Mohon tunggu...
Annisa A
Annisa A Mohon Tunggu... Lainnya - Hamba

Bekerja sebagai ASN. Hidup seperti manusia pada umumnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Yang Ditinggalkan

24 Juni 2023   20:36 Diperbarui: 24 Juni 2023   20:41 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi "Yang Ditinggalkan" (unsplash.com/@lihene_co)

Sampai detik ini, surat darimu masih terlipat rapi. Aku tak punya keberanian untuk membukanya. Kenapa kau harus repot-repot menuliskannya? Aku lebih suka jika kau menyampaikan langsung di hadapanku.

Rembesan tinta hitam tampak pada lipatan kertas berwarna putih itu. Aku sempat khawatir warna merahlah yang ada di sana. Barangkali kau mendapat ide bodoh lainnya untuk menakut-nakutiku. Bukankah sangat menyeramkan membayangkan sebuah surat dari orang mati yang ditulis dengan darah? Aku bisa mimpi buruk tiap malam karenamu.

Aku masih bisa mengingat candamu pada suatu hari yang lalu. Kau tertawa lepas karena leluconmu sendiri. Seringkali kau bilang hidup ini lucu, sudah persis seperti lakon komedi. Ada yang kau sebut mirip dengan badut. Ada orang-orang yang katamu tenggelam dalam ambisi.

Sering aku menanggapimu sambil lalu. Kukatakan kau terlalu dalam memikirkan. Dan kau menjawab bahwa kau hanya berusaha menikmati. Cara pandang menentukan bagaimana kita menjalani hidup, begitu ujarmu kala itu. Lantas, cara pandang macam apa yang menuntunmu menggantung kepalamu sendiri?

Kau mungkin merasa bisa beristirahat setelahnya. Tak tahu kah kau, ada berapa hati yang kau hancurkan hari itu? Aku merasa tidak pernah ada dalam hidupmu. Aku seperti tidak mengenalmu. Aku yang tidak peka atau kau kah yang terlalu rapat menutupinya?

Sudah lewat beberapa minggu dari kematianmu. Selama itu pula aku melupakan hangatnya sinar mentari, embun di dedaunan pagi hari, dan angin yang berkelana bebas di luar sana. Hari-hari kulewatkan dengan menatap sendu pada surat terakhirmu yang masih belum kubaca. Kau tahu alasan utama aku tak mau membukanya? Sesungguhnya aku menebak, jika kau tuliskan di sana agar aku tidak mengikutimu, maka artinya kau mengakui kebodohanmu. Dan aku membenci hal itu.

Ketukan pintu dari luar tak pernah membuatku bosan. Mungkin orang-orang khawatir jika aku akan menyusulmu, sekalipun kadang mereka mampu menerobos masuk dan masih melihatku bernyawa.  Mereka tidak salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Aku memang berharap bisa menemuimu. Aku ingin meluapkan kekesalanku padamu, memarahimu, lalu mengatakan padamu bahwa kau seharusnya bisa jujur denganku, kau bisa percaya padaku. Jika bisa, aku ingin membawamu kembali dan kita akan mencoba dari awal lagi.

Rintik hujan terakhir telah meresap ke dalam tanah. Aroma petrikor menelusup dari celah jendela. Angin yang masuk dari ventilasi menggetarkan lipatan kertas di atas meja. Hembusan selanjutnya menjatuhkan kertas itu ke lantai. Aku masih bergeming. Keheningan selepas hujan membuatku berpikir bahwa aku mendengar suaramu memanggil-manggil dari surat itu. Akhirnya, untuk pertama kali kuraih kertas itu dan kubuka lipatannya.

Sekalipun kuakui aku bisa menebak apa yang ingin kau katakan, tetap saja air mataku mengalir kala mengarungi satu-persatu kalimatmu. Tidak lebih dan tidak kurang. Permohonan maaf, ucapan terima kasih, dan peringatan agar aku tetap tinggal sementara kau mengumbar salam perpisahan tanpa sesal.

Bagaimana bisa kau bilang 'Aku tidak menyesal'? Aku bertaruh suatu hari kau akan cemburu dari atas sana, demi melihat hidup ini tidak seburuk yang kau kira. Tidakkah kau terpikir untuk menunggu? Apakah benar-benar sesakit itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun