Kusesap santau dari ranum bibirmu. Merekah semara di antara rerimbunan perdu. Menguar elegi nan syahdu dari teragak saban minggu. Arkian kusetubuhi saja fantom dengan bengis. Menziarahi seluk beluk tubuhmu dengan bengis. Sungguh, engkau rupawan tiada lawan. Malam ini, Renjanaku sayang, sesap habis nektarku di taman bunga milik Eros. Hingga termengah-mengah kita berlarian menuju moksa bersama tangis.
Hasai daksa setelahnya. Bertubi-tubi kau hunjam wadak di tubir imaji. Hingga dedaunan alum di tinggi ancala, masih jua tak ada pendar nubuat tentang kita. Dersik kelopak berguguran, tulang rusukmu hancur perlahan. Berserakan pada bentala, menunggu hirap berhembus bersama tiupan kertau yang menggoda.
Renjana,... Biar aku bertanya. Apa yang lebih klandestin dari waktu? Dari dentang detik saat daksa rebah pada bayang. Dari sibuk ruh merapal doa kala netra memejam. Adakah yang lebih klandestin dari waktu, Renjana? Saat Izrail sedekat nadi, engkau tak bisa berlari lagi.
Mari karam.
Mari makam.
Di neraka yang jahanam.
- Jakarta, 17 Januari 2020 -