Mohon tunggu...
Anton DH Nugrahanto
Anton DH Nugrahanto Mohon Tunggu... Administrasi - "Untung Ada Saya"

Sukarnois

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nasi Goreng Megawati dan "Nasi Kebuli" Surya Paloh

25 Juli 2019   15:00 Diperbarui: 25 Juli 2019   17:47 7267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertemuan Megawati dan Prabowo Dimana Nasi Goreng Menjadi Ingatan Kolektif Publik (Sumber Gambar : Wartakota)

"Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, anda dapat bertaruh hal itu pasti direncanakan" (Franklin Delano Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke 32).

Kemarin menjadi langkah penting membaca konstelasi politik yang bisa membentuk kekuatan-kekuatan di tahun 2024. Banyak yang mengira pertemuan politik Megawati adalah sebuah peristiwa biasa bagian dari rekonsiliasi politik, dan merupakan sebuah bentuk nostalgia karena kedua kelompok ini pernah bersekutu dalam memperebutkan capres 2009.

Namun setelah di sampingnya kemudian muncul berita besar-besaran Surya Paloh menggandeng Anies Baswedan, publik mulai 'ngeh', bahwa ini adalah sebuah upaya Surya Paloh untuk menghadang kekuatan Megawati dan secara perlahan mengambil wilayah-wilayah politik PDI-P, juga ketika Nasdem menggandeng Anies Baswedan maka gerakan politik pragmatis muncul sebagai bentuk kekecewaannya.

Maka, jurus lama Nasdem yaitu: Melakukan percepatan klaim atas figur yang dinilai kuat untuk bertarung di pentas politik, upaya ini sebenarnya sebagai sebuah antitesis dari perilaku politik PDI-P yang cenderung lama mengambil keputusan karena melihat situasi, sementara Nasdem di beberapa tempat selalu menikung PDI-P dengan mendahului klaim atas figur dalam beberapa pertarungan politik Pilkada.

Peristiwa "Nasi Goreng" Megawati dan Operasi Politik "Nasi Kebuli" Surya Paloh, bukanlah sebuah peristiwa yang terjadi secara kebetulan, namun peristiwa itu bagian dari tarik menarik politik, dan juga bagian dari operasi intelijen masing-masing partai dalam mengupayakan kekuatan politik yang bisa menggambarkan pertarungan sesungguhnya politik di hari hari ini. 

PDI-Perjuangan memiliki bangunan ideologi yang keras setia pada konsep-konsep NKRI, serta juga setia garis lurus pada Negara Proklamasi 1945, karena nilai itu yang dipegang.

Sementara di hari hari ini bahkan di dalam pencapresan 2019 kemarin, bertebaran kelompok-kelompok yang jelas tidak memiliki orientasi pada "Negara Proklamasi 1945", bahkan pembubaran HTI bisa dilakukan saat PDI-Perjuangan berkuasa, sementara di masa SBY masih plin-plan atas ketegasan itu.

Inilah kenapa PDI-Perjuangan dengan keras menuntut jabatan ketua MPR, karena akan bisa mengarahkan bagaimana negara ini kuat bangunan ideologi Pancasila-nya.

Posisi Ketua MPR : "Pertarungan Kelompok Ideologis dan Kelompok Pragmatis"

Ada pendapat posisi ketua MPR sudah tidak signifikan lagi, padahal posisi ketua MPR justru sangat penting sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat, karena MPR secara konstitusional adalah lembaga tertinggi dari asas pokok demokrasi berbasis musyawarah.

Dalam suasana demokrasi liberal seringkali terjebak bahwa posisi terpenting justru ada di DPR, namun hakikat demokrasi di Indonesia justru berada dalam lingkaran permusyawaratan. 

Arti penting Ketua MPR juga menjalankan amanat amanat ideologis. Di tengah ancaman terbelahnya NKRI, ancaman ideologi asing Pan Internasionalisme yang meniadakan negara, juga persoalan menjaga ideologi dasar negara Pancasila serta UUD 1945 yang asli, maka diperlukan ketua MPR RI yang memahami dasar dasar ideologi negara tersebut.

PDI-Perjuangan sendiri adalah pihak yang mengutamakan MPR RI berada dalam ruang ideologis yang tepat serta bersih dari keinginan keinginan politik pragmatis.

Surya Paloh Mengumpulkan Para Ketum Partai Untuk Membangun Poros Baru (Sumber Gambar : Kompas)
Surya Paloh Mengumpulkan Para Ketum Partai Untuk Membangun Poros Baru (Sumber Gambar : Kompas)
Sementara di sisi lain, setelah posisi DPR RI dipastikan akan jatuh ke tangan Puan Maharani dari PDI-P, timbul keinginan pragmatis dari Partai Partai di luar PDI-P yang dimotori oleh Surya Paloh untuk melakukan konsolidasi agar Ketua MPR RI tidak jatuh ke tangan PDI-P.

Di sinilah kemudian berkembang sikap Surya Paloh secara tegas dan jelas mulai melakukan rivalitas terhadap PDI-Perjuangan sebagai sebuah partai besar. 

