Pandangan Abu Ubaid yang menarik juga terjadi pada konsep pemisahan kaum badui (desa) dan kaum urban (kota). Abu Ubaid melihat kaum urban harus lebih aktif berkontribusi atas keberlangsungan negara lewat kewajiban administratif, mobilitas jiwa dan harta, serta menggiatkan pendidikan lewat proses belajar mengajar. Keadilan melalui kacamata perbedaan perolehan atas kontribusi juga dilakukan. Jika kaum badui tidak memberikan sumbangsih sebesar kaum urban, maka perolehan manfaat atas pendapatan fai tidak bisa sebanyak kaum urban. Kaum badui berhak atas penerimaan fai apabila terjadi tiga kondisi kritis yakni invasi musuh, kemarau panjang (ja'ihah), dan kerusuhan sipil (fatq).
Jika diselaraskan dengan konsep Pendapatan Asli Daerah (PAD), pandangan Abu Ubaid ini sesuai. Dalam PAD, kualitas pembangunan sebuah wilayah sangat bergantung pada ketersediaan angaran atas pemanfaatan pendapatan. Daerah dengan PAD tinggi seperti provinsi DKI Jakarta yang masih mennyandang status Ibu Kota Negara, memiliki peluang jauh lebih komprehensif untuk pembangunan daerahnya dibandingkan PAD provinsi Gorontalo. Kondisi ini tercermin dari dorongan akan kebutuhan moda transportasi terintegrasi seperti Jaklinko dan Transjakarta yang dimiliki oleh DKI Jakarta yang salah satu pendanaannya berasal dari PAD.
Wewenang Negara atas Kepemilikan Tanah: Penguasaan Untuk Produktivitas
Lingkup pemikiran Abu Ubaid juga hingga keranah wewenang negara atas kepemilikan tanah dalam sistem itqa'. Itqa'Â membawa konsep pemberian hak pengelolaan tanah negara kepada rakyat untuk tujuan produktif demi keadilan. Itqa' dilakukan terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk diolah kemudian dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Apabila dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian dialihkan kepemilikannya oleh penguasa. Abu Ubaid berpandangan jika sumber daya publik seperti air, padang rumput, dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima atau taman pribadi. Seluruh sumber daya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang akan digunakan untuk pelayanan masyarakat.
Konsep tersebut hampir serupa dengan kebijakan kontroversial beberapa waktu lalu yakni tanah kosong selama 2 tahun dapat diambil negara. Kementerian Agraria dan Tata Ruang menjelaskan bahwa kebijakan tersebut bertujuan agar seluruh tanah di Indonesia dimanfaatkan secara optimal. Jika berstatus HGU (hak guna usaha) maka ditanami sesuai dengan proposal awalnya. Jika statusnya HGB (hak guna bangunan), dibangun sesuai peruntukannya. Jika hak milik, jangan sampai dikuasai orang lain.
Dalam kerangka pikir Abu Ubaid, pembagian kepemilikan tanah memiliki 4 konsep diantaranya:
- Tanah yang diserahkan kepada negara seperti Thaif, Madinah, Yaman, dan Mekkah.
- Tanah yang dikuasai negara yang tidak dijadikan fai' tetapi dijadikan ghanimah, kemudian diambil  khumus-nya, seperti daerah Khaibar.
- Tanah biasa yang tidak dianggap dan tidak diurus kemudian pemerintah menyerahkannya kepada seseorang, contoh Yamamah, Basrah.
- Tanah mati yang dihidupkan dengan diairi dan ditanami oleh seorang muslim.
Perdagangan Internasional: Perlindungan Ketahanan Pangan Antar Negara
Bagi Abu Ubaid, perdagangan lintas batas bukan untuk memperluas pasar produk dan mengejar keuntungan yang setinggi-tingginya. Abu Ubaid setidaknya menjalankan 3 konsep besar dalam perdagangan internasional ini. Kesatu yakni tidak ada nol tarif, pengenaan cukai adalah sebuah tradisi sejak zaman jahiliah. Tetapi kemudian di masa nabi mulai diberlakukan sistem baru melalui datangnya kewajiban membayar zakat seperempat 'usyr (2,5%), 10% dari pedagang kafir harbi, 5% dari pedagang kafir dzimmi,  dan 2,5% dari harta dagang impor kaum muslimin. Faktanya, tradisi sejarah muslim menunjukkan bahwa tidak ada barang dagangan impor yang bebas dari cukai. Kedua yakni cukai bahan makanan pokok, Abu Ubaid merujuk pada kebijakan Umar yang menerapkan tarif impor bahan makanan hanya sebesar 5%. Strategi ini dilakukan sebagai Upaya suatu negara atau daerah banyak pedagang berdatangan dengan beban cukai yang minim.  Ketiga adalah ada batas tertentu untuk cukai, Abu Ubaid merujuk pada Putusan Umar II yang melarang menarik pajak dagangan di Mesir apabila nilai barang dagang kurang dari sepertiga dinar. Ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan produktif para pedagang kecil dan juga efektifitas biaya dan waktu yang dikeluarkan petugas untuk memungut pajak atas barang dagangan yang kecil.
Pemikiran Abu Ubaid dalam perdagangan internasional kiranya bisa menjadi refleksi besar Indonesia. Hari ini, berbagai perjanjian perdagangan internasional dan kunjungan diplomatis terkait perdagangan internasional mayoritas bertujuan untuk membuka pasar baru, sehingga lagi-lagi keuntungan adalah tujuan utamanya. Padahal Abu Ubaid menerapkan perdagangan internasional adalah bukan mengejar profit, tetapi untuk melindungi produksi dalam negeri. Rencana jangka panjang yang jauh dari sekedar mengejar penerimaan negara, tetapi bagaimana memakmurkan dalam negeri secara ekosistem.
Trust: Nilai Mahal Dalam Kebijakan Ekonomi Indonesia
Implementasi berbagai kebijakan ekonomi di Indonesia sebetulnya sudah cukup on the track dengan pemikiran Abu Ubaid, diatas kertas. Tetapi hari ini publik banyak dihadapkan dengan masalah trust. Sebuah kepercayaan publik -- masyarakat Indonesia atas tata kelola pemerintah lewat program dan kebijakan seakan menjadi fatamorgana. Kepuasan publik tidak sedang baik-baik saja. Terakhir kali terlihat dari gelombang demonstrasi di banyak daerah, hingga tanggal 28 Agustus 2025 ribuan demonstran berunjuk rasa di gedung DPR Senayan. Kita juga tentu tidak lupa dengan tewasnya pengemudi ojol yang dilindas oleh kendaraan taktis (rantis) baraccuda Brimob Polda Metro Jaya ketika demo tersebut berlangsung, kampanye green pink, tuntutan 17+8, hingga aksi penjarahan rumah Sri Mulyani yang juga dilanjutkan dengan reshuffle beliau tak lama berselang. Harga trust yang sangat mahal di negeri demokrasi ini.