Mohon tunggu...
Ardalena Romantika
Ardalena Romantika Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Merupakan pribadi yang amat senang bertukar cerita, pengalaman, dan hal baru dengan semua orang dari berbagai latar belakang. Saya percaya bahwa dengan mengaktualisasikan diri melalui pertukaran dan eksplorasi ide dengan orang lain, akan tercipta ruang kebebasan berekspresi dan kesetaraan bagi setiap manusia. Jadi, mari kita saling berbagi gagasan dan berekspresi bersama!.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Ma'nene: Bukti Cinta Keluarga dengan Memanusiakan Mereka yang Telah Tiada

18 Februari 2021   19:24 Diperbarui: 19 Februari 2021   14:38 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Thaib Chaidar from National Geographic Traveler 

Tana Toraja merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan dengan bentang alam yang bukan main indahnya. Mulai dari hijaunya perbukitan, negeri di atas awan, gumuk pasir yang luas membentang, hingga peninggalan pra sejarah berupa batu-batu pada masa megalitikum dan taman prasejarah. 

Tak hanya bentang alamnya yang menyuguhkan pesona, budaya di Tana Toraja tak kalah menarik. Salah satu warisan budaya dan kepercayaan yang amat terkenal adalah Rambu Solo', sebuah upacara kematian yang menjadi daya tarik karena menghabiskan dana yang fantastis dan ritual yang panjang. Namun bukan Rambu Solo' yang akan kita bahas kali ini. Kita akan berkenalan dengan Ma'nene, upacara pembersihan jasad leluhur yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun meninggal dunia.

Ma'nene berasal dari kata "ma" dan "nene". "Nene" dimaknai sebagai mereka yang sudah meninggal, baik muda maupun tua. Sedangkan kata "ma" ditafsirkan sebagai merawat. Sehingga, Ma'nene memiliki arti "Merawat mayat".

Ma'nene mewujudkan suatu penghormatan keluarga terhadap anggota keluarga atau leluhurnya yang sudah meninggal dunia. Ritual ini menggambarkan betapa kuatnya tali kekerabatan mereka meskipun telah berada di alam yang berbeda. Memang sudah tak banyak masyarakat Toraja yang masih rutin melaksanakan ritual ini. Namun, Ma'nene tak serta merta terlupakan. Ritual ini tetap menyatu dalam aliran darah dan hembusan nafas masyarakatnya. Buktinya, ada beberapa desa yang rutin mengadakan Ma'nene tiap tahun sekali atau setidaknya tiga tahun sekali, diantaranya adalah masyarakat Desa Pangala, Baruppu, dan Tonga Riu.

Asal-Usul Ma'nene

Ada satu kisah yang menjadi awal mula diadakannya ritual Ma'nene. Alkisah hiduplah seorang pemburu bernama Pong Rumasek. Suatu hari, ketika sedang berburu di Pegunungan Balla, ia menemukan sesosok mayat tergeletak di jalan. Pong Rumasek yang tergerak hatinya pun segera melepaskan bajunya untuk dikenakan pada jenazah tersebut. Ia pun menguburkan jenazah tersebut di tempat yang layak.

Sesampainya di rumah, Pong Rumasek terkejut melihat lahan pertaniannya telah siap panen, padahal perkiraan waktu panen masih cukup lama. Berawal dari kejadian ini, Pong Rumasek seolah selalu diikuti oleh keberuntungan. Dari sinilah masyarakat sekitar mulai menjadikan tindakan Pong Rumasek menjadi semacam tradisi turun-temurun yang dilaksakan sebelum atau sesudah musim tanam.

Cerita lain yang beredar adalah terjadinya perang saudara antara Toraja Barat dengan Toraja Timur yang menimbulkan banyak korban. Saking banyaknya korban tewas, warga sampai kewalahan menggotong dan membawa pulang mayat-mayat tersebut. Karena di masa itu terdapat banyak orang yang memiliki kekuatan magis, mereka lantas membangkitkan mayat-mayat tersebut. Sejak saat itu hingga sekarang, kerap bermunculan cerita-cerita mistis perihal mayat berjalan. Banyak warga yang bersaksi bahwa mereka melihat mendiang keluarganya berjalan pulang pada saat-saat tertentu. 

Oleh karenanya, diadakanlah upacara Ma'nene yang bertujuan untuk 'memanusiakan mereka yang telah tiada'. Selain itu, upcara ini memadukan seni, ritual, dan kepercayaan akan kematian. Ma'nene mewujudkan perasaan cinta terhadap leluhur dan keluarga yang sudah meninggal. Dari upacara ini, muncul harapan agar arwah-arwah leluhur senantiasa menjaga mereka dari gangguan roh jahat, hama tanaman, dan kesialan hidup (Pongarrang, 2014).

Pelaksanaan Ritual Ma'nene

Seperti yang sudah disinggung di atas, Ma'nene diadakan sebelum atau sesudah musim tanam. Ma'nene bisa diadakan tiap tahun, bisa juga beberapa tahun sekali. Di Desa Tonga Riu misalnya, Ma'nene diadakan tiap 3 tahun sekali sesuai dengan kesepakatan masyarakat desa tersebut. Biasanya sanak saudara akan berkumpul dan mempersiapkan berbagai jenis makanan olahan daging babi maupun kerbau. Tak kalah dari Rambu Solo', Ma'nene dilaksanakan dengan menghabiskan dana yang cukup besar. Saking pentingnya acara ini, keluarga besar akan saling patungan atau meminjam dana demi terlaksananya ritual ini.

Ritual ini diawali dengan acara doa bersama dalam bahasa Toraja Kuno. Umumnya, para tetua (Ne') yang akan memimpin acara ini. Doa yang dipanjatkan pun tak bisa dimengerti oleh sembarang orang, karena doa ini merupakan doa khusus untuk menghormati leluhur. Biasanya para tetua akan memohon kepada leluhur agar masyarakat mendapatkan berkah berupa panen yang melimpah.

Setelah kuburan dibuka dan peti diangkat, keluarga akan membersihkan jenazah leluhurnya. Meskipun sudah berusia ratusan tahun, kondisi jenazah masih relatif utuh karena rutin diawetkan. Keluarga akan menggunakan kuas atau kain untuk membersihkan jenazah leluhurnya, secara berurutan mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Setelah dianggap bersih, jenazah akan dipakaikan pakaian kesukaan atau pakaian kebanggaan dari profesinya ketika masih hidup. 

Namun kebanyakan warga akan memberikan pakaian sebagus mungkin berupa setelan jas lengkap dengan dasi dan kaca mata. Sedangkan bagi jenazah perempuan akan dikenakan gaun atau pakaian adat Toraja. Yang menjadi catatan, dalam ritual ini, pantang untuk memakaikan kain berwarna hitam. Pokoknya, keluarga akan menyiapkan pakaian terbaik untuk leluhurnya sesuai dengan kemampuan finansial mereka.

Biasanya, jenazah yang telah memakai pakaian baru akan diarak keliling desa, namun terkadang hal ini tidak dilakukan sehingga ritual dilanjutkan ke tahap pengembalian jenazah ke liang kuburnya. Selanjutnya keluarga besar akan berkumpul di rante (halaman yang luas) dan disana mereka akan beribadah dan makan bersama, tahapan ini disebut Mantutu. 

Dalam ritual ini, tak ada lagi isak tangis. Semua anggota keluarga akan bergembira, saling mengobrol dan berfoto bersama dalam rangka temu kangen. Nuansa kekeluargaan akan sangat berasa, mereka yang masih hidup akan menyantap hidangan bersama-sama dengan keyakinan bahwa leluhur ada bersama mereka dan mencicipi sesajian khusus yang telah mereka persembahkan.

Makna Ma'nene bagi Masyarakat Toraja

Ma'nene tak sekadar ritual membersihkan dan memakaikanm baju baru terhadap mayat leluhur. Ma'nene menggambarkan betapa kuatnya ikatan kekerabatan masyarakat Toraja. Mereka percaya, kematian tak akan pernah memutuskan tali kekerabatan. Bagi masyarakat yang menganut kepercayaan Aluk Todolo (agama nenek moyang yang merupakan perwujudan Animisme tua), Ma'nene merupakan sarana pemujaan, memanjatkan doa dan pengharapan agar para leluhur datang. Mereka memanjatkan doa agar para leluhur melimpahkan banyak berkah serta kelancaran dalam segala aspek kehidupan, juga agar mereka terhindar dari malapetaka dan bencana.

Berbeda dengan penganut Aluk Todolo, masyarakat Toraja penganut agama Kristen melaksanakan ritual ini dengan tujuan untuk melestarikan budaya leluhur. Mereka memandang ritual ini sebagai perwujudan kasih sayang dan tanda terima kasih mereka atas segala kebaikan yang telah diberikan oleh leluhur. Dalam prosesnya, Ma'nene versi Kristen tidak diikuti dengan penyembahan dan doa-doa kepada arwah, akan tetapi diganti dengan prosesi ibadah yang dipimpin oleh pendeta.

Dua agama tersebut memang memiliki cara yang berbeda dalam menjalankan ritual Ma'nene. Namun keduanya tidak menghilangkan esensi penting dari ritual itu sendiri, yakni nilai-nilai kekeluargaan dan kasih sayang. Keduanya menempatkan anggota keluarga yang sudah meninggal sebagai bagian dari keluarga yang akan selalu mereka cintai dan mereka anggap ada. Bagi mereka, keluarganya tak pernah benar-benar pergi, melainkan tetap tinggal dan menetap di dalam hati. Sungguh tradisi yang amat indah dan berharga. Kedepannya, semoga ritual ini senantiasa lestari dan turut mewarnai keberagaman negeri ini .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun