Mohon tunggu...
Anto Sugiharto
Anto Sugiharto Mohon Tunggu... Insinyur - Profesional Migas

..Just ordinary man, mantan ekspat, peminat sejarah migas, teknologi penerbangan dan dunia militer.. "Peristiwa tertulis lebih abadi dibanding yang terucap"

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Medieval Baghdad dan Inovasi Pengolahan Minyak Bumi Modern

2 Januari 2021   08:57 Diperbarui: 4 Januari 2021   08:02 1777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan salah satu kota di Timur Tengah (foto : dokumentasi penulis)

Timur Tengah masa kini selalu identik sebagai kawasan negeri petrodolar, walaupun tentu saja tidak sepenuhnya demikian. Kota-kota mereka yang awalnya gurun pasir panas kering nan gersang berubah menjadi metropolis dipadati gedung pencakar langit. Jalanan kota yang lebar dan sangat mulus dipenuhi lalu lalang mobil mewah.

Semua itu terjadi berkat kejayaan era minyak dan gas bumi dengan produksi dan cadangan yang sangat melimpah setelah penemuan ladang-ladang minyak besar di Semenanjung Arabia dan Teluk Persia menjelang Perang Dunia kedua dan setelahnya.

 Baghdad- Center of Excellence Sains Dunia di Abad Pertengahan 

Sejarah membuktikan bahwa apa yang terwujud di masa kini seringkali menggambarkan peristiwa penting yang terjadi di masa lampau. Di abad pertengahan (medieval)- dua belas abad lalu, bangsa Arab di Timur Tengah memang pernah menggapai kejayaan bidang keilmuan dan teknologi hingga menjadi referensi penting kemajuan peradaban dunia masa itu.

Kemajuan kota Baghdad yang merupakan ibukota pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750 - 1258 M) muncul bersamaan ketika bangsa Eropa di belahan bumi barat justru sedang mengalami dark ages setelah keruntuhan kekaisaran Romawi Barat dan sebelum lahirnya abad pembaharuan (Renaissance). Dimasa dark ages itu segala hal yang berkaitan dengan sains dan keilmuan justru dipinggirkan dalam tradisi kehidupan bangsa Eropa.


Dengan perkembangan pesat pemerintahan Abbasiyah dalam berbagai sendi kehidupan, maka ibukota Baghdad pernah dinobatkan menjadi pusat ilmu pengetahuan, budaya, filsafat dan tempat penemuan penting selama masa kejayaan Islam.

Baitul Hikmah (House of wisdom) yang merupakan majelis ilmu sekaligus perpustakaan terbesar tempat menyimpan karya-karya terpenting ilmuwan Abbasiyah yang menjadi salah satu simbol kemajuan itu.

Baitul Hikmah yang didirikan tahun 830 M di Baghdad disebut sebagai cikal bakal salah satu universitas tertua yang jauh mendahului pendirian universitas-universitas tertua dunia lainnya seperti Universitas Bologna di Italia (1088 M), Oxford (1096 M) dan Cambridge (1257 M) di Inggris, Universitas Paris (1209 M) serta Universitas Harvard yang disebut tertua di Amerika Serikat (1636 M).

Lukisan Bait al-Hikmah di Baghdad http://library.dardanup.wa.gov
Lukisan Bait al-Hikmah di Baghdad http://library.dardanup.wa.gov
Baghdad pun pernah dijuluki dengan berbagai sebutan: Madinatussalam, kota seribu satu malam dan kota kosmopolitan dunia. Baghdad menjelma menjadi ‘landmark’ sebuah negara adikuasa dengan jumlah populasi saat itu yang mencapai satu juta orang.

Banyak ilmuwan polymath terkenal yang hidup di masa khalifah Abbasiyah, sebut saja nama-nama Al-Farabi, Al-Biruni, Al-Mas’udi, Imam Bukhari, Jabir bin Hayyan, Ibnu Haythani, Al-Kindi, Al-Ghazali, Al-Khawarizmi, Al-Faraganus, Ibnu Firnas, Ibnu Sina, Al-Razi dan banyak lagi. Semuanya memberikan kontribusi besar atau rintisan penting di bidang keilmuan yang berbeda-beda. Sehingga perkembangan ilmu pengetahuan menyebar dan membawa kemajuan bagi peradaban manusia di jaman itu.

Diantara penemuan penting oleh bangsa Arab adalah teknik penyulingan (distilasi) minyak bumi yang menjadi peletak dasar proses pengolahan minyak bumi modern.

Ilmuwan Arab kala itu telah mampu mengolah minyak terutama untuk kepentingan medis dan bahan penerangan (obor). Minyak mentah dikumpulkan dari rembesan permukaan di sekitar sungai Tigris dan Efrat, digali di parit dangkal di sekitar rembesan itu ataupun kiriman dari kota Baku di dekat laut Kaspia.

Inovasi yang mereka lakukan adalah menyuling minyak mentah secara bertingkat (fraksinasi) hingga menghasilkan produk atau jenis minyak yang berbeda. Metode inilah yang kemudian menjadi landasan teknologi pengolahan yang dipakai saat ini di kilang-kilang minyak bumi modern.

Kilas Balik Histori Minyak Bumi di Timur Tengah

Menurut catatan kuno, minyak bumi pertama kali dikenal di wilayah timur tengah sekitar tahun 4000 SM dalam bentuk aspal (bitumen) oleh bangsa Sumeria. Bangsa ini tinggal di kawasan Pantai Timur Arab dan Teluk Persia. Mereka menyebut aspal tersebut sebagai esir.

Walau terdapat kontroversi, kisah dalam kitab suci agama langit (monotheism) mengungkapkan penggunaan minyak bumi dalam bentuk cairan aspal yang disebut “pitch” (tar atau bitumen) oleh Nabi Nuh yang hidup sekitar tahun 3650 SM. Nabi Nuh menggunakan tar berwarna coklat kehitaman itu untuk melumuri perahu kayunya agar kedap air.

Nabi Nuh sendiri diperkirakan tinggal di wilayah selatan Irak sekarang yang dikenal memiliki sejumlah lokasi rembesan minyak (oil seepages) di permukaan yang sudah dikenal sejak dahulu kala.

Dalam catatan kuno lainnya disebutkan bahwa minyak dan gas bumi juga telah dikenal kemunculannya sekitar tahun 331 SM. Saat itu Alexander Agung (Alexander the great)- raja terkenal dari Macedonia yang juga murid dari Aristoteles - seorang filsuf dan ilmuwan Yunani terkemuka, melihat api abadi (eternal flame) yang menyala di permukaan bumi. Ia kemudian mensiasatinya sebagai alat taktis menakuti musuh dalam peperangan di sebelah utara Irak (Kurdistan).

Fenomena alam berupa api abadi muncul juga di daerah Baku, di Selatan Kaspia yang menjadi ibukota Azerbaijan sekarang. Api abadi mendapat sebutan “The Pillars of Fire” ini mulai muncul sekitar abad ke-6 SM.

Api abadi itu disakralkan oleh masyarakat disekitarnya dan menjadi media pemujaan bagi pengikut agama Zoroaster atau Majusi. Mereka menyembah api sebagai simbolisasi penguasa terang atau cahaya Tuhan kebaikan.

Menurut kitab A’lamun Nubuwwah karya Al-Mawardi (1987), sekitar abad ke-6 Masehi api abadi ini diberitakan sempat padam mendadak setelah seribu tahun menyala. Padamnya api majusi ini terjadi sesaat menjelang hari kelahiran nabi Muhammad SAW. Pengikut Majusi gagal menyalakannya kembali.

Daerah Baku yang berjarak 1300 km dari Baghdad - memang kaya akan rembesan minyak dan gas di permukaan tanah. Baku menjadi kota penting penghasil 'minyak putih' dan 'minyak hitam' terutama di abad pertengahan saat menjadi bagian dari Dinasti Abbasiyah - seperti yang ditulis oleh Michael Dumper dan Bruce Stanley dalam Cities of the Middle East and North Africa: A Historical Encyclopedia (2007).

Penemuan Teknologi Pengolahan Minyak Bumi Cara Modern

Jauh sebelumnya, di abad pertama penanggalan Masehi, bangsa Arab dan Persia berhasil menemukan teknologi pengolahan kuno minyak bumi. Hal itu berlanjut di era Dinasti Abbasiyah dimana teknik dasar pengolahan minyak bumi secara modern berhasil dirintis oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim.

Penguasaan teknologi pengolahan aspal di abad ke-8 Masehi menyebabkan pesatnya pembangunan jalan-jalan beraspal. Aspal, selain dihasilkan secara alamiah dari rembesan minyak yang terpapar di permukaan, juga dapat diperoleh lewat proses pengolahan minyak mentah. Aspal merupakan jenis minyak bumi yang berat karena memiliki viskositas tinggi.

Teknik distilasi dilakukan dengan cara pemanasan mendidih bahan baku aspal hitam diatas ketel untuk memisahkan fraksi senyawa minyak ringan dan berat berdasarkan perbedaan titik didihnya. Hasilnya minyak bumi yang lebih ringan (kerosin atau golongan minyak tanah) dapat diesktraksi di laboratorium.

Ilmuwan Islam yang mengembangkan teknologi pengolahan aspal tersebut adalah Ali Ibnu Al-‘Abbas Al-Majusi pada 950 M. Pada saat yang hampir bersamaan ilmuwan fisika Muslim, bernama Masawaih Al-Mardini dari Syria juga telah menulis hasil eksperimen tentang ekstraksi minyak mentah dari batuan serpih.

Ilmuwan lainnya Al-Mas’udi dari Mesir mengenalkan teknologi pengolahan aspal menjadi minyak melalui proses yang mirip dengan teknik modern yaitu dengan proses penguraian dan perengkahan molekul atau disebut juga sebagai proses ‘cracking’ (cracking techniques). Al-Mas’udi menggunakan dua kendi berlapis yang dipisahkan oleh saringan (filter) berupa kain kasa dan ayakan.

Kendi bagian atas diisi dengan aspal lalu dipanaskan dengan api. Akibat proses pemanasan itu, maka cairan minyak menetes turun ke kasa dan ditampung di dasar kendi. Minyak bumi yang lebih ringan hasil pengolahan itu disebut Nafta (Naphta).

Harun Al-Rasyid, seorang pemimpin yang sangat terkenal pada masa dinasti Abassiyah, diketahui sering menggunakan Nafta bagi pasukannya. Nafta menjadi bagian dari senjata rahasia yang dapat melontarkan api berwarna hijau.

Senjata ini merupakan kelengkapan baru bagi satuan pemanah (annafatun) pasukan Abbasiyah dalam setiap peperangan yang melibatkan mereka. Senjata taktis milik bangsa Arab tersebut sering disebut sebagai Nafta yang berasal dari olahan minyak bumi.

Metode pengolahan minyak dari aspal lainnya yang ditemukan ilmuwan Muslim di abad ke-9 adalah teknik distilasi modern yang disebut ‘Al-Taqtir’ dalam bahasa Arab. Teknik ini kembangkan oleh ilmuwan kimia Muslim di Baghdad bernama Zakaria Al-Razi (865-925 M) atau sering dipanggil Rhazes dalam sebutan dunia barat.

Teknik distilasi itu mirip dengan proses produksi air dari bunga mawar. Razi menggunakan sebuah gelas kolom berukuran panjang yang ditutup dengan sebuah kondensator (alat pengembun yang mengubah gas menjadi cairan) berpendingin air. Alat yang disebut labu distilasi atau ‘Alembic’ itu dulunya dipakai untuk menyuling minyak zaitun (olive oil). Ketika Alembic dipanaskan terjadi arus konveksi sehingga cairan didalamnya naik dan mengalir keluar ke tempat penampungan dalam wadah khusus.

Metode Razi ini mampu mendeskripsikan minyak seperti kerosin (naffatah) yang digunakan untuk pemanasan dan penerangan dimana hal ini tertulis dalam kitab yang ditulisnya yang dinamakan Al-Asrar (buku tentang rahasia-rahasia).

Dari buku “Al-Asrar” itu kita dapat mengetahui bahwa Razi melakukan beberapa eksperimen kimia seperti distilasi (pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguapnya), kalsinasi (pemanasan dengan suhu tinggi) dan kristalisasi yaitu teknik pemisahan kimia antara bahan padat-cair. Semua teknik itu dilakukan lebih dari 1.100 tahun yang lalu seperti dikutip dari artikel Distillation in Muslim Civilization (2017).

Selain penemuan teknik pengolahan minyak, pada masa Khalifah Al-Mansur (754-775 M) dari Dinasti Abbasiyah juga mengenalkan model awal sistem konsesi untuk kerjasama pengusahaan migas. Model konsesi yang berupa pengenaan Pajak Nafta (Naphta Tax) telah diterapkan di wilayah Baku (Azerbaijan-sekarang) yang merupakan kota penghasil minyak penting yang terjadi pada pertengahan abad ke-8. Hasil pajak digunakan untuk membangun kota Baghdad.

Pajak ini menandai munculnya pengaturan dan kontrol dari pemerintah pusat yang pertama di dunia terhadap kegiatan pengusahaan minyak di wilayahnya. Warisan Abassiyah berupa pajak atau retribusi (levy) oleh pemerintah sebagai pemilik minyak dan gas bumi ini kemudian diadopsi oleh dunia hingga sekarang seperti ditulis oleh Zayn Bilkadi dalam Land of the Naphta Fountain (1995).

Dalam hal senjata untuk peperangan, pada abad ke-9 angkatan perang Muslim juga sudah menggunakan sejumlah besar produk-produk minyak bumi yang mudah terbakar.

Dengan penguasaan teknologi ini, maka disebutkan oleh Partington, J.R : A History of Greek Fire and gun powder” (1960) bahwa di saat sebagian besar orang Eropa masih menggunakan senjata tajam, orang Islam sudah mulai menggunakan senjata api (pembakar).

Teknologi Abassiyah untuk Warisan Dunia

Berbekal semua penemuan dimasa puncak keemasan pemerintahan dinasti Abassiyah di Baghdad itulah, pada abad ke-12 peradaban Islam sudah menguasai proses pembuatan minyak tanah atau minyak ringan hasil sulingan (light distillates) yang lebih dikenal dengan ‘naft’ atau naphtha itu.

Peradaban Islam telah mewariskan teknologi pengolahan aspal melalui teknologi TAQTIR. Mereka lantas menggunakan aspal itu untuk melapisi jalan selain menggunakannya untuk menyembuhkan penyakit kulit serta bahan pengobatan luka-luka bagian luar tubuh.

Seolah mengulang sejarah, kemunduran kota Baghdad masa kini akibat dirundung konflik sektarian dan eksternal berkepanjangan dari waktu ke waktu seperti mengulangi peristiwa memilukan di masa lalu.

Tragedi kehancuran total simbol pemerintahan khalifah Abbasiyah delapan abad lalu yang dilakukan oleh bangsa Mongol tahun 1258 M lewat invasi brutal diiringi pengepungan mereka terhadap benteng kota Baghdad selama 40 hari menyebabkan Baitul Hikmah menyisakan puing. Kehancurannya digambarkan sejarah bahwa air Sungai Tigris telah menghitam akibat bercampur dengan tinta yang luntur dari buku-buku tulisan penemuan maha penting yang tak terhitung jumlahnya yang dibuang ke sungai tersebut.

Abad demi abad pun berlalu, walau nasib kota Baghdad kini sepertinya tak sebaik negeri-negeri petrodolar lainnya di Semenanjung Arabia, namun sejarah dunia telah mencatat bahwa salah satu penemuan pondasi penting dalam industri minyak bumi modern pernah dilahirkan di sana.

Kemajuan dan sumbangsih pengetahuan mereka telah menjadi bagian penting perkembangan peradaban manusia secara keseluruhan, bahkan ilmuwan Eropa pun banyak belajar dan mendapatkan inspirasi serta pencerahan dari para ilmuwan-ilmuwan polymath Arab ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun