Saat matahari mulai menyingsing di ufuk timur, banyak orang menjadikannya alarm untuk memulai aktivitas atau bahkan sekadar bangun dari tidur. Namun, di salah satu sudut Yogyakarta, geliat kehidupan telah berlangsung sejak fajar belum benar-benar menyapa. Di sinilah jiwa-jiwa tangguh sudah lebih dulu bergerak, memulai hari dengan hiruk-pikuk aktivitas yang tak pernah absen.
Sudut di Yogyakarta ini bernama Pasar Demangan. Nama pasar ini berasal dari lokasinya, yakni Kelurahan Demangan di Kecamatan Gondokusuman. Dahulu, kawasan ini dikenal sebagai hunian para demang alias pemimpin kampung pada masa kejayaan kerajaan. Jejak masa lalu itulah yang kemudian melekat dalam nama "Demangan", menjadikan pasar ini bukan sekadar tempat jual beli, tapi juga saksi bisu perjalanan sejarah kawasan tersebut.
Bagi warga sekitar, Pasar Demangan menjadi ladang rezeki, tempat orang-orang menjemput harapan, menjadi perantara datangnya berkah dari Tuhan. Suara riuh pedagang yang menata dagangan, aroma rempah segar, dan bunyi tawar-menawar menjadi musik pagi bagi siapa saja yang singgah di sana.
Sejak pukul enam pagi, jalanan di sekitar pasar telah dipadati kendaraan mulai dari sepeda motor, mobil pikap, hingga gerobak dorong. Para pedagang dengan semangat yang seolah tak pernah habis, sibuk menurunkan dan menata dagangan. "Pagi itu bagi saya adalah waktu yang paling sibuk. Kalau kesiangan, dagangan sudah habis duluan atau pembeli sudah pergi," kata Bu Sarinah, penjual sayur yang sudah berjualan di Demangan selama lebih dari dua dekade.
Dengan cekatan, perempuan tua berkerut itu merapikan hasil panennya. Cabai berbagai jenis, kubis, hingga aneka sayuran hijau lainnya menjadi sumber penghasilannya. "sayur ini saya dapat dari hasil tanam saya sendiri nduk, harus saya angkut pagi-pagi juga. Semua harus cepat supaya sayur masih segar dan pembeli puas" Jelasnya sambil tersenyum.
Aku tak banyak melontarkan pertanyaan, tetapi setiap kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar tulus meski dengan suara bergetar. Sekali ia mengatakan "jenengan kados wayah kulo" yang berarti, "kamu mirip cucu saya" Sebuah ungkapan sederhana, namun mensiratkan kerinduan seorang nenek akan cucu tercintanya
Di sudut lain, seorang tukang becak bernama Pak Naryoto, tengah menunggu pelanggan. "Saya mulai kerja dari jam lima pagi mbak. Meskipun sekarang sudah banyak yang bawa kendaraan sendiri, tapi beberapa tu masih sering pake becak," ucapnya sambil mengelap peluh di dahi.
Dengan becaknya yang setia menemani, ia menembus keramaian pasar dan menyambung hari demi hari. "Sini nggak pernah sepi mbak, banyak yang datang dari luar daerah juga, terutama buat belanja sayur" tambahnya.
Selain pedagang dan tukang becak, para ibu rumah tangga turut menjadi pengunjung rutin. Mereka tampak menenteng tas belanja kain, berjalan dari satu lapak ke lapak lain sambil sesekali menyapa akrab para pedagang yang sudah dikenalnya sejak lama.
Pemandangan yang tercipta dari pasar Demangan ini menjadi bukti, bahwa Pasar Demangan bukan hanya sekadar tempat jual beli. Di sinilah tempat bertemunya semangat hidup, perjuangan, dan kehangatan. Dari Bu Sarinah si penjual sayur, Pak Naryoto sang tukang becak, hingga para ibu rumah tangga yang berbelanja dengan senyum ramah.