Mohon tunggu...
antonius guntur
antonius guntur Mohon Tunggu... Sebagai Staff Pengajar di Perusahaan Jasa Keuangan; Motivator; Penulis Lepas -

Kebahagiaan adalah memberi. Jika kita berpikir untuk memberi, maka kita akan dijadikan saluran berkat untuk sesama. Tetapi jika tidak pernah berpikir untuk memberi, maka selamanya kita tidak akan pernah merasa punya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Warisan Lumpur untuk Jokowi

28 Agustus 2015   09:28 Diperbarui: 28 Agustus 2015   09:28 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin baru terjadi dalam sejarah, ada warisan lumpur untuk pemerintah. Hal ini berawal ketika tahun 2006 lalu di desa Balongnongo, kecamatan Renokenongo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, sebuah semburan lumpur panas dengan daya semprot mahadasyat tiba-tiba muncrat dari perut bumi. Semburan itu pada akhirnya menjadi petaka bagi sebagian warga Porong, Sidoarjo. Adalah PT. Lapindo Brantas Inc, yang sedang menyedot minyak dari bumi Sidoarjo itu seperti ketiban sial. Semburan lumpur itu tak kunjung berhenti meski disumpal dengan beragam benda, ditakhukkan dengan berbagai tekhnolog canggih dari dalam dan luar negeri. Alhasil sebagian wilayah Porong terendam lumpur dan meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian. Tak hanya itu. Hak warga negara untuk melangsungkan kehidupannya berikut sosio-budaya masyarakat seperti tercerabut pascasemburan lumpur panas Lapindo.

Masih jelas dalam ingatan, ketika jalur Malang-Surabaya masih melintasi daerah di seputar pusat semburan tahun 2006 lalu, desa Balongnongko dan sekitarnya seperti desa yang nyaris mati, tanpa harapan kehidupan. Beberapa pemuda turun ke jalan darurat di desa mereka, memberi petunjuk bagi pengguna jalan sembari menyodorkan waskom berharap pengemudi memberikan uang alakadarnya. Mungkin, saat ini desa Balongnongko hanya tinggal kenangan atau mungkin sudah tidak bisa dikenali lagi letak posisinya karena dampak dari semburan lumpur Lapindo menggenangi tidak kurang dari 16 desa di 3 kecamatan.

Tak pelak semburan lumpur itu menjadi sebuah bencana bagi kabupaten Sidoarjo. Orang-orang di kampung saya mengenal ceret untuk merebus air sebagai ‘Porong’. Saya baru tahu belakangan bahwa ternyata ceret berbahan alumunium itu dibuat di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur itu. Mungkin salah satu perusahaan yang membuat ceret itu pun kini telah tiada, karena dari berbagai catatan ada sekitar 15 pabrik yang turut terendam lumpur.

Kini ketika rezim sudah berganti persoalan lumpur Lapindo belum juga kelar. Ganti rugi bagi warga terdampak dan beberapa perusahaan yang terkena imbasnya belum beres. Derita sebagian warga yang menjadi korban seperti tidak ada ujungnya. Sudah tidak terbilang lagi aksi protes dan keberatan warga akibat lumpur ini. Beberapa perwakilan warga bahkan berulang kali harus ke istana, mengadu secara langsung kepada presiden. PT.Lapindo yang bertanggungjawab membayar ganti rugi bagi warga dan sudah menyelesaikan sebagian tanggungjawabnya mengaku sudah tidak punya uang lagi.

Atas hal ini pemerintah akhirnya mengambilalih pembayaran ganti rugi bagi warga yang belum mendapat haknya. Pengambilalihan ganti rugi oleh pemerintah ini diawali dengan keputusan MK pada tahun 2014 lalu yang menyatakan bahwa seharusnya negaralah yang memberikan ganti rugi kepada warga. Akan tetapi, pemerintah SBY kala itu menggunakan keputusan MK ini untuk menekan PT.Lapindo untuk merampungkan kuwajibannya. Dan karena PT.Lapindo mengaku mengalami kesulitan finansial, maka persoalan ganti rugi ini belum terselesaikan hingga rezim berganti Oktober 2014 lalu. Dengan kata lain, persoalan lumpur akhirnya harus dirampungkan oleh pemerintah Jokowi alias Jokowi harus mewarisi persoalan lumpur yang hampir satu dekade belum tuntas.

Tulisan ini tidak sedang menyudutkan pemerintah SBY yang sudah berusaha sekuat tenaga membereskan persoalan lumpur. Pemerintah bahkan sejak tahun 2007 sudah pontang-panting mengucurkan anggaran hingga mencapai Rp 9 triliun dan membentuk badan khusus penanggulangan lumpur Lapindo demi selesainya persoalan lumpur ini. Belajar dari semua pengalaman bangsa ini, kita semua harus cepat dan cerdas dalam merespons setiap persoalan di lapangan. Kehadiran negara di tengah masyarakat harus terejawantah dengan lahirnya keputusan ekstra cepat dan berpihak kepada warga. Tanpa itu semua negara akan selalu absen dan kita semua hanya akan menjadi penonton yang tidak melakukan satu tindakan apa pun.

Bersyukur sekali beberapa waktu yang lalu Jokowi menyempatkan untuk singgah ke Porong dan bertemu dengan warga menyusul keputusan pemerintah untuk segera merampungkan ganti rugi kepada yang berhak dengan uang negara. Mungkin bagi sebagian kalangan, keputusan Jokowi ini terkesan memberi angin segar kepada PT.Lapindo yang bisa saja abai terhadap tanggungjawabnya. Tetapi keputusan berani dan cepat ini layak untuk kita apresiasi. Rasanya tanpa keputusan itu derita warga Sidoarjo yang belum mendapat ganti rugi entah akan bermuara di mana. Setidaknya Jokowi sudah melakukan upaya pada saat yang kritis seperti saat ini.

Untuk selanjutnya kita semua harus mulai memikirkan masa depan lumpur itu setelah proses ganti rugi selesai. Berkait degan hal ini kita boleh belajar dari para bijak. Alkisah, pada satu waktu ada seorang juru masak di sebuah padepokan. Ia mengatakan pada gurunya bahwa ia tidak bisa melakukan apa pun selain keahlian memasak. Sang guru kemudian bertanya, “Jika kamu memilih, sekilo emas atau sekarung lumpur?”. Tanpa banyak berpikir, si juru masak menukasnya, “Emas, Guru. Saya pilih emas.”. Sang guru tersenyum. “Jika untuk menanam pohon, apakah kamu tetap memilih emas?”. Terlalu mustahil rasanya merubah lumpur menjadi emas. Tetapi merubah Porong, Sidoarjo, Jawa Timur menjadi destinasi wisata bagi jutaan warga negeri ini bukan sesuatu yang muskil. Atau, mari berlomba menciptakan sesuatu yang produktif dengan bahan dasar lumpur supaya kita tidak mewariskan lagi lumpur kepada negerasi mendatang...    

Yogyakarta, kemarau masih terasa panjang; 28 Agustus 2015.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun