Mendekap erat guci keramik di dada,
Perahu motor melaju, ombak menderu,
Sejurus pandang menyapu nuansa biru,
Adakah belahan jiwamu menanti di sana?
******
Angan melayang ke setengah abad lalu,
Oh, bukan, sebelas lustrum tepatnya,
Putri semata wayang, usia tiga minggu,
Menangis dalam dekapmu, tanpa daya.
******
Sendu suaramu kembali menggema di dalam hati,
Kisah pilu ayah yang -- kata mereka -- dimutilasi,
Setelah dianiaya, meregang nyawa, nuansa biru jadi saksi.
******
"Apa salah Ayah, Bu?" tanya putri tak mengerti
Tajam suaramu, laksana pedang, menikam hati
"Terlalu percaya sahabat, difitnah dan dikhianati"
Jakarta, 29 September 2020
Siska Dewi
Sehari menjelang peringatan 55 tahun tragedi kemanusiaan di negeri tercinta, puisi ini ditulis untuk mengenang para korban yang tak bersalah. Dengan doa semoga mereka kini hidup bahagia di surga, di mana tiada marah, tiada benci, tiada dendam, tiada kecewa, tiada air mata.Â