Mohon tunggu...
Annisa Nur Rahmah
Annisa Nur Rahmah Mohon Tunggu... Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kewenangan Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar'iyyah di Nanggroe Aceh Darussalam

4 Oktober 2025   07:19 Diperbarui: 4 Oktober 2025   07:19 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nama Anggota :

  • Muhammad Al Maliki 232121180
  • Fahmi Izzulhaq 232121182
  • Salman Lokollo 232121183
  • Nadila Arya Dwi Saputri 232121184
  • Annisa Nur Rahmah 232111189
  • Daffina Salma Azahra 232121203
  • Iqlima Hanifa Haya Rafsanjani 232121205
  • Octaviana Putri Ramadhani 232121211

Kelompok : 4

Kelas : HKI 5 E

Mata Kuliah : Peradilan Agama di Indonesia

 

A. Pengertian Peradilan Agama

Peradilan agama merupakan salah satu nama resmi bagi salah satu dari empat peradilan yang ada diIndonesia sebagai salah satu tempat dan sarana peradilan dan kekuasaan hukum. Lembaga khusus yang mengadili perkara-perkara khusus dan tertentu ada di dalam peradilan agama ini. Dapat disebutkan bahwa peradilan agama merupakan salah satu peradilan Islam yang telah disesuai dengan bangsa Indonesia.

Adapun kekuasaan yang dimiliki oleh pengadilan agama ini terbagi menjadi dua macam yaitu kekuasaan yang bersifat Relatif dan kekuasaan yang bersifat absolut. Adapun arti dari kekuasaan relatif adalah kekuasaan yang pada dasarnya menyangkut wilayah hukum. Sedangkan kekuasaan absolut adalah kekuasaan yang menyangkut masalah yang mengadili pembagian Kekuasaan anta rbadan-badan peradilan.

B. Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia

Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan khusus dalam menyelesaikan perkara-perkara di bidang tertentu. Kewenangan tersebut diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini memperluas sekaligus mempertegas ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama, sehingga semakin relevan dengan dinamika masyarakat Muslim di Indonesia.

Secara umum, Peradilan Agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang tertentu. Pertama, kewenangan tersebut meliputi perkara perkawinan, seperti pencegahan perkawinan, izin beristri lebih dari seorang, pembatalan perkawinan, perceraian, hingga perkara hadhanah (hak asuh anak) dan kewajiban nafkah. Kedua, Peradilan Agama berwenang dalam perkara kewarisan, yang mencakup penetapan ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian bagian masing-masing ahli waris menurut hukum Islam. Ketiga, kewenangan juga mencakup perkara wasiat dan hibah, khususnya dalam hal keabsahan, pelaksanaan, maupun penyelesaian sengketa yang timbul darinya.

Selain itu, Peradilan Agama memiliki kewenangan dalam bidang wakaf, baik mengenai penetapan sah atau tidaknya ikrar wakaf, penggantian nadzir, maupun penyelesaian sengketa tanah wakaf. Kewenangan serupa juga berlaku terhadap perkara zakat, infaq, dan shadaqah terutama terkait pengelolaan serta distribusinya bagi penerima yang berhak.

Perluasan kewenangan yang signifikan terlihat pada bidang ekonomi syariah. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Peradilan Agama diberikan wewenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi yang berlandaskan prinsip syariah. Hal ini mencakup perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, koperasi syariah, lembaga keuangan mikro syariah, hingga bisnis berbasis akad syariah.

Dengan demikian, kewenangan Peradilan Agama di Indonesia tidak terbatas pada urusan keluarga semata, tetapi juga meluas pada persoalan sosial-ekonomi umat Islam. Hal ini menunjukkan peran strategis Peradilan Agama dalam menegakkan hukum Islam secara formal di Indonesia, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Muslim dalam berbagai aspek kehidupan.

C. Contoh Penanganan Perkara Perceraian di Pengadilan Agama

Perceraian merupakan salah satu perkara yang paling banyak ditangani oleh Pengadilan Agama di Indonesia. Sebagai lembaga peradilan yang berwenang mengadili perkara-perkara perdata tertentu bagi umat Islam, Pengadilan Agama memiliki prosedur khusus dalam menyelesaikan kasus perceraian. Proses ini dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, serta Undang-Undang Peradilan Agama.

Sebagai ilustrasi, mari kita lihat kasus yang terjadi di Pengadilan Agama Kota X. Seorang istri bernama Fatimah mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya, Ali, dengan alasan bahwa selama dua tahun terakhir suaminya tidak memberikan nafkah lahir dan sering melakukan kekerasan verbal. Karena sudah tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga, Fatimah merasa perceraian adalah jalan terbaik.

Langkah pertama yang dilakukan Fatimah adalah mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama setempat dengan membayar panjar biaya perkara. Setelah itu, jurusita pengadilan mengirimkan surat panggilan sidang kepada Ali agar ia hadir dalam persidangan. Pada sidang pertama, hakim terlebih dahulu menunjuk mediator untuk mendamaikan kedua belah pihak. Namun, upaya mediasi tidak berhasil karena Ali tetap menolak memberikan nafkah dan mengakui bahwa sering terjadi pertengkaran.

Persidangan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara. Fatimah menyampaikan alasannya bercerai, sementara hakim juga mendengarkan keterangan saksi dari keluarga dan tetangga yang mengetahui kondisi rumah tangga mereka. Selain itu, bukti berupa surat keterangan dari RT yang menyatakan bahwa Ali tidak tinggal serumah selama dua tahun terakhir juga diajukan. Berdasarkan pemeriksaan tersebut, majelis hakim menilai bahwa rumah tangga Fatimah dan Ali sudah tidak mungkin dipertahankan.

Dalam pertimbangannya, hakim merujuk pada Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang mengatur bahwa perceraian dapat diputus apabila antara suami istri sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun. Akhirnya, majelis hakim menjatuhkan putusan bahwa perkawinan Fatimah dan Ali resmi diputus. Selain itu, hakim juga menetapkan bahwa hak asuh anak mereka diberikan kepada Fatimah, sementara Ali diwajibkan memberikan nafkah anak sebesar Rp1.000.000 setiap bulan.

Setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht), Pengadilan Agama menerbitkan Akta Cerai sebagai bukti resmi berakhirnya ikatan perkawinan antara Fatimah dan Ali. Dengan demikian, proses perceraian secara hukum selesai dan keduanya memiliki kedudukan hukum yang jelas.

D. Kewenangan Mahkamah Syariyyah di Nanggroe Aceh Darussalam

Adapun kewenangan Mahkamah Syar’iyah sesuai dengan peraturan Perundang-undangan di atas adalah:

    1. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara dalam bidang aḥwāl al Syakhṣiyyah.

Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara dalam bidang aḥwāl al-Syakhṣiyyah meliputi hal-hal yang diatur dalam Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama Antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

  • Perkawinan
  • Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
  • Wakaf dan shadaqah.

Yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain adalah:

  • Izin beristri lebih dari seorang.
  • Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.
  • Dispensasi kawin.
  • Pencegahan perkawinan.
  • Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
  • Pembatalan perkawinan.
  • Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri.
  • Perceraian karena talak.
  • Gugatan perceraian.
  •  Penyelesaian harta bersama.
  •  Mengenai penguasaan anak-anak.
  •  Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya.
  •  Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri.
  •  Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.
  •  Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.
  •  Pencabutan kekuasaan wali.
  •  Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut.
  •  Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya.
  •  Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya.
  •  Penetapan asal usul seorang anak.
  •  Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran.
  •  Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

Selanjutnya pada Angka 37 Pasal 49 Huruf (b) dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing- masing ahli waris. 

Huruf (c) Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat  kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.    

Huruf (d) Yang dimaksud dengan "hibah" adalah  pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.  

Huruf (e) Yang dimaksud dengan "wakaf" adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah. 

Huruf (f) Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. 

Huruf (h) Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridha Allah Subhanahu Wata‘ala dan pahala semata.

     2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara dalam bidang mu‘āmalah.

Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang mu‘āmalah meliputi hukum kebendaan dan perikatan, seperti jual beli, hutang piutang; qirādh (permodalan); musāqah, muzāra‘ah, mukhābarah (bagi hasil pertanian); wakīlah (kuasa), syirkah (perkongsian); ‘āriyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta), syuf’ah (hak langgeh) dan rahnu (gadai).

Selain itu, dalam bidang mu’āmalah juga mencakup: ihyā al-mawāt (pembukaan lahan), ma’din (tambang), luqathah (barang temuan), ijārah (sewa menyewa), takāful (penjaminan) perbankan, perburuhan, harta rampasan, waqf, shadaqah, hadiah, zakat, infāq, dan ekonomi syari’ah. 

Dalam hal ini kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara dalam bidang mu‘āmalah merupakan kewenangan Mahkamah Syar’iyah yang diatur dengan Qanun Provinsi Aceh Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam juga melaksanakan Tugas Pokok dan kewenangan Peradilan Agama. Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang No 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, tugas pokok dan kewenangan Peradilan Agama adalah menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya di antara orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, infaq, sedekah dan ekonomi Syariat.

     3. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara dalam bidang jināyāt

Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang jināyāt adalah: 1) ḥudūd, meliputi zina, menuduh berzina (qadhaf), mencuri, merampok, minuman keras (miras) narkotika psikotropika dan zat adiktif (Napza), murtad dan pemberontakan (baghy); 2) qishāsh/diyat yang meliputi pembunuhan dan penganiayaan; 3) ta‘zīr yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syariat selain hudūd dan qishāsh/diyat seperti maisir, khalwat, serta meninggalkan shalat fardhu dan puasa Ramadhan.

Kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam bidang jināyāt merupakan fokus yang penulis teliti pada putusan Mahkamah Syar’iyyah Langsa pada perkara Nomor 20/JN/2012/Ms-Langsa.

Di samping tugas pokok sebagaimana tersebut di atas, Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah juga mempunyai tugas-tugas lain yaitu bertugas memberikan itsbāt kesaksian rukyah hilāl dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah (Pasal 52A Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006). Kewenangan Mahkamah Syar’iyah diatur dalam Qanun Provinsi Aceh Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam Pasal 49 yaitu: Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang: ahwāl al-syakhshiyah; mu‘āmalah; dan jināyah. Dalam Pasal 50 dijelaskan (1) Mahkamah Syar’iyah Provinsi bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam tingkat banding. (2) Mahkamah Syar’iyah Provinsi juga bertugas dan berwenang mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan antar Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam.

Pelaksanaan Syariat Islam lainnya yang sangat spesifik di Provinsi Aceh adalah pelaksanaan hukuman cambuk. Bagi mereka yang terbukti melanggar qanun tentang maisir, khamar (minuman keras), dan berduaan dengan pasangan lain jenis (bukan suami isteri) dikenakan hukuman cambuk. Semua itu telah diatur dalam Qanun Nomor 12 Tahun 2003, Qanun Nomor 13 Tahun 2003, Qanun Nomor 14 Tahun 2003, dan Qanun Nomor 7 Tahun 2004.

Sebagai bagian dari sistem peradilan Indonesia, Mahkamah Syar’iyah tidak terlepas dari dua kompetensi dasar, yaitu wewenang Peradilan Agama dan sebagian wewenang Peradilan Umum. Kolaborasi kedua wewenang tersebut bisa dijelaskan secara rincinya sebagai berikut:

     1). Pelaksanaan wewenang Mahkamah Syar’iyah yang menyangkut seluruh wewenang Peradilan Agama.

Undang-Undang Pemerintahan Aceh memberi kewenangan untuk membentuk Mahkamah Syar’iyah sebagai badan peradilan yang akan melaksanakan syari’at Islam. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus dan keistimewaan di bidang kehidupan beragama (Syariat Islam), pemerintah Provinsi Aceh telah membentuk beberapa lembaga pendukung seperti Dinas Syari’at Islam Provinsi, Dinas Syari’at Kabupaten, Wilayatul Hisbah dan beberapa lembaga lain terkait dengan pelaksanaan syari’at Islam seperti Badan Pembinaan Dayah atau Badan Dayah yang ada di tingkat Provinsi dan Kabupaten. Pemerintah Aceh juga mengesahkan beberapa Peraturan Daerah/Qanun terkait dengan pelaksanaan wewenang Mahkamah Syar’iyah. 

Adapun hukum materil dalam bidang mu‘āmalah (perdata pada umumnya) yang telah ditetapkan pula menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah, sampai saat ini belum disusun qanunnya. Oleh karena itu kewenangan di bidang tersebut belum dapat dilaksanakan, kecuali beberapa perkara perdata yang sejak dulu telah menjadi kewenangan Pengadilan Agama, seperti masalah wakaf, hibah, wasiat dan sadakah. 

     a). Kewenangan untuk melaksanakan tugas pokok pengadilan agama (Mahkamah Syar’iyah di Aceh) tersebut dibagi dua yaitu:

  • Kewenangan relatif.

Kewenangan relatif atau kompetensi relatif yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya, didasarkan kepada wilayah hukum pengadilan mana tergugat bertempat tinggal. Kewenangan relatif ini mengatur pembahagian kekuasaan pengadilan yang sama, misalnya antara Mahkamah Syar’iyah Bireuen dengan Mahkamah Syar’iyah Langsa, sehingga untuk menjawab apakah perkara ini menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah Bireuen ataukah Mahkamah Syar’iyah Langsa, didasarkan kepada wilayah hukum mana Tergugat bertempat tinggal. Dalam bahasa Belanda kewenangan relatif ini disebut dengan “distributie van rechtsmacht”. Atas dasar ini maka berlakulah asas “actor sequitur forum rei”. Namun demikian ada penyimpangan dari asas tersebut di atas, yaitu khusus perkara gugat cerai bagi yang beragama Islam, maka gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama di mana Penggugat bertempat tinggal. Hal ini adalah hukum acara khusus yang diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sehingga berlaku asas “lex specialis derogat lex generalis” artinya aturan yang khusus dapat mengalahkan aturan yang umum.

  • Kewenangan mutlak (absolute)

Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.

Dengan kata lain, kekuasaan absolut adalah kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, seperti contoh:

  • Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum.
  • Pengadilan Agama yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara ke Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung.
  • Banding dari Pengadilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama, tidak boleh diajukan ke Pengadilan Tinggi.

Terhadap kekuasaan absolut ini Pengadilan Agama harus meneliti perkara yang diajukan kepadanya, apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan. Kalau bukan, maka dilarang menerimanya. Kalaupun diterima, maka tergugat dapat mengajukan keberatan (eksepsi absolut) dan jenis eksepsi ini boleh diajukan sejak tergugat menjawab pertama dan boleh kapan saja, baik tingkat banding maupun kasasi.

Kewenangan mutlak atau kompetensi absolut adalah wewenang badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain. Kewenangan mutlak ini untuk menjawab pertanyaan, apakah perkara tertentu, misalnya sengketa ekonomi syari’ah, menjadi kewenangan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Dalam bahasa Belanda kewenangan mutlak disebut “atribute van rechtsmacht” atau atribut kekuasaan kehakiman. 

Berdasarkan uraian teori tersebut di atas, maka perluasan beberapa kewenangan peradilan agama merupakan sebuah keniscayaan, mengingat semua yang menjadi wewenang peradilan agama, baik menyangkut tentang perkawinan, waris, wakaf, zakat, sampai pada masalah ekonomi syari’ah, kesemuanya merupakan sesuatu yang telah melekat pada masyarakat muslim. Artinya, hukum Islam yang menjadi bagian dari kewenangan peradilan agama selama ini telah menjadi hukum yang hidup (living law) dan diamalkan oleh masyarakat muslim di Indonesia. Bahkan semestinya, kewenangan peradilan agama tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan tersebut, tetapi juga menyangkut persoalan hukum Islam lainnya yang selama ini telah dipraktikkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. 

Perluasan wewenang pengadilan agama setelah diundangkannya UndangUndang No 3 Tahun 2006 tentang perubahan ke dua Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, antara lain meliputi bidang ekonomi syariah. Penyebutan ekonomi syariah menjadi penegas bahwa kewenangan pengadilan agama tidak dibatasi dengan menyelesaikan sengketa di bidang perbankan saja, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya. 

     b). Pelaksanaan wewenang Mahkamah Syar’iyah yang menyangkut sebagian wewenang peradilan umum

Sampai saat ini telah disahkan 5 (lima) qanun sebagai hukum materil yang berhubungan dengan kewenangan Mahkamah Syar’iyah di bidang jināyah, yaitu:

1. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syari’ah Islam Bidang ’Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam. Dalam Qanun ini ada lima macam perbuatan yang dipandang sebagai jarīmah (tindak pidana) yakni:

  • Penyebaran paham atau aliran sesat (bidang ‘aqidah).
  • Tidak shalat jum’at tiga kali berturut-turut tanpa ‘uzur syar‘ī (bidang ibadah).
  • Menyediakan fasilitas/peluang kepada orang Muslim yang tanpa ‘uzur untuk tidak berpuasa (bidang ibadah).
  • Makan dan atau minum di tempat umum pada siang hari Ramadhan (bidang ibadah).
  • Tidak berbusana Islami (bidang syi’ar Islam).

2. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Larangan Khamar dan Sejenisnya.

3. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Maisir (judi).

4. Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Larangan Khalwat (mesum).

5. Qanun Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, juga terdapat beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai jarīmah (tindak pidana) yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah mengadilinya. Perbuatan dimaksud adalah sebagai berikut:

  • Tidak membayar zakat setelah jatuh tempo.
  • Membayar zakat tidak menurut ketentuan yang telah ditentukan.
  • Memalsukan surat Baitul Mal.
  • Melakukan penggelapan zakat atau harta agama lainnya.
  • Petugas Baitul Mal yang menyalurkan zakat secara tidak sah. 

Keseluruhan hukum pidana Islam yang terdapat dalam ke Lima Qanun tersebut di atas dapat dikelompokkan kepada dua macam, yaitu:

     a). Hudūd.

Hudūd merupakan hukum pidana yang sudah jelas bentuk dan ukurannya. Mengingat hudūd ini telah jelas hukumannya, baik bentuk maupun ukurannya maka hakim tidak punya kebebasan lagi untuk menemukan hukum lain, dalam hal ini hakim hanya memiliki kewenangan berijtihad untuk menetapkan “apakah tindak pidana itu benar telah dilakukan, atau pun tidak”. Bila ini telah jelas dilakukan maka ḥudūd tinggal mengambil hukuman yang telah tersedia untuk itu. 

Sejalan dengan ketentuan ḥudūd seperti dikemukakan di atas, Aceh telah menetapkan beberapa kasus ḥudūd, antara lain tentang “mengkonsumsi khamar” (minuman keras) dan sejenisnya, dengan sanksi hukuman cambuk sebanyak 40 kali. Hal ini bukanlah atas dasar hasil pemikiran para pakar hukum pemerintah Aceh dalam menetapkan hukumannya berupa hukum cambuk sebanyak empat puluh kali, tetapi berupa ketentuan Allah SWT yang harus diikuti, karena penentuan hukuman seperti ini telah tegas tercantum di dalam nash syari’at Islam. Dengan demikian para pelaku hukum dalam Pemerintah Aceh tinggal mengambil, menetapkan, dan melaksanakannya saja. 

     b). Ta‘zīr.  

Mengenai ta‘zīr adanya kebebasan hakim untuk menentukan hukuman, maka kesempatan hakim berijtihad untuk menentukan apa hukuman yang akan ditetapkan bagi pelakunya, dan bagaimana cara pelaksanaannya sangat besar. Dengan demikian, kejelian hakim untuk menentukan hukum yang akurat dalam hal ini sangat diperlukan. 

Dari apa yang diatur dalam Undang-Undang dan Qanun, dapat secara nyata bahwa kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Syar’iyah amatlah luas, menyamai kewenangan yang dimiliki peradilan umum saat ini, namun hukum materil yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Syar’iyah belum selesai seluruhnya.

Pelaksanaan wewenang Mahkamah Syar’iyah saat ini masih terkendala dengan minimnya aturan yang mengatur tentang hukum jināyah dan hukum acara jināyah. Jenis ‘uqūbāt dalam Qanun Jināyah itu meliputi hudūd dan ta‘zīr. ‘uqūbāt ta‘zīr tersebut berbentuk cambuk, denda, penjara, perampasan barang-barang tertentu, pencabutan izin dan pencabutan hak, dan kompensasi. Qanun ini juga mengurai secara rinci jarīmah dan ‘uqūbāt bagi pelaku khamar, maisir, khalwat, ikhtilāṭ, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf, liwāth, dan musahaqah seperti tersebut di atas. 

Dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 disebutkan beberapa perbuatan yang dapat dikenakan sanksi, antara lain yaitu:

  • Menyebarkan paham atau aliran sesat
  • Keluar dari aqidah Islam dan/atau menghina atau melecehkan agama Islam
  • Tidak melaksanakan shalat jum’at tiga kali berturut-turut tanpa ‘uzur syar‘ī.
  • Makan atau minum (oleh orang yang wajib puasa) di depan umum pada siang hari bulan Ramadhan, dan tidak berbusana islami.

Sedangkan empat Qanun Provinsi NAD lainnya menyangkut perbuatan pidana mengenai:

  • Larangan mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya (Qanun No. 12 Tahun 2003).
  • Larangan melakukan perbuatan maisir (perjudian) (Qanun No. 13 Tahun 2003).
  • Larangan melakukan khalwat (mesum) (Qanun No. 14 Tahun 2003)
  • Tidak membayar zakat atau tidak membayar zakat menurut sebenarnya (Qanun No. 7 Tahun 2004).

Jika diperhatikan perbuatan pidana dalam Qanun No. 11 Tahun 2002 yang menyangkut aqidah, ibadah dan syiar Islam dan Qanun No. 7 Tahun 2004 merupakan hal yang bersifat pribadi yang termasuk dalam perbuatan yang diwajibkan/dilarang dalam agama Islam. Sedangkan perjudian, pemerkosaan dan mengonsumsi yang memabukkan yang telah dimuat dalam Qanun merupakan perbuatan pidana yang telah dimuat dalam KUHP.

Peradilan Syariat Islam di Provinsi Aceh merupakan peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama yang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan Agama, sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh diperluas yang mencakup kewenangan menyelesaikan perkara jināyah. Dalam Pasal 51 Qanun Provinsi Aceh Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam dijelaskan ”Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 50, Mahkamah dapat diserahi tugas dan kewenangan lain yang diatur dengan Qanun”.

Kewenangan tersebut terus bertambah seiring dengan lahirnya qanunqanun baru tentang kewenangan Mahkamah Syar’iyah. Namun demikian Syari`at Islam yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah sebagai peradilan Syari`at Islam, tetap dibatasi yakni harus dalam bingkai hukum nasional, sekalipun dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Daerah Aceh dinyatakan bahwa qanun daerah dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan.

Sebenarnya kendatipun tugas dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah semakin bertambah seiring dengan bertambahnya qanun yang disahkan oleh pemerintahan Aceh, namun kewenangan tersebut masih dalam batas tertentu sesuai dengan yang diatur dalam Qanun Provinsi Aceh. Di satu sisi dengan lahirnya pengadilan khusus ini dapat membawa perubahan dalam penegakan hukum sesuai dengan syariat Islam, namun di sisi lain kewenangan yang bisa dijalankan masih dalam batasan tertentu. Begitu juga dalam hal penerapan kaidah atau asas “lex specialis derogat lex generalis” artinya aturan yang khusus dapat mengalahkan atau mengenyampingkan aturan yang umum, ini kenyataannya belum sesuai dengan asas buktinya dalam kasus kasasi yang diajukan dari Mahkamah Syar’iyah, keputusan hakim agung sangat bertolak belakang dengan putusan hakim tinggi dan hakim di tingkat pertama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun