Mohon tunggu...
Dr Akhmad Aflaha SE MM
Dr Akhmad Aflaha SE MM Mohon Tunggu... Dosen

Akademisi, penulis, dan praktisi pendidikan yang dikenal melalui karya-karyanya di bidang pengembangan karakter, manajemen strategik, dan pemberdayaan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membenahi Arah Pendidikan Islam: Dari Warisan Nilai Menuju Relevansi Zaman

8 Juli 2025   19:00 Diperbarui: 8 Juli 2025   19:06 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Dr. Akhmad Aflaha, S.E., M.M.

Pendidikan Islam bukan sekadar pewarisan hafalan, tetapi pencerahan akal, penjernihan hati, dan pembebasan jiwa dari keterbelakangan.”

Pendahuluan: Pendidikan Islam di Era Disrupsi

Pendidikan Islam di Indonesia sedang berada di persimpangan yang krusial. Di satu sisi, ia mewarisi khazanah keilmuan dan spiritual yang agung. Di sisi lain, ia menghadapi tuntutan zaman yang mengharuskan pembaruan terus-menerus, terutama dalam hal metode, arah, dan output.

Namun, realitas hari ini menunjukkan adanya ketimpangan antara idealitas nilai pendidikan Islam dan realitas kelembagaan pendidikan Islam.

Menurut data Kementerian Agama RI (2023):

Indonesia memiliki ponpes sebanyak 36.600 unit, tersebar di seluruh provinsi.

Tercatat lebih dari 5 juta santri mukim di lembaga-lembaga pendidikan Islam formal dan non-formal.

Namun, hanya 22% pesantren yang tercatat memiliki kurikulum integratif antara ilmu agama dan ilmu umum secara memadai (Direktorat PD Pontren, Kemenag, 2023).

Ini menjadi alarm: banyak lembaga pendidikan Islam tumbuh, tetapi tidak semua mampu menjawab kebutuhan zaman.

1. Tujuan Fundamental Pendidikan Islam

Berbeda dengan sistem sekuler yang cenderung berorientasi pada capaian ekonomi atau akademik, pendidikan Islam bertujuan membentuk insan kamil, yakni manusia paripurna secara spiritual, akal, dan sosial.

Tiga pilar dasar pendidikan Islam:

1. Tauhid (Ketuhanan) – Menanamkan kesadaran vertikal terhadap Allah sebagai dasar moralitas.

2. Ilmu (Pengetahuan) – Mengembangkan akal secara holistik: logika, kreativitas, hikmah.

3. Adab (Karakter) – Menumbuhkan etika sosial dan spiritual sebagai kerangka hidup.

Sayangnya, laporan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2021) mencatat bahwa hanya 31% guru madrasah yang memasukkan nilai adab secara sistematis dalam proses pembelajaran harian.

2. Krisis Internal Pendidikan Islam

a. Dikotomi Kurikulum

Dualisme antara ilmu agama dan ilmu umum masih sangat kuat. Ilmu sosial dan sains dianggap “duniawi”, sementara ilmu fiqih atau tafsir dianggap “ukhrawi”. Akibatnya, lahir generasi Muslim yang:

Cakap dalam ritual, tapi gagap dalam analisis sosial.

Kuat dalam hafalan, tapi lemah dalam kontribusi ilmiah dan kebijakan.

Data dari PISA 2022 (Programme for International Student Assessment) menunjukkan bahwa siswa Indonesia berada di peringkat:

73 dari 81 negara dalam literasi membaca.

70 dari 81 dalam matematika.

71 dari 81 dalam sains.

Sebagian besar siswa peserta berasal dari sekolah berbasis umum dan Islam. Artinya, transformasi pendidikan Islam belum menyentuh kualitas literasi-sains secara sistemik.

b. Komersialisasi Pendidikan Islam

Fenomena lembaga pendidikan Islam swasta yang mahal dan eksklusif memperparah kesenjangan. Data BPS (2023) menyebutkan bahwa:

Biaya rata-rata masuk sekolah Islam swasta tingkat SMP mencapai Rp 6,2 juta, lebih tinggi dari sekolah negeri dan madrasah negeri.

Pendidikan Islam menjadi simbol status sosial, bukan jaminan pembinaan nilai spiritual.

c. Krisis Kualitas Guru

Masalah mendasar lainnya adalah kualitas pendidik. Dalam laporan Kemenag RI (2022):

Hanya 29,8% guru madrasah yang memiliki kualifikasi pendidikan S-1 linier.

Sebanyak 23% guru madrasah tidak memiliki pelatihan profesional dalam 3 tahun terakhir.

Padahal, dalam pendidikan Islam, guru (ustaz/murabbi) adalah poros utama transformasi ruhani dan akhlak peserta didik.

3. Tawaran Solusi: Pendidikan Islam yang Membebaskan dan Memanusiakan

a. Integrasi Kurikulum Tauhid–Ilmu–Adab

Mengikuti gagasan Syed Muhammad Naquib al-Attas, pendidikan Islam harus menanamkan adab terhadap ilmu, guru, diri, dan Tuhan. Bukan sekadar transfer materi, tapi pemurnian makna hidup.

Langkah integratif ini bisa dicapai melalui:

Penataan ulang kurikulum agar ilmu sains dan sosial disampaikan dalam kerangka nilai tauhid.

Pembelajaran Qur’an dan Hadis secara aplikatif terhadap masalah sosial kontemporer (korupsi, ekologi, gender, dll).

b. Revitalisasi Lembaga Pesantren

Pesantren adalah aset terbesar pendidikan Islam di Indonesia. Namun harus dikembangkan:

Menjadi pusat inovasi sosial: digitalisasi kitab kuning, pembelajaran interaktif, laboratorium wirausaha berbasis syariah.

Mendorong kolaborasi antara pondok pesantren dan perguruan tinggi Islam.

Contoh baik: Pesantren Sunan Drajat (Lamongan) sukses mengembangkan koperasi modern berbasis pesantren dengan omset miliaran rupiah/tahun.

c. Pelatihan Guru Berbasis Nilai dan Teknologi

Menyusun program pelatihan terpadu untuk guru madrasah dan pesantren.

Meningkatkan kemampuan digital guru agar metode pembelajaran lebih kontekstual dan menarik.

Dukungan dari program GTK Madrasah Digital (Kemenag 2024) perlu diperluas dan dikembangkan di semua provinsi.

4. Studi Kasus: Finlandia, Jepang, dan Relevansi untuk Pendidikan Islam

Finlandia dikenal sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik (UNESCO, 2021). Suksesnya bukan karena kurikulum yang berat, tapi karena pendekatan holistik: menghargai anak sebagai individu yang berkembang sesuai fitrahnya.

Di Jepang, pendidikan dasar sangat menekankan pembentukan karakter (kebersihan, kerja sama, etika kolektif), baru setelah itu memasuki materi akademik.

Relevansinya bagi pendidikan Islam:

Islam sejak awal telah meletakkan pendidikan karakter sebagai inti.

Rasulullah SAW adalah “guru karakter” yang sukses mentransformasikan masyarakat Arab jahiliyah menjadi peradaban agung.

5. Pendidikan Islam sebagai Gerakan Sosial

Pendidikan Islam seharusnya tidak berhenti di ruang kelas. Ia harus menjadi:

Gerakan perubahan sosial: mendorong anti korupsi, etika lingkungan, kesetaraan gender.

Gerakan kebudayaan: menghadirkan Islam yang damai, terbuka, dan solutif di ruang publik.

Peran ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU penting untuk memperluas pengaruh pendidikan Islam ke ranah masyarakat: dari lembaga pendidikan formal hingga gerakan literasi masjid dan komunitas.

Penutup: Pendidikan Islam, Pilar Peradaban atau Sekadar Pelengkap?

Jika kita ingin masa depan umat Islam cerah, maka pendidikan Islam harus dibenahi, diperkuat, dan dimaknai ulang. Ia bukan hanya tanggung jawab kementerian atau pondok, tapi seluruh umat.

Jangan sampai pendidikan Islam hanya jadi alat seleksi akademik, tapi gagal membentuk manusia berakhlak dan berkontribusi.

Karena mendidik anak bukan hanya menyiapkan pekerjaan, tapi menyiapkan pemimpin peradaban.

📚 Referensi:

1. Kementerian Agama RI, Statistik Pendidikan Islam, 2023.

2. PISA OECD 2022, Global Ranking in Education Quality.

3. BPS Indonesia, Data Ekonomi Pendidikan 2023.

4. LIPI, Evaluasi Pendidikan Islam Nasional, 2021.

5. Syed M. Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, 1980.

6. UNESCO Education Report 2021.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun