Ketika lampu merah menyala di simpang jalan utama, seseorang justru tancap gas, melesat tanpa peduli. Di tempat lain, seorang warga dengan tenangnya berkata, "Ngapain bayar pajak? Ujung-ujungnya juga dikorup."
Fenomena ini bukan hanya soal aturan yang dilanggar. Ini adalah potret ketidakpercayaan. Potret masyarakat yang lelah jadi penonton ketika para pemimpinnya justru tak memberi contoh yang layak ditiru.
Mari kita mulai dari angka. Data dari Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pajak Indonesia hanya sekitar 63% pada 2023. Jauh dari ideal. Dalam studi sosial yang pernah kami lakukan sejak tahun 90-an di Jawa Tengah saja, terungkap banyak warga mengungkap alasan mereka menghindari pajak. Mereka tak melihat manfaat nyata dari pajak itu sendiri. Bahkan lebih menyakitkan lagi, yang mereka lihat justru kebocoran anggaran, pejabat yang bergelimang fasilitas, dan berita korupsi yang tak kunjung reda.
Teori Medan (Field Theory) dari Kurt Lewin menjelaskan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh interaksi antara individu dan medan psikologis tempat dimana ia berada. Dengan kata lain, jika medan atau sistem di sekeliling seseorang dipenuhi contoh buruk, maka perilaku buruk akan muncul sebagai respons yang "normal."
Inilah kenapa perilaku masyarakat hari ini tak bisa dilihat sebagai kesalahan tunggal. Ia adalah cerminan dari "medan" tempat mereka hidup.
Dalam psikologi sosial, teori modeling (Bandura, 1977) juga memperkuat ini. Manusia belajar melalui observasi dan peniruan, dengan mencontoh. Bayangkan. Jika setiap hari masyarakat melihat pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan, aparat yang arogan, pemimpin yang bicara soal efisiensi tapi menghamburkan anggaran, maka logika publik pun berubah: "Kalau mereka bisa, kenapa kita tidak?"
Tak heran, praktik-praktik menyimpang itu pun meluas. Kita saksikan bahkan di unit-unit terkecil di masyarakat kita. Bullying di sekolah? Karena anak-anak sekolah melihat orang dewasa yang saling mengintimidasi. Tawuran? Karena masyarakat menyerap pola kekerasan sebagai cara menyelesaikan konflik. Main hakim sendiri? Karena keadilan dianggap milik yang punya kuasa.
So, Ketidakpatuhan hari ini adalah buah dari keteladanan yang rusak. Sebab rakyat dan masyarakat itu meniru. Rakyat menyerap. Dan celakanya, rakyat belajar dari atas.
Itulah mengapa dalam manajemen, dikenal istilah "tone from the top." Sebuah organisasi akan berjalan seperti perilaku pemimpinnya. Jika yang di atas bersih, yang di bawah pun ikut bersih. Tapi jika yang di atas manipulatif, maka perilaku menyimpang menjadi norma baru yang diam-diam diterima.
Kita bisa terus menyalahkan masyarakat. Tapi jika akar penyakitnya ada di atas, maka yang harus dibenahi bukan hanya rakyat, tapi kepemimpinan itu sendiri.
Pemimpin tak bisa hanya berkata, "Jadilah warga yang baik," jika ia sendiri belum menjadi contoh yang patut. Dan seandainya hari ini ketidakpatuhan masyarakat meningkat, mungkin itu bukan hanya bentuk pembangkangan. Tapi jeritan halus yang berkata: "Kami sudah terlalu sering diperalat bahkan dikhianati."
Sebagai penutup penting di akhir artikel ini, saya terpikir sebuah analogi menarik, bercermin dari pengalaman masa kecil tinggal di kampung yang sekitarnya ada gunung dan sungai. "Keteladanan itu pada akhirnya seperti air di pegunungan, mengalir dari atas. Jika airnya bersih jernih, maka ia pun memberi kehidupan di bawahnya. Tapi, Jika air dari atas kotor, tak usah heran jika yang di bawah juga keruh."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI