Â
Oleh Alexander Wijayanto
Millenial menyukai coklat. Itu pasti. Buktinya di hari Valentine penjualan coklat laris manis di kalangan segmen ini. Survey ShopBack yang menyasar segmen mellennial pada tahun 2018 menunjukkan, sebanyak 55% responden mengaku akan membelikan hadiah pasangannya untuk hari kasih sayang itu.Â
Uniknya sebesar 54% responden wanita mengaku paling antusias untuk memberikan hadiah kepada pasangannya. Dan, coklat (50%) adalah yang paling banyak dicari dibandingkan produk lainnya sebagai hadiah. Selain itu, bisnis e-commerce seperti Tokopedia merilis penjualan cokelat pada Valentine 2017 meningkat lebih dari 650%.
Apa hubungannya coklat dengan segmen millennial? Millenial sangat dikenal dengan karakteristik yang confidence, assertive, keingintahuan yang besar dan motivasi menikmati hidup (enjoy life).Â
Produk coklat bisa merelasikan karakter tersebut. Coklat untuk merayakan joy of moment, coklat untuk berbagi dengan teman dan keluarga, coklat untuk menyegarkan fisik dan kepenatan mental (misalnya, waktu individual untuk menemukan diri sendiri dengan "me-time").
Pasar yang Atraktif
Bagaimana sih pasar coklat di Indonesia? Pasar coklat terus tumbuh 10% di tahun 2007-2012 (lihat Exhibit 1). Sementara, CAGR menunjukkan tumbuh +8% dari 2012 ke 2017.Â
Pangsa pasarnya diperkirakan berkisar 11,2 triliun rupiah tahun 2017. Walaupun konsumsi per kapita masyarakat Indonesia terbilang masih rendah yaitu 0,4 kg per tahun, ini mengindikasikan ruang yang besar untuk tumbuh.
Bila kita sedikit menggali data demografi millennial (Exhibit 2), kita akan menemukan hal yang menarik dari segmen ini. Data Bappenas merilis jumlah millennial tahun 2020 sekitar 90 juta.Â
Ada 57% millennials tinggal di perkotaan yaitu sekitar 51 juta jiwa. Katakan saja 90% dari populasi tersebut mengkonsumsi rata-rata coklat batang seharga Rp.10,000 setahun, maka besaran pasar ini untuk segmen millennials sekitar 5,5 triliun rupiah. Sangat atraktif, bukan?

Dalam beberapa tahun belakangan ini cukup ramai bisnis pengolahan buah kakao asing  berinvestasi di Indonesia (Olam, Daito Cacao, Cargill, Callebaut Comextra Swiss, dll).Â
Mengingat Indonesia adalah salah satu produsen besar kakao dunia. Ini mengindikasikan besarnya potensi produksi Indonesia dan permintaan pasar global. Tahun 2017 lalu pasar coklat global mencapai USD 103.28 billion (Rp.1,455 T).Â
Maka, tidaklah mengherankan brand asing di categori ini cukup banyak yang eksis di pasar dalam negeri. Namun, yang menarik adalah brand lokal seperti Silver Queen adalah salah satu champion di kategori coklat batang.
Marketing Analytics
Menariknya lagi bila kita menelaah pada level yang lebih mikro dengan marketing analytics. Ada sebuah survey yang kami lakukan di antara konsumen millennials mengenai konsumsi produk coklat pada tahun 2017 lalu.Â
Pertanyaan penting yang muncul, misalnya, apa fundamental makna coklat, dan need states apa yang dicari millennials dari produk coklat? Seberapa jauh penetrasi merek-merek di dalamnya, bagaimana kekuatan dan kelemahan masing-masing merek?
Untuk menjawab pertanyan-pertanyaan tersebut kami mencoba pertama kali menggali secara kualitatif masuk ke dalam benak dan kesadaran konsumen mellennial ini dengan pertanyaan apa motivasi fundamental mengkonsumsi coklat. Dengan demikian kita akan mempunyai hipotesis mengenai Key Buying Factor (KBF) dari kategori ini (lihat Exhibit 3). Beberapa temuan kunci sebagai  berikut:
- Coklat merupakan cara untuk melepas dan masuk secara regresif ke dunia anak-anak masa lalu, untuk sementara menikmati kenikmatannya. Dalam kata lain, adalah suatu cara merasakan atau merayakan sejenak saat kegembiraan seperti kanak-kanak dulu.
- Menikmati coklat adalah suatu cara untuk menyegarkan kembali kepenatan fisik ataupun mental
- Coklat sebagai sesuatu untuk dibagi kepada teman atau orang yang dikasihi, membagikan kemurahan hati. Di sini ada makna, kebersamaan, harmoni dan sosial.
- Produk coklat juga sebagai suatu cara untuk mengekspresikan diri kepada orang lain mengenai bahwa seseorang mengenal betul coklat yang berkualitas dan otentik, serta "passionate" dalam hal ini.

Dari hasil survey kita melihat bahwa konsumen millennial mengkonsumsi coklat sebagai cara untuk mengekspresikan kebersamaan, sebagai bingkisan/hadiah kepada seseorang yang dianggap penting. Jadi, coklat juga merefleksikan kehangatan. Dalam hal ini, merek Silver Queen dan Cadbury Dairy Milk dipersepsikan paling kuat mencirikan atribut ini.
KBF lainnya yang dianggap relevan dan penting adalah coklat sebagai cara untuk menyegarkan fisik dan mental sehingga merasa nyaman. Untuk atribut ini Cadbury Dairy Milk yang dipersepsi millennial sebagai yang terbaik. Secara keseluruhan, dari 6 merek yang dievaluasi secara rata-rata merek Cadbury Dairy Milk mengungguli merek lainnya, diikuti kemudian oleh Silver Queen.
Dari kedua merek yang paling kuat dalam kategori coklat batang, Cadbury Dairy Milk cenderung diasosiasikan sebagai coklat yang paling tepat untuk mengapresiasi diri sendiri, memberikan kesan kenikmatan dari sebuah coklat yang berkualitas untuk memanjakan diri (self-indulging).Â
Di lain sisi, mellennial mempersepsi Silver Queen lebih kuat sebagai sebuah coklat untuk kebersaamaan dan berbagi dengan orang yang dikasihi (teman/pacar/keluarga), atau untuk merasakan kehangatan dari kebersamaan (togetherness)

Pertanyaan untuk pemasar adalah sejauh mana brandnya mengusungkan POD tertentu telah mengatribusikan atau menjadi brand image sebagaimana didesain dalam value proposition-nya. Ini merefleksikan kinerja merek, sesuatu yang penting di benak setiap brand manager: does my brand campaigns effectively penetrate consumers' mind?
Brand identity harus diciptakan. Ia tidak lahir begitu saja. Demikian pula dengan brand identity suatu merek. Perlu dicatat brand identity di sini bukanlah identitas grafis (e.g. logo, font types), tetapi purpose dari brand tersebut.Â
Brand identity harus diciptakan, dikomunikasikan secara komprehensif, sehingga memposisioningkan suatu merek berbeda dengan kompetitornya. Analysis brand images adalah berguna untuk mengevaluasi sejauh mana brand identity telah efektif memproyeksikan pesan untuk suatu brand. Dalam manajemen merek brand identity mengarahkan brand images.
Analisis brand images pada Exhibit 5 mendemonstrasikan cara pandang kelompok millennial terhadap merek-merek lintas kategori coklat yang mereka pernah konsumsi selama ini. Dalam persepsi mereka merek-merek coklat yang ada terpolarisasi menjadi dua kelompok besar seperti tergambarkan oleh arah garis vector yang berbeda.

Kelompok kedua datang dari merek-merek seperti Cadbury Dairy Milk, Delfi, Kit Kat, Ferrero Rocher, Toblerone dan Van Houten. Mellennial mempersepsikan merek-merek ini sebagai merek berkualitas, merek international, elegan, expert, dan exclusive.
Beberapa attribute merek dianggap lemah berasosiasi dengan merek-merek tersebut boleh jadi karena tidak ada memproyeksikan atribut tersebut, seperti merek yang "natural" dan "otentik".
Kami mencoba menelusuri lebih jauh (deep dive) dengan menganalisis ungkapan spontan millennial terhadap merek-merek yang mereka konsumsi dengan text-mining. Kami menganalisis merek utama di kategori ini yaitu Silver Queen dan Cadbury Dairy Milk.
Temuan tersebut menggambarkan Silver Queen adalah coklat dengan kacang mete dan almond (physique). Dari sisi fitur, merek ini sangat kuat berasosiasi sebagai coklat dengan kacang mete dan almond.Â
Uniknya, Silver Queen juga dipersepsi kuat berasosiasi dengan Valentine. Tidaklah mengherankan merek ini dianggap berkaitan imaji romantis, pacar, dan bingkisan atau hadiah. Ini mengindikasikan messaging dengan komunikasi Valentine sangat sukses membentuk persepsi segmen millennial.
Bagaimana dengan Cadbury Dairy Milk? Merek ini cenderung lebih dipersepsi berkaitan dengan kualitas coklatnya. Cadbury adalah coklat yang lembut, manisnya yang pas, kelembutannya ketika meleleh di mulut. Merek ini mempunyai kekuatan dengan pengalaman sensori di mulut. Sesuatu yang relevan berkaitan dengan self-indulging dengan coklat.
 Brand Identity and Brand Positioning
Kompetisi di kategori ini (chocolate confectionery) pastinya akan terus ketat dengan meningkatnya merek dan varian baru. Tidak bisa ditolak bahwa persaingan menciptakan kemiripan, replikasi, ataupun "me-too". Konsumen di Indonesia lebih mudah menerima coklat dengan fitur kacang (cashew ataupun almond).Â
Semua merek pasti akan menyediakan varian ini. Konsumen pasti harus memilih dari semua merek yang tersedia. Semua pilihan adalah komparatif. Nah, di sinilah pentingnya makna fundamental positioning. Brand dengan karakterisitik yang kuat akan memperkuat positioningnya.Â
Dalam kata lain, positioning juga mempunyai makna komparatif dan kompetitif. Dalam kasus ini, Silver Queen secara komparatif lebih dicirikan dengan karakter kacang mete dan almond, sedangkan Cadbury lebih pada kelembutan coklatnya. Walaupun, Cadbury ternyata juga punya varian dengan kacang mete. Tetapi konsumen tidak menganggap kekuatannya di fitur tersebut.

Brand manager Cadbury bisa mengambil insights dari atribut ini yang diproyeksikan untuk komunikasi kepada pelanggannya. Messaging ini harusnya koheren dengan brand identity dari Cadbury.
- Survei ShopBack: Lebih dari Setengah Perempuan di Indonesia Suka Beli Hadiah untuk Pasangannya di Hari ValentineÂ
- Global Chocolate Market Expected to Reach USD 161.56 Billion By 2024: Zion Market ResearchÂ
- Power Brands: Measuring, Making, and Managing Brand Success 3rd Edition. by Jesko Perrey, Tjark Freundt, Dennis Spillecke
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI