Saat ini, jika kalian menyusuri pusat kota, yang tampak bukan lagi rumah-rumah tua atau warung-warung angkringan, yang muncul justru bangunan modern zaman sekarang seperti hotel bertingkat tinggi, kafe estetik, dan apartemen mewah. Sayangnya, di balik itu semua ada cerita penggusuran yang jarang terlihat apalagi dibahas secara lebih intens.
Warga lokal yang sudah lama tinggal ditengah kota mulai tersingkir menepi ke pinggiran. Mahasiswa harus mencari indekos makin jauh karena harga yang dipatok semakin tinggi. Hal itupun tercantum dalam laporan Kompas (2020), yang menjelaskan bahwa harga tanah dan bangunan di kawasan pusat Yogyakarta menglami lonjakan drastis, mendorong terjadinya gentrifikasi. Apartemen dan hotel tumbuh pesat, sementara warga lokal kehilangan ruang tinggal mereka sedikit demi sedikit.
Yogya seolah menjual citra budaya dan toleransi tinggi yang menikmati dan merasakannya justru bukan masyarakatnya sendiri melinkan turis-turis asing di luar daerah Yogya. Pertanyannya apakah kota ini masih milik warga lokal?
Melawan Tanpa Terlihat: Strategi Kultural Rakyat
Tapi di balik itu semua Yogya tidak tinggal diam. Kota ini memang jarang ribut, tapi bukan berarti dibalik itu semua Yogya tak ada pergerakan. Ketika mimbar diredam dan kebebasan bersuara dibatasi, rakyatnya tak kehabisan akal. Mereka menjadikan seni sebagai peluru, dan budaya sebagai medannya.
Sehingga bentuk perlawanan yang muncul sangat khas lewat bagian dari tembok-tembok dengan pesan satire, musik indie yang menyindir, atau obrolan ringan di angkringan yang sering terdengar sangat tajam.
Saya percaya, bahwa Yogya punya caranya sediri yang membedakan dengan kota lainnya untuk bertahan. Perlawanan disini tidak harus secara terang-terangan dan dengan mengeluarkan tenaga yang lebih seperti berteriak, cukup muncul diantara karya-karya, simbol dari diskusi-diskusi kecil yang kadang lebih jujur dan membawa perubahan nyata daripada pidato panjang di depan banyak orang. Diam, tapi jelas.
Tafsir Ulang Sumbu: Dari Keseimbangan ke Kesadaran
Kita tak bisa terus menerus melihat sumbu filosofis sebagai sesuatu yang indah dan sakral tanpa bertanya ulang: apakah keseimbangan itu benar-benar hadir? Atau hanya ilusi yang dibentuk oleh narasi semata?
Keseimbangan bukan hanya soal arah utara dan selatan. Ini soal ruang yang adil untuk semua. Kalau kritik dibungkam, suara rakyat dikecilkan, maka kita sedang menjaga sumbu-sumbu kosong, bukan keseimbangan sejati. Saatnya tafsir itu digeser dari simbol semata ke simbol kesadaran bersama yang nantinya akan membuat perubahan yang nyata bukan hanya omong kosong saja.
Apa gunanya bicara tentang keseimbangan jika sebagian besar orang justru merasa terus menerus ditindih? Kita perlu menyadari bahwa budaya bukan hanya soal upacara atau warisan, tapi juga soal siapa yang punya akses, siapa yang bisa bicara, dan siapa justru yang harus dibungkam.