Mohon tunggu...
annisa fitri novianti
annisa fitri novianti Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa S1 Teknik Mekatronika

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melawan dalam Diam: Tafsir Kritis dari Sumbu Yogya

21 Juni 2025   06:56 Diperbarui: 21 Juni 2025   06:56 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Yogyakarta dengan latar Gunung Merapi, simbol sumbu filosofis kota

Yogyakarta: Harmoni atau Ilusi?

Yogyakarta, kota yang kerap disebut sebagai jantung kebudayaan Jawa, memang selalu punya tempat tersendiri di hati para wisatawan. Di setiap sudutnya menyimpan daya tarik simbolik yang melampaui bentuk fisiknya. Dikenal dengan sumbu filosofis yang menghubungkan Gunung Merapi - Tugu Pal Putih - Keraton - Laut Selatan.

Konon sumbu filosofis ini merupakan lambang keselarasan antara manusia, alam, dan tuhan, Yogya digambarkan sebagai ruang kosmis penuh makna spiritual dan keseimbangan. Namun, di tengah narasi besar tentang harmoni itu, muncul pertanyaan kritis: masih adakah harmoni itu? Dan harmoni bagi siapa? Atau sebenarnya, kita hanya sedang menatap ruang kosong yang berisi mitos belaka?

Di balik citra kota yang katanya penuh ketenangan, damai dan bijak ini, Yogyakarta menyimpan ketimpangan yang menumpuk tersembunyi dari konflik agraria, gentrifikasi, sampai represi terhadap suara-suara kritis. Maka tafsir atas sumbu filosofis Yogya tak bisa lagi dipandang hanya sebagai warisan arsitektur atau spiritual, tapi harus dikaji ulang sebagai instrumen kuasa dan ruang perlawanan yang tak kasat mata.

Simbol, Kekuasaan, dan Perlawanan yang Dibungkam

Sumbu filosofis bukan sekadar garis imajiner, ia menjadi penanda tatanan kekuasaan antara alam, manusia, dan raja. Tapi, dalam dunia modern, kekuasaan itu tidak lagi berbentuk raja dan keraton semata, melainkan aktor-aktor ekonomi dan politik yang menguasai ruang hidup warga kota. Di masa lalu, mungkin seperti inilah  cara keraton membangun keteraturan untuk daerah kekuasaannya. Tapi sekarang? Pola kekuasaan itu hadir dalam bentuk yang lebih rumiit dan mulai menyimpang dari jalur asalnya.

Lukisan bernuansa kritis dihapus, diskusi publik dibubarkan, bahkan teater jalanan yang menyentil realitas sosial dianggap mengganggu "ketertiban umum". Dan hal itu dikemas rapih dalam alasan "ketertiban". Sebagaimana diberitakan oleh Tirto (2021), beberapa mural dengan pesan-pesan kritis dihapus secara tiba-tiba oleh aparat. Mural yang seharusnya menjadi suara rakyat kecil malah dianggap sebagai ancaman ketertiban padahal di sanalah keresahan sosial paling jujur tercermin.

Namun, bentuk-bentuk perlawanan non-konvensional itu justru menunjukkan bahwa Yogya masih menyimpan daya kritis. Hanya saja bentuknya berubah tidak lagi melalui demonstrasi besar-besaran, tapi melalui "diam" yang penuh makna dalam bentuk karya seperti  seni, satire, dan simbol. Perlawanan tersebut bukan hanya tentang persoalan melawan kekuasaan, tapi tentang mempertahankan nalar kritis masyarakat agar kota ini tak membeku menjadi museum kebudayaan tanpa jiwa.

 

Gentrifikasi dan Terpinggirkannya Warga Kecil

Saat ini, jika kalian menyusuri pusat kota, yang tampak bukan lagi rumah-rumah tua atau warung-warung angkringan, yang muncul justru bangunan modern zaman sekarang seperti hotel bertingkat tinggi, kafe estetik, dan apartemen mewah. Sayangnya, di balik itu semua ada cerita penggusuran yang jarang terlihat apalagi dibahas secara lebih intens.

Warga lokal yang sudah lama tinggal ditengah kota mulai tersingkir menepi ke pinggiran. Mahasiswa harus mencari indekos makin jauh karena harga yang dipatok semakin tinggi. Hal itupun tercantum dalam laporan Kompas (2020), yang menjelaskan bahwa harga tanah dan bangunan di kawasan pusat Yogyakarta menglami lonjakan drastis, mendorong terjadinya gentrifikasi. Apartemen dan hotel tumbuh pesat, sementara warga lokal kehilangan ruang tinggal mereka sedikit demi sedikit.

Yogya seolah menjual citra budaya dan toleransi tinggi yang menikmati dan merasakannya justru bukan masyarakatnya sendiri melinkan turis-turis asing di luar daerah Yogya. Pertanyannya apakah kota ini masih milik warga lokal?

Melawan Tanpa Terlihat: Strategi Kultural Rakyat

Tapi di balik itu semua Yogya tidak tinggal diam. Kota ini memang jarang ribut, tapi bukan berarti dibalik itu semua Yogya tak ada pergerakan. Ketika mimbar diredam dan kebebasan bersuara dibatasi, rakyatnya tak kehabisan akal. Mereka menjadikan seni sebagai peluru, dan budaya sebagai medannya.

Sehingga bentuk perlawanan yang muncul sangat khas lewat bagian dari tembok-tembok dengan pesan satire, musik indie yang menyindir, atau obrolan ringan di angkringan yang sering terdengar sangat tajam.

Saya percaya, bahwa Yogya punya caranya sediri yang membedakan dengan kota lainnya untuk bertahan. Perlawanan disini tidak harus secara terang-terangan dan dengan mengeluarkan tenaga yang lebih seperti berteriak, cukup muncul diantara karya-karya, simbol dari diskusi-diskusi kecil yang kadang lebih jujur dan membawa perubahan nyata daripada pidato panjang di depan banyak orang. Diam, tapi jelas.

Tafsir Ulang Sumbu: Dari Keseimbangan ke Kesadaran

Kita tak bisa terus menerus melihat sumbu filosofis sebagai sesuatu yang indah dan sakral tanpa bertanya ulang: apakah keseimbangan itu benar-benar hadir? Atau hanya ilusi yang dibentuk oleh narasi semata?

Keseimbangan bukan hanya soal arah utara dan selatan. Ini soal ruang yang adil untuk semua. Kalau kritik dibungkam, suara rakyat dikecilkan, maka kita sedang menjaga sumbu-sumbu kosong, bukan keseimbangan sejati. Saatnya tafsir itu digeser dari simbol semata ke simbol kesadaran bersama yang nantinya akan membuat perubahan yang nyata bukan hanya omong kosong saja.

Apa gunanya bicara tentang keseimbangan jika sebagian besar orang justru merasa terus menerus ditindih? Kita perlu menyadari bahwa budaya bukan hanya soal upacara atau warisan, tapi juga soal siapa yang punya akses, siapa yang bisa bicara, dan siapa justru yang harus dibungkam.

Penutup: Kembali ke Akar Yogyakarta

Yogyakarta, kota seribu keistimewaan ini memang tak selalu lantang. Tapi dibalik diamnya kota ini menyimpan banyak suara terpendam didalamnya. Lewat seni, diskusi, atau sekadar mural yang berani, warga kota menunjukkan cintanya. Karena bagi mereka, cinta bukan diam-diam menerima segala kebijakan yang datang dari luar keasliannya, tapi berani menyuarakan ketimpangan atau kejanggalannya.

 Melihat berbagai realitas tersebut, sebagaimana tercermin dalam pemberitaan-pemberitaan yang ada seperti, Kompas dan Tirto, kita sadar bahwa Yogyakarta bukan kota yang diam, ia berbicara dengan caranya sendiri. Dalam diam itulah,  perlawanan mereka lahir, hidup, dan mengakar dengan kuat.

Sumbu Yogya masih ada. Tapi mari pastikan ia tidak hanya jadi garis lurus dalam cerita, melainkan poros hidup yang berpihak pada semua. Itulah cara kita menjaga Yogya tetap jadi kota yang istimewa bukan hanya bermakna pada nama, tapi juga dalam jiwa.

 

Penulis: Annisa Fitri Novianti

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun