Dua minggu aku tidak hadir dikajian rutin. Ibu menjadi bingung dengan perubahan sikapku lagi. Ibu sudah cemas dari kemarin, karena aku kehilangan nafsu makanku, aku pun banyak tinggal di kamar. Ibu pun tidak berhasil membuatku bercerita.
Aku terlalu lemah untuk membahas ini. Aku hancur, untuk yang kedua kali. Kali ini aku sendiri, tidak Ada Mas Indra disampingku, apalagi Mba Embun yang akan mengelus lembut kepalaku. Mendekapku dalam peluknya. Aku kehilangan. Aku dikecewakan.
Aku membuka WA, banyak pesan masuk dari Mba Embun, namun tidak aku baca. Panggilan darinya pun tidak pernah aku angkat. Aku terlalu terpuruk dalam kekecewaan dan kesedihan. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapinya. Aku benci diriku sendiri.
***
"Baik, nanti akan Ibu sampaikan kepada Senja. Insyaallah tidak apa-apa, semoga memang kalian berjodoh. Ibu ikut bahagia. Terimakasih sudah datang kemari tetap menjalin silaturahmi." "Nak Indra, sudah ibu anggap sebagai anak sendiri Mba Embun, insyaallah laki-laki yang baik."
Kemudian aku dengar ibu menutup pintu dan suara mobil menjauhi rumah. Tak lama Ibu masuk ke kamarku. Aku duduk terdiam tanpa suara bahkan tanpa air mata.
"Nak, tadi Mas Indra dan Mba Embun datang, mereka khawatir denganmu."
Ibu memelukku dan mengusap kepalaku lembut, persis seperti Mba Embun dulu. Air mataku pun menetes.
"Kenapa begini bu ? Apa Allah benci Senja, hingga tidak ingin Senja bahagia bu ?" Aku mulai terisak. Ibu tetap berusaha tenang walau aku merasakan ibu juga menagis.
"Istigfar nak. Ibu yakin bukan karena Allah tidak sayang, namun karena Allah terlalu sayang, Allah ingin kamu mendapatkan kebahagiaan yang terbaik. Yang akan indah setelah derai air matamu. Sehingga kamu menjadi orang paling bahagia."
"Ibu yakin mereka berdua pun tidak tahu apa-apa. Tidak bermaksud menyakitimu. Bukan salah mereka Senja. Semuanya takdir Allah. Kita ini hanya manusia. Bukan pencipta."