Sementara PDI-Perjuangan mempersiapkan MPR sebagai motor pembentukan GBHN dengan menghidupkan kembali amanat deklarasi ekonomi (dekon 1960) Bung Karno, dan juga menciptakan landasan kuat dalam pengembangan ideologi negara serta kesadaran NKRI, partai partai lain cenderung hanya ingin memperkuat posisi pragmatis.

Manuver Surya Paloh
Ada beberapa manuver Surya Paloh yang dilakukan untuk melakukan lingkaran politik yang mempersempit ruang PDI-Perjuangan.

Pertama, dengan mengatakan Jokowi adalah 'Kader Nasdem', klaim yang dilakukan sepihak dan tanpa mengidahkan etika keanggotaan partai merupakan ciri khas Nasdem dalam melakukan aksi-aksi membangun kekuatan politiknya. 

Nasdem kerap melakukan pengambilan kader yang disiapkan oleh Partai lain kemudian melakukan klaim politik, bagi Nasdem permainan politik sepenuhnya transaksional bukan lagi sebuah upaya penuh keringat membangun kader yang punya kedisiplinan ideologis.

Banyak kader kader partai lain 'diambil' oleh Nasdem dengan banyak cara, puncaknya adalah aksi tak tau malu mengklaim Jokowi sebagai 'bagian dari kader Nasdem', setiap orang pun tau bahwa Jokowi adalah bagian dari upaya PDI-Perjuangan dalam melakukan pembaharuan politik di mana salah satu tugas penting Partai adalah membangun secara organik kepemimpinan di satu tempat dalam tugas tugas ideologis, seperti yang dilakukan Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, Djarot Syaiful Hidayat di Blitar dan DKI Jakarta, Risma di Surabaya dan juga Hasto Wardoyo di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Tugas tugas partai dalam kerangka ideologis dicapai dalam tujuan kolektif kemudian membentuk kepala kepala daerah berprestasi, disamping juga adanya tokoh tokoh nasional politisi PDI-Perjuangan.

Namun Surya Paloh melakukan 'pertumbuhan partai' dengan cara cara instan seperti melakukan pembajakan kader potensial atau melakukan cepat-cepatan klaim politik. Apa yang dilakukan Nasdem dengan mengatakan Jokowi sebagai kader Nasdem seperti menganggap remeh sebuah proses dan perjuangan politik.

Setelah dilakukan manuver "klaim Jokowi kader Nasdem", Surya Paloh mencoba merangkul seluruh Partai-Partai diluar PDI-Perjuangan, ini adalah sebuah usaha awal untuk memecah kelompok kekuatan yang awalnya berkoalisi dengan Jokowi, kemudian malah membangun kelompok sendiri. PDI-Perjuangan sendiri tidak hadir dalam pertemuan politik itu.

Nasi Goreng Megawati
Pertemuan politik antara Megawati dan Prabowo memang tidak semata mata karena adanya gerakan Surya Paloh, tapi sebagai sebuah upaya konsolidasi menyatukan kekuatan kekuatan Nasionalis dan membantu pemerintahan dibawah Presiden Jokowi dan Wapres Ma'rif Amin.

Ada tulisan di Facebook yang menarik bagaimana Megawati 'menata rasa' soal Nasi Goreng di zaman Bung Karno itu yang disampaikan salah seorang wartawan senior, Nezar Patria, di akun FB-nya: 

"Tentang bagaimana Megawati mampu menata rasa dengan nasi goreng, diceritakan dalam fb Nezar Patria tersebut soal demonstran yang datang ke Bung Karno dan kerjanya memaki maki ayahnya kemudian malah Presiden Sukarno meminta Megawati membuatkan nasi goreng untuk para pemaki ayahnya tersebut". (sumber link : Nasi Goreng Megawati fb Nezar Patria )

Analisa Nezar Patria ini seakan mengantar kesederhanaan cara berpolitik Megawati, tapi juga menunjukkan betapa kokohnya Megawati dalam berpolitik.

Mega bukan saja simbol kekuatan besar Partai Nasionalis-Sukarnois, namun juga sebagai pribadi Mega sudah tergilas di dalam alam keras politik sejak kejatuhan Bung Karno di tahun 1966, melawan Suharto sendirian di masa Orde Baru dan menjaga soliditas nasional pasca-kejatuhan Soeharto seraya mengamankan jalannya Pemerintahan Presiden Jokowi.

Kekuatan politik Megawati inilah yang coba disaingi Surya Paloh dengan beberapa aksi manuvernya. Politik Nasi Goreng Prabowo, bahkan secara pendek ditafsirkan Surya Paloh sebagai bagian pembentukan koalisi baru, sehingga Surya Paloh terpancing membangun konfigurasi politik baru di mana Anies Baswedan ditarik masuk ke gerbong politiknya dan menjadikan PKB, PPP serta Golkar sebagai bagian dari manuver politik Nasdem.

Namun bagi Megawati justru persekutuan politiknya dengan Prabowo adalah upaya jangka panjang dalam membangun kekuatan berwatak Nasionalis yang bisa menjadi pegangan dalam garis politik ke depan.

Anies Baswedan dan Kekecewaan Kekecewaan Itu
Naiknya Anies Baswedan dinilai merupakan bagian dari skenario "politik identitas" yang brutal. Ahok cagub potensial dan dinilai memiliki reputasi tinggi dalam mengeksekusi pekerjaan-pekerjaan besar di DKI Jakarta, bukan saja kalah dalam skenario brutal itu, bahkan dirinya secara tidak fair dipenjarakan.

Anies sebagai intelektual besar, bukannya tergerak dalam politik membela Ahok malah menikmati persekusi atas Ahok dan mengambil jabatan dengan Ahok dipenjarakan.

Setelah Ahok dimasukkan penjara, dan Anies naik jadi Gubernur DKI terbukti sama sekali Anies malah buat berantakan DKI Jakarta. Program-program Ahok banyak dihilangkan juga kebijakan tata kota yang sengaja melabur ketertiban yang dibangun Jokowi--Ahok diblur menjadi berantakan kembali, seperti kasus Tanah Abang.

Di sisi lain, Anies banyak diserang karena logikanya kerap membuat bingung masyarakat. Tidak ada kemajuan dalam kebersihan kota dan peran serta masyarakat, juga tidak ada sama sekali inovasi-inovasi yang pernah dilakukan Ahok.

Di masa Ahok inovasi digital luar biasa maju, bahkan Ahok menciptakan apa yang disebut "Qlue" yang amat diminati warga DKI Jakarta, kemudian dibiarkan menghilang.

Anies bahkan melakukan politik pemberian IMB di Pantai Indah Kapuk sebuah upaya kasar dalam mengabaikan janji-janji politiknya.

Inilah yang banyak membuat marah para pendukung Ahok dan para pemerhati DKI Jakarta, selain masalah patung bambu "Getah Getih" yang diledek rakyat sebagai "Bambu Kelonan", lalu aksi panggung Anies Baswedan yang mencoba gagah dengan bahasa Inggris-nya tapi dinilai warga DKI Jakarta malah keasikan pergi ke luar negeri, beda dengan Ahok yang tekun di DKI Jakarta, dimana pagi-nya menerima warga DKI Jakarta berkeluh kesah, lalu membuat politik kebijakan yang transparan sampai rapat rapat di Kantor Gubernur dibuat terbuka dan ada rekaman youtube-nya.

Jelas Anies Baswedan, adalah bagian dari kontraproduksi dari sebuah upaya pembaharuan politik.

Operasi Politik "Nasi Kebuli" Surya Paloh
Berbeda dengan Megawati yang menyajikan nasi goreng andalan pada Prabowo sebagai manisnya pertemuan politik. Surya Paloh diledek netizen seakan akan memberikan 'nasi kebuli' pada Anies Baswedan.

Bisa juga apa yang dilakukan Surya Paloh adalah sebuah operasi politik nasi kebuli untuk menandingi 'ingatan kolektif' masyarakat soal 'nasi goreng megawati'.

Manuver Surya Paloh Menggandeng Anies Baswedan Justru Akan Membawa Gerbong Politik Identitas Di Masa Depan (Sumber Gambar : detik.com)
Manuver Surya Paloh Menggandeng Anies Baswedan Justru Akan Membawa Gerbong Politik Identitas Di Masa Depan (Sumber Gambar : detik.com)
Banyak orang berspekulasi apa yang dilakukan Surya Paloh sebagai bentuk kekecewaannya soal komposisi kabinet, ada juga soal jatah ketua MPR dan serangan halus pada PDI-Perjuangan.

Namun yang pasti apa yang dilakukan Surya Paloh pada 24 Juli 2019 kepada Anies Baswedan justru memberikan angin segar bagi kelompok Anies Baswedan yang telah menikmati politik identitas. 

Sengaja atau tidak sengaja Surya Paloh justru membangkitkan kekuatan Anies Baswedan dimana kekuatan itu adalah antitesis dari "Pembaharuan Politik" dimana Jokowi, Ahok, Djarot, Risma, Ganjar, Nurdin Abdullah, Azwar Anas, Hasto Wardoyo ataupun Ridwan Kamil menjadi gerbong besar dalam pembaharuan politik yang tumbuh dari kejeniusan membangun daerah.

Apa yang dilakukan Surya Paloh memang sebuah "Politik Pragmatis", ini seperti ketika kubu Surya Paloh menghadang Djarot di Sumatera Utara. Padahal Djarot adalah bagian dari Gerakan Pembaharuan Politik sekarang kondisi Sumatera Utara tidak ada gebrakan seperti masa gebrakan Jokowi-Ahok dan semasa Djarot seperti memperbaiki tata kota Blitar.

Di sinilah kita harus memaknai bahwa berpolitik itu bukan sekadar saling rebutan kekuasaan, tapi sebuah usaha penuh kesabaran membangun peradaban politik.

Lalu peradaban politik apa yang harus dipilih, jelas peradaban politik yang dibangun oleh Jokowi, oleh Ahok bukan dengan cara -cara Anies.

Inilah kenapa dalam berpolitik kita harus berjuang pada garis kesadaran pembaharuan, bukan garis transaksional.

Jakarta, 25 Juli 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun