Di tengah taman ini luka luka sedang membahasakan diri. Menceritakan tentang Dandelion putih yang terbang pergi dan si narsis Daffodil yang tak lagi gemar berhias diri. Juga Aster tetiba murka tak sabar menunggu musim berganti. Hortensia yang kerap gelisah berganti-ganti warna sendiri. Belum lagi Garbera yang biasanya ceria, mendadak suram tak berdaya. Semua di hadapan gagahnya Mahoni tua. Mereka bersahutan bercerita. Berebut tempat, bersawala siapa yang paling menderita. Untunglah duka ku semenjana, dibanding derita mereka.....
***
Pagi ini cuacanya masih aroma tubuhmu. Serupa harum petrikor yang pertama. Dersik angin berbisik tentang ketaksaan cinta untuk kekal. Perihal aku dan kamu yang berpelukan pada apa yang bukan kita. Di peron kelima, saat kereta pertama berangkat menuju tiada.
Tanpa sepayung apapun, rindu seketika menghujan tanpa ampun. Jatuh dengan deras, sangat deras, tapi tak pernah kutemukan. Mungkin ia terjatuh di selokan..... Lalu hitam mata kopiku menatap tajam. Seolah yakin setelah ini akan ada kelahiran puisi tak berkesudahan, dari rahim rahim yang gundah pun gelisah.Â
Bunga bunga cantik itu masih bersawala. Sementara luka luka semakin menganga. Mereguk habis sisa embun pelepas dahaga.....
Pagi itu ada yang beda. Mahoni tua masih tetap tak bicara.
- Jakarta, 13 Oktober 2018 -