta, pasukan langit selalu ada sebagai penghibur yang menjaga kehidupan di bumi baik-baik saja setelah hujan reda.

Bagi pasukan langit, keluhan warga adalah sesuatu yang manusiawi. Bagi mereka yang penting adalah setiap pasukan langit bergerak sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing untuk menjaga sebaik mungkin kesehatan lingkungan Jakarta dan senyum warganya.

Pasukan oranye bertugas bukan saja sekadar membersihkan lingkungan dari tumpukan sampah. Pasukan yang berada di garis komando lurah ini biasanya selalu terlihat di setiap hari pada setiap tempat di mana orang-orang lalai membuang sampah pada tempatnya. 

Tugas utama mereka adalah menangani persoalan darurat, misalnya, membersihkan sampah yang menyumbat saluran air. Mereka juga bertugas menambal lubang kecil di trotoar dengan semen, dan masalah kerusakan sarana dan prasarana umum lainnya di Jakarta.

Sedangkan pasukan hijau, yang garis komandonya berada dibawa Dinas Pertamanan dan Pemakaman, bertugas antara lain untuk menghijaukan kota Jakarta: pemeliharaan taman-taman sepanjang jalan dan juga pemeliharaan ruang terbuka hijau. 

Dengan demikian, tugas utama pasukan ini adalah menjaga pori-pori tanah tetap baik dan subur. Dan seperti yang sudah kita ketahui bersama, inilah salah satu cara paling ampuh untuk melawan ancaman terjadinya banjir bandang.

Selain menjaga daya tanah menyerap air dengan berjibaku di bahwa teriknya matahari, pasukan ini juga mengurus permasalahan seputar pemakaman. Semboyan mereka adalah "Tamanku Hijau Jakarta Asri". Arti "Asri" itu sendiri adalah indah dan enak dipandang mata.

Sedangkan pasukan berseragam tempur berwarna biru, yang berada dibawa garis komando Dinas Tata Air DKI Jakarta, mempunyai peran untuk membersihkan luapan air ketika terjadi banjir di Jakarta.

Potret pasukan langit di medan juang
Potret pasukan langit di medan juang
Seluruh pasukan ini, dari oranye hingga biru, benar-benar menjaga bumi. Yang mereka perbuat adalah menciptakan keajaiban. Kenapa tidak? Tanpa air bersih yang mengalir dengan pasti sebagaimana mestinya, tidak akan ada tahan yang subur; tanpa tanah yang subur, tidak ada lingkungan yang sehat; dan tanpa lingkungan yang sehat, seluruh gerak makhluk hidup hannyalah sebuah proses membunuh diri sendiri.

Sayangnya, dengan kontribusi sebesar itu, perjuangan mereka masih kerap kali dianggap sepele dan bukan sesuatu yang luar biasa. Pada yang dilakukan pasukan langit adalah bukan sekadar menjalankan tugas profesi, melampaui itu, mereka menjalankan tugas mereka sebagai pemimpin di muka bumi dengan menjaga kehidupan bumi tetap lestari.

Saya pikir, sikap saya yang tidak menanyakan siapa nama anak penjual gorengan keliling itu dan sikap orang-orang yang tidak membalas perjuangan pasukan langit penjaga kelestarian bumi dengan sesuatu yang setimpal adalah sama saja. Padahal kita semua sama-sama sadar dan tahu bahwa kehidupan ini berpangkal pada rasa peduli, bukan iba. 

Ya, meski antara "peduli" dan "iba" itu berbeda, tapi tidak ada seorang pun yang mampu membedakan dengan jelas mana peduli dan mana iba dalam motif tindakan manusia, kecuali pada niat. Dan niat itu, hanya Tuhan sajalah yang tahu secara persis niat setiap orang dalam setiap perbuatan.

"Kak, saya pergi dulu," tukas anak penjual gorengan. "Iya. Eh, dek dek, beli pisang gorengmu 5 ribu," ucap saya dengan nada yang agak sedikit melambung. 

Setelah itu, ia kemudian berjalan keluar meninggalkan kedai kopi yang hangat dan sunyi itu. Tiga langkah menuju pintu, ia tiba-tiba kembali membalikkan badan ke arah saya dan menatap saya lekat-lekat, kemudian berkata: "Terima kasih, kak."

Terakhir, "Tidak peduli bencana alam yang saya bahas, apakah itu kebakaran atau banjir, saya selalu kembali dengan perspektif yang jauh lebih besar yaitu kepedulian," kata Jahe Zee, ilmuan berkebangsaan Amerika Serikat. 

Tanpa tahu nama, tidak peduli rasa peduli itu diberikan kepada siapa, saya dan anak itu tetap saling peduli, meskipun rasa peduli itu hanya sebatas mengucapkan terima kasih. Karena pada hakikatnya tugas utama manusia adalah menjadi manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun