Mohon tunggu...
Annisa Nur Rahmah
Annisa Nur Rahmah Mohon Tunggu... Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kewenangan Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar'iyyah di Nanggroe Aceh Darussalam

4 Oktober 2025   07:19 Diperbarui: 4 Oktober 2025   07:19 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

1. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syari’ah Islam Bidang ’Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam. Dalam Qanun ini ada lima macam perbuatan yang dipandang sebagai jarīmah (tindak pidana) yakni:

  • Penyebaran paham atau aliran sesat (bidang ‘aqidah).
  • Tidak shalat jum’at tiga kali berturut-turut tanpa ‘uzur syar‘ī (bidang ibadah).
  • Menyediakan fasilitas/peluang kepada orang Muslim yang tanpa ‘uzur untuk tidak berpuasa (bidang ibadah).
  • Makan dan atau minum di tempat umum pada siang hari Ramadhan (bidang ibadah).
  • Tidak berbusana Islami (bidang syi’ar Islam).

2. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Larangan Khamar dan Sejenisnya.

3. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Maisir (judi).

4. Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Larangan Khalwat (mesum).

5. Qanun Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, juga terdapat beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai jarīmah (tindak pidana) yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah mengadilinya. Perbuatan dimaksud adalah sebagai berikut:

  • Tidak membayar zakat setelah jatuh tempo.
  • Membayar zakat tidak menurut ketentuan yang telah ditentukan.
  • Memalsukan surat Baitul Mal.
  • Melakukan penggelapan zakat atau harta agama lainnya.
  • Petugas Baitul Mal yang menyalurkan zakat secara tidak sah. 

Keseluruhan hukum pidana Islam yang terdapat dalam ke Lima Qanun tersebut di atas dapat dikelompokkan kepada dua macam, yaitu:

     a). Hudūd.

Hudūd merupakan hukum pidana yang sudah jelas bentuk dan ukurannya. Mengingat hudūd ini telah jelas hukumannya, baik bentuk maupun ukurannya maka hakim tidak punya kebebasan lagi untuk menemukan hukum lain, dalam hal ini hakim hanya memiliki kewenangan berijtihad untuk menetapkan “apakah tindak pidana itu benar telah dilakukan, atau pun tidak”. Bila ini telah jelas dilakukan maka ḥudūd tinggal mengambil hukuman yang telah tersedia untuk itu. 

Sejalan dengan ketentuan ḥudūd seperti dikemukakan di atas, Aceh telah menetapkan beberapa kasus ḥudūd, antara lain tentang “mengkonsumsi khamar” (minuman keras) dan sejenisnya, dengan sanksi hukuman cambuk sebanyak 40 kali. Hal ini bukanlah atas dasar hasil pemikiran para pakar hukum pemerintah Aceh dalam menetapkan hukumannya berupa hukum cambuk sebanyak empat puluh kali, tetapi berupa ketentuan Allah SWT yang harus diikuti, karena penentuan hukuman seperti ini telah tegas tercantum di dalam nash syari’at Islam. Dengan demikian para pelaku hukum dalam Pemerintah Aceh tinggal mengambil, menetapkan, dan melaksanakannya saja. 

     b). Ta‘zīr.  

Mengenai ta‘zīr adanya kebebasan hakim untuk menentukan hukuman, maka kesempatan hakim berijtihad untuk menentukan apa hukuman yang akan ditetapkan bagi pelakunya, dan bagaimana cara pelaksanaannya sangat besar. Dengan demikian, kejelian hakim untuk menentukan hukum yang akurat dalam hal ini sangat diperlukan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun