Mohon tunggu...
Aprilia Arsita
Aprilia Arsita Mohon Tunggu... Mahasiswa

penulis

Selanjutnya

Tutup

Financial

Investasi Kripto dan Investor Ritel di Tengah Ketidakpastian

12 September 2025   21:17 Diperbarui: 12 September 2025   22:05 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Beberapa tahun terakhir, dunia investasi di Indonesia mengalami pergeseran besar. Jika dulu saham, emas, dan properti dianggap pilihan utama, kini aset kripto seperti Bitcoin, Ethereum, dan ribuan token lainnya ikut meramaikan arena. Yang menarik, minat ini justru banyak datang dari investor ritel, yakni masyarakat biasa dengan modal terbatas, bukan dari institusi besar. Fenomena ini muncul di tengah kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastia, harga kebutuhan pokok naik, inflasi membayangi, dan pasar saham bergejolak.

Mengapa banyak orang, terutama generasi muda, rela menaruh uangnya di aset digital yang sangat fluktuatif? Apa yang membuat kripto begitu menggoda meski penuh risiko? Artikel ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan mengulas sejarah adopsi kripto di Indonesia, daya tarik utamanya, risiko yang ada, hingga respons regulator.

Bitcoin pertama kali diperkenalkan di Indonesia sekitar 2013, tetapi saat itu hanya dikenal di kalangan kecil penggemar teknologi. Popularitas kripto baru benar-benar melonjak pada 2017 ketika harga Bitcoin naik drastis hingga menembus Rp200 juta per koin. Lonjakan ini memicu gelombang investor baru, meski banyak juga yang merugi saat harga jatuh pada 2018.

Namun, pandemi COVID-19 justru menjadi titik balik yang lebih besar. Saat aktivitas ekonomi melambat dan banyak anak muda mencari peluang tambahan, kripto mulai dipandang sebagai alternatif investasi. Menurut data Bappebti, jumlah investor kripto di Indonesia naik dari 4 juta orang pada 2020 menjadi 17 juta orang pada akhir 2023. Angka ini bahkan melampaui jumlah investor saham yang sekitar 12 juta. Fakta ini menunjukkan bahwa kripto bukan lagi sekadar tren sesaat, melainkan bagian dari peta investasi baru di Indonesia.

Mengapa Kripto Begitu Menggoda bagi Investor Ritel?

1. Potensi Keuntungan yang Fantastis

Tidak bisa dipungkiri, daya tarik utama kripto ada pada kemungkinan mendapatkan keuntungan berlipat ganda dalam waktu singkat. Kisah sukses orang-orang yang menjadi miliarder karena membeli Bitcoin sejak awal sering beredar di media sosial, menumbuhkan imajinasi publik. Bagi investor ritel, terutama dengan modal kecil, kesempatan seperti ini terasa jauh lebih menarik dibanding investasi konvensional yang cenderung stabil tapi lambat.

2. Akses Mudah dan Modal Minim

Kripto bisa dibeli hanya dengan modal puluhan ribu rupiah melalui aplikasi di ponsel. Berbeda dengan saham yang membutuhkan rekening efek dan mekanisme bursa, kripto terasa lebih praktis. Proses pembelian yang sederhana ini menjadi alasan mengapa anak muda cepat akrab dengan aset digital.

3. Budaya Populer dan Efek Media Sosial

Tidak hanya soal keuntungan, kripto juga sudah menjadi bagian dari budaya populer. Meme Dogecoin, istilah HODL, hingga ajakan "to the moon" di Twitter dan TikTok membentuk komunitas digital yang solid. Bagi generasi muda, ikut membeli kripto bukan sekadar investasi, tetapi juga bagian dari identitas sosial agar tidak merasa tertinggal (fear of missing out atau FOMO).

4. Diversifikasi di Tengah Ketidakpastian

Banyak investor mencari alternatif saat rupiah melemah atau pasar saham anjlok. Kripto sering disebut sebagai "emas digital," meskipun perannya masih diperdebatkan. Setidaknya, bagi investor ritel, memiliki kripto memberi rasa aman seolah mereka punya pegangan lain di luar aset tradisional.

Meski menjanjikan, kripto bukan tanpa bahaya.

  • Volatilitas Ekstrem

Harga Bitcoin bisa naik jutaan rupiah dalam sehari, tetapi juga bisa jatuh tajam di hari berikutnya. Investor yang tidak siap mental maupun finansial bisa rugi besar.

  • Regulasi Belum Matang

Bappebti memang sudah mengatur daftar aset kripto yang boleh diperdagangkan, tetapi kripto belum diakui sebagai alat pembayaran sah. Bank Indonesia bahkan melarang penggunaannya sebagai mata uang. Ketidakjelasan status hukum ini membuat posisi kripto masih abu-abu.

Banyak kasus peretasan bursa kripto (exchange hack) yang membuat investor kehilangan miliaran rupiah. Tidak ada lembaga penjamin seperti LPS di perbankan, sehingga kerugian biasanya ditanggung investor sendiri.

  • Spekulasi Berlebihan

Menurut laporan Chainalysis (2023), sekitar 40% transaksi kripto global masih didominasi spekulasi jangka pendek. Artinya, banyak orang membeli bukan karena analisis fundamental, tetapi karena tren sesaat.

Dibanding saham, emas, dan obligasi, kripto memiliki karakter unik. Saham menawarkan dividen dan pertumbuhan berbasis kinerja perusahaan. Emas dianggap sebagai aset aman ketika krisis melanda. Obligasi memberi imbal hasil stabil dengan risiko lebih rendah. Kripto berada di tengah-tengah: menjanjikan keuntungan besar seperti saham, diperlakukan seperti emas digital, tetapi tanpa dasar fundamental yang jelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun