Mohon tunggu...
Annisa WikaRahmadhani
Annisa WikaRahmadhani Mohon Tunggu... Penulis - Annisa

Saya mahasiswa semester 1 ilmu komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Zaman Demokrasi Membawa Era Kebodohan?

5 Desember 2019   08:35 Diperbarui: 5 Desember 2019   08:35 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan kata demokrasi, demokrasi yang sering di artikan dengan zaman kebebasan atau dapat di artikan juga sebagai keleluasaan bagi rakyat untuk ikut serta dalam pembangunan Negara. Namun tanpa kita sadari kata demokrasi ini sering disalah artikan oleh pihak tertentu untuk kepentingan dan dampaknya di rasakan oleh banyak orang sehingga timbul pro dan kontranya sendiri.

Pada masa sebelum demokrasi tidak ada kebebasan rakyat untuk menunjukan aspirasi mereka maka demokrasi datang bagai cahaya tersendiri bagi masyarakat pada masa itu, bahkan jermanpun berani berikrar bahwa demokrasi akan memajukan dunia dan tidak akan membuat masalah pada dunia, Presiden Cliton pun menegaskan bahwa "negara-negara yang berdemokrasi tidak akan saling memerangi satu sama lain, namun akan saling membantu memajukan negara satu sama lain".

Demokrasi yang dimaksudkan untuk membebaskan aspirasi tertahan milik rakyat di salah gunakan oleh para kaum elite yang haus akan kepemimpinan, karena hal inilah demokrasi menjadi petaka bagi dunia yang menyebabkan perpecahan, hoax menyebar, fitnah menjadi keseharian, dan nyawa tidak lagi dianggap berharga. Demokrasi memang seharusnya menjadi milik rayat, oleh rakyat dan untuk rakyat meskipun begitu rakyat tidak bisa sembaranagn dalam menggunakan hak kebebasan tersebut tetap harus ada dasar ilmu politik yang di miliki untuk mengerti arti yang dimaksudkan dari demokrasi itu sendiri.

Era kebodohan yang saya maksud sendiri adalah banyaknya masyarakat bahkan kaum elite yang tidak paham apa itu demokrasi tapi menggunakan kata demokrasi itu sendiri demi kepentingan pribadi yang berakibat fatal bagi suatu kelompok bahkan seuatu negara. Kebodohan yang sering terjadi pada saat ini adalah fanatisme, fanatisme yang seringkali terjadi bahkan sampai merengut paksa hak hidup orang lain, contoh yang belum lama ini terjadi adalah fanatik kepada dua kubu selama masa Pilpres 2019 yang berakibat terjadinya kerusuhan di berbagai tempat dan penyebaran hoax yang bersangkutan dengan dua belah pihak capers dan cawapres sampai terjadi pemblokiran terhadap sosial media sebagai langkah untuk memperlambat peyebaran hoax.
Contoh tersebut menggambarkan bagaimana masyarakat berdemokrasi tanpa ilmu politik berakibat jadi seperti pembodohan diri.

Pengertian demokrasi itu sendiri juga bergantung pada geopolitik suatu negara atau wilayah. Setiap negara memiliki perbedaan dalam sitem pengaplikasiannya, karena geopolitik sendiri mengandung kebijakan-kebijakan yang berkaian dengan masalah geografis. Hal ini yang menyebabka perbedaan pengaplikasian pada sistem yang di gunakan.

Geopolitik bukan hanya tentang hubungan negara dengan negara tapi juga berkaitan dengan orang-orang yang turun ke jalan untuk memprotes kinerja pemerintah, namun kembali lagi pada fakta bahwa orang-orang yang turun ke jalan untuk menuntut hak mereka juga bagian dari bentuk demokrasi yang merupakan hak mereka untuk beraspirasi namun apakah mereka yang turun ke jalan itu sudah mengetahui betul apa itu demokrasi? Atau cara yang benar untuk menyampaikan aspirasi? Apa mungkin mereka yang turun ke jalan hanya bagian dari orang-orang yang termakan isu hoax dan berita fitnah untuk menjatuhka pihak tertentu? Bisa ya bisa juga tidak.

Dari apa yang sudah saya baca sebelum nya geopolitik juga mempengaruhi watak serta prilaku setiap individunya, sebagai contoh jika suatu individu tumbuh di lingkungan yang mayoritas penduduknya kurang wawasan serta mudah dipicu oleh hoax maka keungkinan besar orang tersebutakan tumbuh sesuai dengan pribadi yang mudah termakan hoax, begitu juga jika individu yang tumbuh di lingkungan penyebaran hoax maka orang tersebut juga berkmungkinan besar akan mudah menyebarka hoax. Bukan hanya itu, kurangnya sosialisasi tentang politik terutama tentang paham demokrasi membuat kurangnya wawasan pada mayarakat terhadap etika dalam penyampaian aspirasi dan cara untuk menyaring informasi juga cara menghadapi berita hoax yang merupakan bentuk pembodohan yang sering kali terjadi pada masa ini.

Sejak adanya zaman demokrasi banyak sekali orang-orang atau kaum tertentu yang memanfaatkan demokrasi itu sendiri untuk saling menjatuhkan demi popularitas bahkan tidak segan untuk saling melemparkan fitnah. Pembodohan yang di lakukan kaum elite marajalela di berbagai tempat sampai saling menjatuhkan antar negara dan mengakibatkan banyak perang yang tidak kunjung usai, bahkan seorang reporter pada saat itu berkata "jalan paling cepat untuk memperoleh kekuasaan dan popularitas adalah dengan membesarkan bahaya dari luar".

Jika dipikirkan ulang apapun sistem yang di gunakan atau dengan cara apapun pengaplikasiannya jika masyarakat yang terlibat tidak dengan cerdas mengola berita yang mereka peroleh tetap saja pebodohan politik akan tetap terjadi, namun karena sistem yang digunakan pada saat ini adalah demokrasi  yang pada masa penyebaran doktrinnya menimbukan banyak kesalahpahaman serta diiringi konflik yang tidak kunjung padam maka seringkali demokrasi ini dikaitkan dengan pembodohan publik dan sasaran empuk untuk memancing massa atas dasar demokarsi yang bersifat bebas pada sistem peeritahan negara.

Namun jika diteliti lebih lanjut ada yang namaya politik islam, dimana dalam buku yang saya baca di jelaskan bahwa politik sebenarnya bersifat absolut yang menjadikan tuhan sebagai tujuan utama, namun tetap saja yang namanya era pembodohan tetap mengikuti setiap perkembangan zaman akibat dari kelalaian dan keegoisan manusia itu sendiri.

Saya akan mengambil contoh dari buku yang telah saya baca sebagai pelengkap statement yang saya jabarkan, yaitu adanya perebutan hak atas tanah suci Jerusalem dari 3 agama yang pada saat itu meliputi: Islam, Yahudi, dan Kristen. Ketiga agama tersebut memperebutkan tanah suci Jerusalem karena mereka menganggap bahwa agama apapun yang mampu merebut dan menempati tanah tersebut adalah agama yang paling benar dan dapat diakui kebenarannya, apakah logis jika sebuah tanah atau tempat dapat menjamin sebuah kebenaran yang berkaitan dengan tuhan dan kepercayaan? Apalagi cara memperebutkannya dengan tidak layak, yang berakibat perang dan banyak nyawa yang hilang begitu saja hanya karena keegoisan para petinggi keagamaan.

Belum lagi tentang peristiwa perubahan kitab Taurat oleh bangsa yahudi karena tidak mau menerima kebenaran dari nabi Isa (alaihissallam) yang berakibat terbunuhnya nabi Isa (alaihissallam) dan jenazahnya digantung di salib, namun yang tidak mereka ketahui adalah orang dibunuh dan digantung bukanlah nabi Isa (alaihissallam) melaikan orang lain.

Apa yang telah saya jabarkan diatas merupakan hasil dari pemahaman saya setelah membaca ketiga buku tentang politik, dimana saya merasa bahwa ketiga buku tersebut saling berkaitan satu sama lain, hal yang dapat saya simpulkan adalah apapun doktrin yang disebarkan atau apapun sistem yang digunakan tetap saja politik bersifat absolut yang berakhir kepada tuhan sebagai tujuan atas kehidupan, sebaik atau sesempurna apapun sistem politik yang di ciptakan manusia tetap saja sistem politik yang dimuat dalam kitab agama lebih baik untuk di terapkan dalam kehidupan bernegara.

*Penulis adalah Mahasiswi Semester 1 Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun