Energi baik itu menular. Saya percaya itu. Setidaknya, memang demikian yang selama hampir tiga tahun terakhir. Salah satu energi baik yang berhasil menularkan virus positif ke saya berasal dari orang-orang di sebuah komunitas. Tidak bisa dipungkiri, hampir setiap kita di era milenial sekarang rasanya sulit terlepas dari yang namanya komunitas.Â
Menurut wikipedia, komunitas berasal dari bahasa latin yakni "communitas" yang berarti "kesamaan". Secara umum, komunitas merujuk pada kelompok atau sekumpulan orang yang mempunyai kesamaan minat dan berkecimpung di bidang tertentu.
Well, sebetulnya saya tergabung dengan banyak komunitas sih. Antara lain komunitas menulis, komunitas pembaca buku fantasi, komunitas pecinta jejepangan (hal-hal berbau Jepang), komunitas pecinta kucing, komunitas blogger, dsb. Namun ada satu komunitas yang kadar penularan energi baiknya sangat tinggi. Komunitas yang membuat saya begitu betah dan sangat bersyukur menjadi bagian darinya.
 Adalah Kompasianer Palembang (Kompal), yakni salah satu komunitas regional Kompasiana. Awalnya, saya mengira komunitas ini hanya sebuah komunitas kepenulisan biasa. Diisi oleh orang-orang biasa -yang kebetulan saja sama-sama hobi menulis dan dipertemukan lewat platform Kompasiana dan berdomisili di Palembang dan Sumatera Selatan pada umumnya. Namun seiring waktu, saya menyadari bahwa komunitas ini punya nilai lebih dan pada akhirnya menempati sudut istimewa tersendiri di dalam hati. Apa yang membuat komunitas ini sangat berbeda dan spesial dibanding komunitas lain yang saya ikuti? Berikut ulasan lengkapnya :
1. Miniatur Indonesia
 Begitu beragamnya Kompal, hingga memaksa semua membernya satu persepsi dan satu suara jelas sebuah kemustahilan. Jangankan bicara berat-berat seperti jagoan pilpres masing-masing, menentukan sebuah film termasuk bagus atau tidak saja bisa ngoceh berhari-hari di grup WA. Namun justru karena keberagaman seperti inilah yang membuat Kompal pada akhirnya menjadi sangat terbiasa dengan perbedaan. Berdebat, berselisih, keukeuh dengan pendapat masing-masing itu hal wajar, namun sama sekali bukan alasan untuk bertengkar apalagi memaksakan kehendak. Sebaliknya, semakin hari Kompal semakin toleran satu sama lain karena terbiasa bertukar pikiran.
 Dulu terus terang saya suka sebal dengan orang-orang yang punya pola pikir berseberangan. Namun sejak bersama Kompal, saya merasa jauh menghargai orang lain, termasuk mereka yang punya pemikiran berbeda. Tidak harus setuju dan sehati memang, tapi bisa memaklumi dan tak lagi memaksakan kehendak sendiri itu adalah kunci membuat hubungan antar-sesama manusia menjadi jauh, jauh, jauh lebih menyenangkan.
 2. Kekeluargaan Erat

Demikian juga misalnya ada Kompalers yang kebetulan sedang terkena musibah atau --sebaliknya--, sedang hajatan. Kompal selalu hadir. Meski lagi-lagi tak selalu dalam formasi lengkap, namun selalu. Selalu saja ada perwakilan Kompal di setiap momen.
3. Kompak Tularkan Energi Baik
Well, member Kompal memang tak bisa 100% lepas dari gawai (sesekali dikeluarkan untuk foto bersama atau mengunggah insta-story), namun setidaknya kami masih tetap benar-benar ngobrol bahkan kadang sempat-sempatnya diskusi serius. Say no to phubbing!
 Sejak awal berdiri, Kompal adalah komunitas kepenulisan. Dalam bidang ini pun, member Kompal selalu menebar energi baik lewat tulisan-tulisan yang dihasilkan. Kompal berkomitmen untuk membangun dengan tulisan-tulisan baik yang tentu saja tanpa hoax.
Â




"Ketika kita dikelilingi orang-orang yang selalu mencintai, maka membenci akan terasa rugi."
Tulisan ini diikutsertakan dalam blog competition "Energi Baik untuk Kehidupan" kerjasama Perusahaan Gas Negara (PGN) dan Kompasiana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI