Mohon tunggu...
Muhammad Aqiel
Muhammad Aqiel Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Buruh dan Warisan Orde Baru

17 Desember 2017   12:02 Diperbarui: 17 Desember 2017   12:22 1278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mewujudkan bangsa yang tangguh dan "berdikari" nyatanya tinggal angan-angan belaka. Pergerakan nasional seakan-akan terjerat dalam Kapitalisme Global, kaum borjuis berhasil menguasai hampir dari seluruh elemen masyarakat. Berawal sejak Sukarno mangkat dari kekuasaanya, Indonesia mulai membuka diri terhadap bantuan-bantuan asing baik berupa investasi, modal, dan secara politis mewarnai suasana perang dingin, kesekian kalinya kita berkiblat pada "Paman Sam",  sehingga diplomasi dengan amerika serikat telah mengharamkan Kesejahteraan demi memuluskan eksploitasi Sumber daya alam secara besar-besaran di Kalimantan, Timor-timur dan Papua di sekitar tahun 1980an.

Pada masa Orde baru Perekonomian mulai bergantung pada modal asing akan tetapi hal ini tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas Sumber Daya manusia di berbagai sektor, Khususnya di bidang Industrialisasi.

Alhasil ketika krisis moneter melanda pada tahun 1998, Indonesia tidak bisa berbuat banyak karena minimnya prodktivitas, berbanding terbalik dengan negara-negara di Asia seperti Jepang dan Singapura yang mampu mengatasi dalam kurun waktu relatif singkat.

Melihat Sejarah

Kepemimpinan Otoritarianisme ala Orba Selama 33 tahun di bawah kekuasan diktator Suharto, kata Komunis sangat tabu bagi warga negara Indonesia. Di sekolah-sekolah di ajarkan mata pelajaran PSPB (Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa), mata pelajaran ini pun mengajarkan tentang G.30 S (Gerakan 30 September ) Partai Komunis Indoneia yang masih kontroversial. Atau  Partai yang menurut Pemerintah Orde Baru di anggap partai yang tidak berperikemanusian dan menuduh DN Aidit dan kawan-kawannya sebagai Pelaku G.30.S karena adanya keterlibatan beberapa tokoh PKI dalam gerakan tersebut.

Doktrin Orba tentang Komunis membuat para masyarakat termasuk kaum muda merasa jijik mendengarkan kata Komunis dan memahami komunis sebagai partai yang identik dengan anarkis, tidak mempunyai moral, tidak pecaya akan adanya  Tuhan. Hingga kini Komunisme masih menjadi musuh bersama, musuh yang harus dihabisi ke akar-akarnya.

Komunisme baik di belahan dunia manapun seperti hantu yang berkeliaran, para penguasa akan terusik. Berupaya membangun persekutuan antara golongan yang menolak kebangkitan PKI yang dikira berdampak besar bagi keutuhan berbangsa dan bernegara. Terlebih lagi ada konsolidasi bersama antara kaum Muslimin dan Militer, sekiranya mereka begitu bersikukuh; pertanyaanya,"PKI, ancaman terhadap Pancasila atau hanya 'amarah' para Jenderal Purnawirawan ?" pada bulan Juni 2016 silam di Jakarta, sekelompok purnawirawan TNI bersama sejumlah ormas menggelar simposium Pancasila dengan tajuk, "Mengamankan pancasila dari ancaman kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan ideologi lain.". simposium tersebut menolak rencana Presiden Jokowi yang diduga akan meminta maaf terhadap korban Tragedi 1965, nyatanya permintaan maaf tak kunjung terealisasikan hingga detik ini.

Militer dan Buruh

Balas dendam bukanlah hal yang manusiawi, dimana letak kemanusiaan apabila pembantaian dijadikan keramat guna membumihanguskan suatu kaum yang menjadi lawan politik, mayoritas dari mereka adalah simpatisan PKI, mereka di provokasi sehingga mudah diperdaya oleh janji-janji manis Komunisme yang terdengar utopis.

Malapetaka 30 September 1965-1966 (Peristiwa G 30 S PKI), pembataian massal yang dilakukan Soeharto terhadap rakyat Indonesia, jutaan rakyat dibunuh, puluhan ribu dipenjara tanpa sidang, demokrasi dibungkam, menjadi titik awal kebangkitan sistem Orde Baru yang dibangun Soeharto, setelah berhasil menggulingkan presiden Soekarno. Menurut Bertrand Russel, "Dalam empat bulan saja, lima kali lebih banyak orang telah mati di Indonesia daripada di Vietnam selama 12 tahun."

Sejak saat itu golongan militer mulai berbuat seenaknya, mereka mulai memperkaya diri dengan memanfaatkan keuntungan diplomatis bersama kekuatan dominan perang dingin dari kubu kapitalisme, Amerika Serikat. Secara politis dapat dilihat dari minoritas kaum buruh di timor leste, banyak dari mereka yang tidak menempuh pendidikan lantaran aneksasi yang diperbuat Indonesia demi mempertahankan integrasi sebagai wujud antisipasi adanya pemberontakan Partai Komunis disana, sejatinya Amerika Serikat tak ambil pusing dan merasa diuntungkan karena mampu menghalang teori domino (penyebaran komunisme di asia tenggara melalui Indocina) dapat di antisipasi oleh Indonesia. Sehingga otoritarianisme dalam wujud kapitalisme kaum borjuis yang berkuasa begitu dihalalkan.

Menilik Pendidikan, hal ini sengaja karena buruh diperuntukkan menjadi tenaga kerja bisnis keluarga Cendana agar kaum buruh mudah dikelabui dengan slogan-slogan nasionalisme yang kebelinger. Saat itu Buruh hanya tau makan, di Timor-timur kaum buruh laksana Tentara tak dibayar sehingga banyak dari mereka yang mati kelaparan, bahkan ada ratusan pemuda timor-timur yang dipindah kerjakan ke pulau jawa demi menghindari pemberontakan dengan iming-iming upah yang layak. Saat itu Pemerintah cenderung memperlakukan buruh sebagai bahan bakar untuk memacu industrialisasi dan mendorong ekspor, hingga untuk hal-hal yang menyentuh kebijakan mereka tak pernah diajak bicara, karena pada saat itu stigma kaum buruh di identikan dengan Komunisme.

Saat itu ada organisasi buruh yang cukup besar pada era Orde Baru, yakni Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Namun, Soeharto membasminya dengan brutal sehingga menimbulkan trauma di kalangan pejuang buruh, bahkan hingga saat ini. Serikat buruh kemudian digiring untuk menjadi lebih berorientasi ekonomis, bukan lagi mempertentangkan kelas.

Dapat disimpulkan, rezim militer tidak hanya merampas kemerdekaan Timor leste, juga merampas kemerdekaan kaum buruh di Indonesia, dalam hal ini mereka belum juga mendapatkan upah yang layak.

Baik pergulatan politik jenis apapun militer selalu tampak berada di arena, mulai dari "PKI vs Kostrad", sampai di era demokrasi sekarang dimana tokoh militer kembali memapangkan wajahnya di catur permainan politik di Indonesia. Militer bukanlah solusi, lihat ketika orde baru berkuasa, pada nyatanya Jenderal-jenderal di atas tampuk masihlah kelas borjuis, mereka begitu terpaku akan kekuasaan sehingga cenderung memperkaya diri dan hidup mewah-mewahan sementara di sekitarnya masih banyak orang yang tinggal di tempat-tempat kumuh, sukar memenuhi kebutuhan sehari-hari, diperdaya legistimasi, dan terinjak-injak oleh kartel sembako. Sekarang pertanyaanya, sudahkah kita merdeka ? lagi-lagi nasib kaum buruh kembali ditikam, padahal mereka pahlawan sejati yang memakmurkan nasib kelas borjuis.

*Pernah diterbitkan di Harian Lampung Post dan katarosim.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun