Dalam sebuah industri, penting mencari benchmark untuk memastikan implementasi berbagai kebijakan turunannya dapat sesuai dengan koridor dampak yang diharapkan. Nilai-nilai dari seorang tokoh pemikiran akan memberikan corak tersendiri dalam perkembangan industri yang diwarnainya. Begitu juga dengan industri ekonomi syariah pada sektor publik. Pemikiran ekonomi Abu Ubaid menarik untuk didalami dan menjadi percontohan implementasi nilai syariah di sektor publik yang ideal.
Profil Abu Ubaid
Abu Ubaid memiliki nama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid al-Harawi al-Azadi al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afganistan. Ayahnya adalah keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad. Dalam perjalanan hidupnya, di usia 2 tahun Abu Ubaid pergi menuntut ilmu ke kota Kufah, Basrah, dan Baghdad. Cakupan ilmunya meliputi tata Bahasa Arab, qira'at, tafsir, hadis, dan fiqih. Pada tahun 192 H Abu Ubaid diangkat sebagai qadi (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H oleh Tsabit ibn Nasr ibn Malik - Gubernur Thugur di masa pemerintahan khalifah Harun al-Rashid. Abu Ubaid memilih untuk tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji ia memutuskan untuk menetap di Mekkah sampai wafat. Ia meninggal pada tahun 224 H di usia 74 tahun. Karya Abu Ubaid yang sangat terkenal yakni kitab Al-Amwal yang menjadi rujukan komprehensif studi keuangan publik islam.
Abu Ubaid merupakan ahli hadis (muhaddits) dan ahli fiqih (fuqaha). Beberapa ulama Syafi'iyah dan Hanabilah mengemukakan bahwa Abu Ubaid berasal dari mazhab mereka, tetapi faktanya Abu Ubaid adalah seorang fuqaha independen. Bidang keuangan publik yang menjadi fokusnya adalah kasus pertanahan dan perpajakan. Abu Ubaid juga adalah alih Bahasa Parsi ke Bahasa Arab. Pemikiran-pemikiran Abu Ubaid dipengaruhi oleh Abu Amr Abdurrahman ibn Amr al-Awza'I yang terlihat dari seringnya pengutipan kata-kata Amr dalam Kitab al- Amwal. Kitab Al Amwal atau harta atau kekayaan mencakup tentang keuangan negara diantaranya zakat, khums, kharja, fai, dan sumber penerimaan negara. Abu Ubaid menekankan pentingnya standar etika politik pemerintahan, dibandingkan teknik efisiensi pengelolaannya.
Prinsip utama Abu Ubaid menekankan bahwa otoritas penguasa adalah untuk kepentingan publik. Ia melihat keadilan perlu membawa kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Keseimbangan pendekatan dilakukan atas hak individu, publik, dan negara. Apabila terjadi kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik, maka keberpihakan ada pada kepentingan publik. Kelahiran Abu Ubaid di tengah masa keemasan Dinasti Abbasiyah mempengaruhi sudut pandangnya bahwa Pemerintah adalah pusat. Sebagaimana laporan OECD "The Governance of Regulator", regulator adalah entitas yang mendapatkan kewenangan undang-undang untuk menggunakan perangkat hukum guna mencapai tujuan kebijakan. Fungsi Pemerintah, regulator, sektor publik, menjadi penting. Di tengah situasi yang kompleks, hasil berupa regulasi yang baik dan trust dalam sebuah industri dapat mendorong solusi inovatif atas tantangan yang dihadapi untuk melayani kepentingan seluruh warga negara.
Keseimbangan Perpajakan
Salah satu gagasan Abu Ubaid adalah tentang tarif pajak kontraktual yang tidak dapat dinaikkan, bahkan dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar. Ia juga menyoroti petugas pengumpul kharaj, jizyah, ushur, atau zakat untuk tidak menyiksa masyarakatnya. Sementara di sisi lain ia memberikan perhatian bagi masyarakat agar memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan sepantasnya. Upaya ini dilakukan untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau favoritisme, sebuah penindasan dalam perpajakan serta upaya penghindaran pajak.
Bercermin dari kondisi Indonesia, pada tahun 2025 pemerintah mentargetkan untuk mengelola jumlah pajak senilai Rp2.189,3 triliun. Sampai dengan 31 Agustus 2025, jumlah penerimaan pajak telah terkumpul Rp1.135,4 triliun (54,7% dari outlook). Pada tahun 2024, realisasi penerimaan pajak terhadap target tahun 2024 hanya mencapai 97,2%. Meski jumlah penerimaannya meningkat, tetapi angka realisasi tersebut lebih rendah dibandingkan tahun 2023 yang mampu mencapai 102,80%. Lebih dari 80% pendapatan negara berasal dari perpajakan. Porsi yang sangat signifikan karena tujuan pajak adalah untuk pembangunan negara.
Di persimpangan kebijakan pajak, penting bagi kita untuk memastikan dua sumbu yakni regulator sebagai otoritas dan masyarakat sebagai publik dapat bertemu, sehingga penerimaan dan pemanfaatan pajak bisa saling menguntungkan. Pada kondisi ini, trust atau kepercayaan menjadi krusial sebagai pijakan utama bahwa kontribusi pajak dari masyarakat dilakukan karena trust kepada Pemerintah, bukan hanya sekedar keterpaksaan kepatuhan atas peraturan yang diterbitkan.
Konsep Kaum Badui dan Kaum Urban