"Carilah usaha yang sesuai dengan passion-mu."
 Kalimat itu terus terngiang di kepala saya. Setelah lebih dari 20 tahun berkarier di dunia pendidikan, saya mulai bertanya pada diri sendiri: apakah saya akan tetap di jalur ini selamanya? Apa yang akan saya lakukan setelah pensiun? Apakah saya akan berhenti berkarya dan menjadi penonton hidup saja?
Saya adalah seorang ibu sekaligus pendidik. Sejak remaja, saya sudah aktif mengajar anak-anak di Sekolah Minggu, dan profesi ini berlanjut hingga saya menyelesaikan studi pendidikan. Meski dunia pendidikan sudah seperti rumah kedua bagi saya, jauh di lubuk hati saya pernah bercita-cita menjadi seorang psikolog. Saya suka mengamati perilaku anak-anak, memahami fase tumbuh kembang mereka, dan mendampingi mereka dalam proses menjadi pribadi utuh.
Sayangnya, jalan menuju cita-cita itu tak semulus harapan. Saya gagal masuk jurusan Psikologi di universitas negeri. Tapi saya tak menyerah. Saya memilih kuliah di bidang pendidikan, yang di dalamnya juga memuat aspek psikologi anak. Dan ternyata, saya jatuh cinta pada dunia mengajar. Profesi ini memberi ruang untuk saya berkomunikasi, berbagi, dan belajar terus menerus.
Namun, seiring waktu, saya ingin punya ruang baru; ruang yang bisa menampung semua passion saya: komunikasi, psikologi, dan pendidikan. Maka saya mulai melirik dunia podcast.
Dari Cita-cita ke Aksi
Langkah pertama saya adalah belajar. Saya menyelami podcast-podcast di YouTube dan Spotify, mempelajari gaya para host, tema yang mereka angkat, dan cara mereka membangun koneksi dengan pendengar. Saya pun memiliki podcaster idola, dari mana saya belajar pentingnya personal branding, termasuk menyusun kalimat pembuka dan penutup khas agar pendengar bisa mengenali identitas saya.
Saya mengajak anak saya untuk mendesain cover podcast yang mencerminkan kepribadian saya. Kami pun memilih nama acara yang unik dan mudah diingat, yang sekaligus menjadi nama akun media sosial saya. Rasanya seperti mewujudkan mimpi kecil menjadi nyata.
Tema pertama saya adalah tentang liburan yang produktif, karena saat itu bertepatan dengan masa liburan sekolah. Saya memilih topik-topik ringan seputar pendidikan, parenting, dan finansial, hal-hal yang saya kuasai dan saya alami sendiri.
Tantangan di Balik Layar
Tentu saja perjalanan ini tidak mulus. Kendala teknis paling menyulitkan adalah saat perekaman. Saya sering kesulitan menyelaraskan latar musik dan suara, atau menyunting bagian yang kurang perlu. Beberapa kali saya harus merekam ulang karena suara terdengar tidak natural. Untungnya, anak saya dengan sabar membantu saya belajar menyunting dan mengevaluasi hasilnya.
Tantangan lain adalah menjaga gaya bicara agar tetap hidup, menyatu dengan emosi, tapi tidak berlebihan. Saya ingin pendengar merasa seperti sedang mengobrol, bukan mendengarkan ceramah.