Mohon tunggu...
Annisa A
Annisa A Mohon Tunggu... Lainnya - Hamba

Bekerja sebagai ASN. Hidup seperti manusia pada umumnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kembali Seperti Dulu

17 Juli 2023   22:28 Diperbarui: 17 Juli 2023   22:41 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi "Kue Ulang Tahun" (unsplash.com/@jasminesky)

Je te laisserai des mots
En-dessous de ta porte

Dari terjemahnya saja, Dahlia tahu itu lagu cinta. Awalnya tampak tersirat, tapi Dahlia yakin itu lagu cinta. Lagu itu sudah diputarnya berkali-kali, berulang-ulang menggema di telinganya. Lagu yang ditemukannya begitu saja pada sebuah video acak sebagai latar suara, lalu dari ketekunannya dalam menjelajah kolom komentar ditemukannya judul lagu itu, dan semenjak itu menjadi lagu favorit yang mampu menenangkan pikirannya.

Dahlia bukan sedang jatuh cinta pada seseorang. Ia tidak tertarik pada hal semacam itu. Mungkin ia sedang teralihkan sementara waktu ini, sibuk mencari cara menyatakan cinta pada diri sendiri. Membayangkan memeluk dirinya, mengelus ubun-ubunnya, menepuk pundaknya, lalu memegang erat tangannya.

Di hadapan Dahlia telah tersaji sebuah kue ulang tahun, sekilas seperti sederhana namun tetap cantik dan menggugah selera. Jam dinding menunjukkan pukul dua belas kurang lima menit. Sebentar lagi adalah hari ulang tahunnya.

Headphone berusia satu tahun menghangatkan telinganya di malam yang dingin --serta menghangatkan hatinya dengan alunan lagu berbahasa Perancis itu. Benda itu adalah hadiah ulang tahunnya tahun lalu. Dibeli dengan uangnya, oleh ia untuk dirinya sendiri. Tahun ini ia putuskan membeli kue ulang tahun dari toko kue terkenal, selain masyhur akan rasanya juga karena harganya yang mahal. Yah, walaupun yang akan ia nikmati sesaat lagi mungkin agak berbeda, tapi menurutnya 'harga'-nya juga sepadan.


Sebuah perayaan yang elegan menurut standar Dahlia. Begitu jam tepat menunjukkan pukul dua belas malam, ia akan meniup lilin, berdoa, lalu memakan kue ulang tahunnya ditemani lagu favoritnya. Sesaat lagi ia akan berumur 28 tahun. Lalu jika ia beruntung dan panjang umur, tahun depan ia akan beranjak 29 tahun. Tahun depannya lagi 30 tahun. Kemudian bertambah lagi tahun depan, seterusnya dan seterusnya.

Dahlia tersenyum tipis. Ia pernah terpikir, andai ketika manusia lahir alih-alih menghitung dari angka satu, orang-orang sudah tahu seberapa lama anak itu akan hidup lantas memberinya angka sesuai jumlah tahun masa hidupnya, lalu setiap tahun angka itu berkurang satu hingga menjadi nol pada akhirnya, tentu tidak ada yang berniat merayakan hari kelahiran dengan begitu meriah. Satu tahun terlewat menandakan sisa waktu semakin singkat, jika disebutkan secara gamblang sebagai hitung mundur tentu akan lebih terasa.

Pukul dua belas malam tepat.

Dahlia menyalakan lilin. Membiarkan apinya berpendar semenit lamanya, lalu meniupnya. Ia memejamkan mata dan berdoa. Kemudian, ia potong kue ulang tahunnya dengan hati-hati.

Ramasse-moi
Quand tu voudras

Alunan musik seperti mengantar doa Dahlia, apapun yang terjadi setelah ulang tahunnya kali ini, semoga itu yang terbaik. Ia kunyah kue ulang tahun itu sambil menahan air mata.

***

Dering kesepuluh pada hari ketiga, nomor yang sama dan tidak dikenalnya itu tidak menyerah untuk menghubunginya. Angga mulai kesal dan akhirnya mengangkat teleponnya.

"Angga?" tanya suara seorang wanita diujung sana. Angga mengernyit, tidak yakin apakah ia mengenal suara itu.

"Siapa?" Angga menyahut ragu-ragu.

"Ini Angga, kan? Hei, Angga!" Seseorang di ujung telepon sana sepertinya kesal bahwa teleponnya baru diangkat setelah sepuluh kali percobaan pada hari itu.

"Ini Sinta Arlina! Kenapa teleponku tidak pernah diangkat?!"

Angga terdiam. Setengah lega bahwa itu bukan mantan pacar yang ingin menerornya atau kawan lama yang menagih utang padanya, tetapi juga setengah was-was bahwa yang meneleponnya adalah adiknya yang sudah beberapa tahun ini tidak berkomunikasi dengannya.

"Kenapa meneleponku? Darimana kau mendapatkan nomorku?" tanya Angga ketus. Suara Sinta tidak terdengar setelah itu. Angga tidak lantas mematikan teleponnya, ia menunggu, tetapi Sinta tidak juga mengucapkan apapun.

"Apa ... apa yang mau kau kabarkan padaku?"

"Tidak ada yang mengabarimu? Kau sudah baca berita, belum?"

Angga terdiam lagi, kali ini lebih lama daripada diamnya Sinta.

"Belum," jawab Angga singkat.

Ia sempat melihat sekilas judul berita yang berseliweran di media sosialnya, tapi ia tak berani untuk memperhatikan atau membacanya dengan seksama. Sekali saja ia melihat satu nama pada judulnya, ia menghindari berita itu pada kesempatan berikutnya.

"Sebaiknya kau baca berita sekarang."

"Tidak mau."

Sinta terdengar menghela nafas di ujung sana.

"Kalau begitu, kau pasti sudah tahu."

Hening lagi.

"Kau tidak berniat pulang? Keluarga yang lain memintaku untuk mencarimu. Penyelidikan masih berlangsung-"

"Penyelidikan apa? Aku tidak dibutuhkan untuk apapun."

"Ya sudah kalau begitu."

Sinta mematikan sambungan telepon. Wanita itu tidak mengucapkan kalimat terakhirnya dengan amarah, melainkan lebih kepada pasrah, tidak peduli apapun yang diputuskan oleh lawan bicaranya saat itu.

Angga memandangi telepon genggamnya. Telepon Sinta barusan membangkitkan rasa ingin tahunya. Ia yang semula menghindari berita itu, kini justru mencari-carinya. Ia baca semua kanal media lokal di internet serta komentar-komentar pada unggahan media sosial mengenai berita itu, mencerna semua potongan-potongan informasi.

Berawal dari bau busuk yang tercium, lalu inisiatif beberapa orang untuk mencari sumbernya, dari situlah berawal penemuan mayat seorang wanita yang tinggal sendirian di kontrakan kecilnya. Penemuan itu menggegerkan warga, tentu saja. Beberapa kali diwartakan di media sosial menjadikannya viral meski hanya tingkat lokal, terlebih perihal kondisi Tempat Kejadian Perkara yang cukup menarik perhatian: headphone yang masih terpasang di kepala sang mayat dan kue ulang tahun yang berada di atas meja kecil di hadapannya.

Penyebab kematian pun baru diketahui setelah menunggu hasil autopsi yang cukup memakan waktu akibat jasad yang sudah mulai membusuk: racun sianida. Tak tanggung-tanggung, narasi kisah bunuh diri pun dibangun.

Setelah ramainya kesaksian dari banyak rekan kerja almarhum pada sebuah toko retail tempatnya bekerja bahwa almarhum masih tampak merencanakan beberapa hari ke depan dengan orang-orang di sekitarnya, dan bahwa tidak ada pesan atau catatan yang mengarah pada kasus bunuh diri, sebagian warga internet memutuskan untuk menepiskan kemungkinan cerita menyedihkan seseorang yang mengakhiri hidupnya diam-diam. Perhatian kini beralih kepada kue ulang tahun yang belakangan diketahui sebagai media racun yang merenggut nyawanya.

Pengusaha toko kue yang disebut menjual kue kepada almarhum itu membela diri, tidak ragu jika tokonya diperiksa. CCTV juga diperiksa, walau samar-samar, setidaknya memastikan almarhum memang terlihat membeli kue ulang tahun di sana. Meskipun dinyatakan dapur pembuatan dan produk kue lainnya bersih, toko kue itu mulai kehilangan nama.

Orang-orang tidak kehilangan bahan diskusi, kini latar si korban menjadi bahasan menarik dan menaikkan kembali kemungkinan bunuh diri. Kali ini, nama Angga ikut terseret, adik almarhum yang sudah beberapa tahun tidak bertemu dan berinteraksi dengan almarhum maupun keluarga lainnya.

Angga sendiri tidak yakin apa yang dirasakannya dengan berita kematian kakaknya. Ia bertahun-tahun menghindari keluarganya sendiri. Ia punya banyak utang. Ia berutang pada kakaknya yang meninggal itu, Dahlia namanya. Angga juga punya utang dengan adiknya, pamannya, bibinya, sepupunya, bahkan dengan keponakannya yang baru diterima bekerja setelah lulus SMA. Namanya sudah dikenal di keluarga besarnya sebagai seorang yang tidak jelas bekerja apa dan bisanya cuma utang sana-sini. Belum lagi utang dengan teman-temannya dan kebohongan-kebohongannya pada perempuan-perempuan yang pernah dipacarinya. Hidupnya berantakan.

Kini setelah kakaknya ditemukan tewas, bukankah artinya salah satu beban utangnya menghilang? Akan tetapi, pada masa awal Angga menemukan berita itu, ia refleks memilih untuk menghindari dan tidak memercayainya. Angga memilih tetap menyembunyikan dirinya. Menjadi tidak peduli sepertinya pilihan yang sudah ia tentukan tanpa disengaja.

***

"Sinta,"

Sinta mengamati wanita paruh baya di hadapannya. Terakhir kali mereka bertemu adalah empat tahun yang lalu, saat wanita itu masih menyempatkan diri untuk berkunjung dan bertemu dengan sanak saudara lainnya. Empat tahun lalu wanita itu datang dengan suaminya dan dua balita, kini balita-balita itu sudah tumbuh besar dan terlihat sangat mirip dengan ayahnya.

"Bagaimana kabarmu?" Wanita itu bertanya lagi. Sinta hanya menjawab sekadarnya. Ia sedikit tidak menyangka ibunya akan datang ke rumah neneknya dan bertemu dengan keluarga yang lain setelah mendengar kabar kematian Dahlia. Ia pikir wanita itu takkan menunjukkan batang hidungnya lagi seperti mantan suaminya --alias ayah Sinta sendiri- yang bahkan tak pernah dilihat Sinta sejak sembilan tahun yang lalu.

"Mana Angga?" Ibunya bertanya lagi. Kali ini Sinta hanya menjawab dengan mengangkat bahu dan menggeleng pelan.

Dua saudara tiri Sinta --anak-anak ibunya- tampak asyik bermain satu sama lain, mereka tidak mempedulikan suasana yang tengah menyelimuti orang-orang saat itu. Sinta mengamati mereka dengan perasaan iri. Seperti itulah dulu mereka bertiga: dirinya, Angga, dan Dahlia. Siapa sangka waktu mampu mengubah banyak hal. Ego yang ketinggian membuat kedua orang tuanya tidak pernah bertatap muka lagi. Sementara ikatan saudara kandung tidak menjamin bahwa tidak akan ada perseteruan hanya gara-gara uang. Kemudian ditambah saling menyalahkan satu sama lain atas keadaan. Saling bersikap egois dan meributkan banyak hal. Dulu pertengkaran di meja makan hanya akan menjadi bahan tertawaan sehari setelahnya, tapi seiring mereka dewasa urat-urat nampak saat mereka membentak satu sama lain.

Perkembangan kasus kematian Dahlia belum berhenti. Fakta yang baru saja yang dirilis kepada publik oleh penyelidik menyebutkan bahwa kue yang dibeli Dahlia dari toko kue terkenal itu berbeda dengan yang berada di kamarnya. Polisi masih menyelidiki asal muasal kue beracun yang dimakan oleh Dahlia. Entah bagaimana tidak ada sidik jari tersisa pada kotak kue itu.

Sinta hanya membaca-baca saja berbagai spekulasi orang-orang di dunia maya. Ia mengalihkan padangan dari layar telepon genggamnya menuju seloyang kue ulang tahun yang sudah mengeras di hadapannya. Ia sedang menimbang-nimbang tentang apa yang akan ia lakukan dengan kue itu.

Kue itu sudah tersimpan di kulkas kontrakannya berminggu-minggu lamanya. Hampir sebulan yang lalu, ia membawakan sekotak kue buatannya sendiri menemui Dahlia, yang ternyata sudah membeli kue untuk dirinya sendiri. Kala itu pertemuan pertama mereka setelah dua tahun terasa canggung.

"Aku lihat kau kerja di minimarket itu beberapa hari yang lalu," kata Sinta, memecah keheningan saat mereka saling berpandangan. Dahlia tampak kaget, tapi ia tidak berusaha menghindar.

"Aku membuatkanmu kue ulang tahun, tapi sepertinya kau sudah punya," kata Sinta lagi. Tiba-tiba ia merasa serba salah, sebuah keraguan menyelimuti dirinya. Maka dengan terburu-buru ia pun segera berbalik dan berjalan meninggalkan kakaknya.

"Sinta!"

Sinta terhenti demi mendengar Dahlia berteriak memanggilnya. Ternyata Dahlia menghampirinya.

"Berikan kue itu padaku. Kau ambil saja yang ini. Aku ingat, ulang tahun kita hanya berjarak dua hari, kan?"

Tangan Sinta yang membawa kue ulang tahun itu gemetar.

"Anggap saja kue yang kubeli ini adalah hadiah ulang tahunmu. Sedang yang kau bawa itu, aku akan memakannya sebagai bentuk penghargaan karena kau sudah susah payah membuatnya," ucap Dahlia, lalu ia melanjutkan, "dan sebagai permohonan maafku karena sudah mengabaikan kalian, juga atas ucapan-ucapan kasarku yang dulu menyebutmu sebagai beban."

Saat itu, Sinta menatap langsung pada mata kakaknya. Berbagai perasaan campur aduk dalam hatinya ketika ia menyerahkan kue buatannya pada Dahlia. Amarah, benci, kecewa, iba, juga penyesalan dan kerinduan yang tak pernah diduganya akan bersarang di lubuk hatinya.

-

Baca cerpen Annisa A lainnya: Mencari Pemenang, Memutus Siklus, dan lain-lain.
Puisi lainnya: 
Ditelan Tanah Rantau, Yang Terhormat Perantaraku Menemu Malaikat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun