Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menuju Negara Gagal

8 Oktober 2012   01:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:06 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menuju Negara Gagal

Oleh : Anjrah Lelono Broto*)

“Ketegangan antara Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai sudah sampai pada tingkat yang tidak bisa ditoleransi. Pemimpin kedua lembaga itu seharusnya mempunyai kepekaan terhadap kondisi korupsi di Indonesia yang sudah pada tahap darurat”.

(Hadjriyanto Y Thohari, Wakil Ketua MPR, (Kompas, 8/10/2012).

The Fund For Peace dan majalah Foreign Policy adalah dua institusi yang senantiasa mengeluarkandaftar negara-negara yang dianggap ‘gagal’ dalam penyelenggaraannya. Daftar hitam negara-negara bermasalah tersebut lazim disebut sebagai Failed State Index. Kian tinggi peringkat suatu negara dalam daftar hitam tersebut makan kian dekat status negara tersebut sebagai Negara Gagal. Daftar hitam tersebut membagi-golongkan 177 negara di dunia ke dalam empat kategori Negara Gagal, yaitu posisi Waspada (Alert), dalam Peringatan (Warning), Sedang (Moderate), dan Bertahan (Sustainable).

Dalam kurun waktu 2005-2010, Indonesia senantiasa duduk manis di deretan kursi ”Peringatan” Negara Gagal. Kursi ini dekat jaraknya dengan kursi ”Waspada” Negara Gagal ketimbang dengan kursi ”Bertahan”. Bahkan, dua tahun terakhir ini, Indonesia belum juga pindah pantat ke kursi “Sedang” menuju Negara Gagal.

Adalah sebuah keprihatinanyang tak terpungkiri ketika Indonesia sukses turun pantat selama periode 2007-2009 (dari urutan ke-55 di tahun 2007, menjadi ke-60 di tahun 2008, dan ke-62 di tahun 2009) justru naik pantat lagi di tahun pertama periode kedua Pemerintahan SBY. 2010, Indonesia naik pantat satu tingkat kursi menjadi urutan ke-61. Begitu lagi, di tahun 2011 peringkat Indonesia naik pantat lagi menjadi urutan ke-58. Apabila di tahun ini, ‘Daftar hitam’rilisan The Fund For Peace dan majalah Foreign Policy memberikan kursi yang semakin mendekati status Negara Gagal bagi Indonesia maka sekian jargon yang dihembuskan pemerintah hanya tinggal kepulan asap yang tertiup angin, alias omong kosong.

Apabila rilisan dua institusi di atas begitu menentukan harga diri dan masa depan sebuah Negara, kira-kira elemen-elemen apa yang menjadi materi parameter penilaian mereka? Lalu, bagaimana wajah realitas elemen-elemen tersebut di Indonesia?

Daftar hitam ini menempatkan 12 elemen yang menjadi pijakan penilaian negara-negara di dunia. 12 elemen tersebut dikelompokkan lagi ke dalam faktor sosial, ekonomi, dan politik. Sebagai bocoran sederhana, faktor sosial yang mengarah pada Negara Gagal, di antaranya adalah membumbungnya kualitas dan kuantitas arus migrasi warganegara ke luar dengan dengan berbagai motif sosial, seperti pendidikan, lapangan kerja, keamanan, dll. Sedangkan faktor ekonomi yang menggiring pada status Negara Gagal, meliputi, kesenjangan tingkatan ekonomi, menurunnya daya beli, buruknya iklim investasi, dll. Terakhir, faktor politik, mencakup, kriminalisasi lembaga negara, delegitimasi negara, memburuknya pelayanan publik, faksionalisasi elite politik, intervensi negara, serta institusi asing. Dalam konteks ini adalah lembaga-lembaga keuangan internasional, maupun Non Governmental Organization (NGO) asing.

Ketika kita sekilas memahami elemen-elemen parameter penyusunan daftar hitam tersebut, maka secara jujur, dapat kita lihat betapa negara kita memang menunjukkan grafik perkembangan yang menurun. Di ranah sosial, pertumbuhan penduduk dan arus buruh migran benar-benar tak bisa dikendalikan oleh negara. Ketika moratorium tenaga kerja Indonesia (TKI) menjadi pilihan instant untuk menjawab permasalahan gagapnya perlindungan TKI di luar negeri, maka kebijakan ini menjadi potret ketidakmampuan negara mengendalikan hasrat warganegaranya menjadi buruh migran.

Di ranah ekonomi, negara kita dihiasi dengan pemandangan berupa melebarnya jurang kesenjangan tingkat ekonomi, bayangan gelap melambungnya harga-harga kebutuhan pokok yang menjadi entitas kemunduran ekonomi sebuah negara, tidak terkendalinya cadangan pangan, serta melonjaknya angka pengangguran. Lagi-lagi kebijakan yang ditelurkan pemerintah kita juga berkarakter instant. Lebarnya jurang kesenjangan tingkat ekonomi ditutup dengan Jamkesmas, Jamkesda, PKH, PNPM, dan banyak lagi lainnya. Sedangkan melambugnya harga kebutuhan pokok cukup ditambal dengan operasi pasar yang sifatnya insidental. Problematika cadangan pangan tanah air juga bernasib sama, wilayah pertanian yang seharusnya disentuh dengan kebijakan yang benar-benar menyentuh, justru dihindari dan diganti dengan sederet kebijakan impor yang menyedot APBN dan menguntungkan pihak decision maker transaksi impor tersebut. Tingginya angka pengangguran pun tidak coba diseleseikan dengan upaya meningkatkan iklim investasi berperforma menyedot tenaga kerja yang berpijak pada konteks kewilayahan dan enterpreneur. Namun justru dijawab dengan membedaki sekolah-sekolah kejuruan yang justru hanya akan menciptakan tenaga kerja yang siap menjadi buruh di perusahaan X dan Y

Jika kita berefleksi tentang muasal lahirnya kebijakan-kebijakan instant seperti di atas maka kita akan menemukan jawabannya pada kronologi lahirnya decision makers negara kita hari ini. Decision makers negara kita hari ini lahir dari kelindan politik yang kotor, dan beraroma hewani. Sebut saja istilah ‘politik dagang sapi’, ‘cicak’, ‘buaya’, ‘kerbau’, ‘piranha’, dsb yang menjadi pilihan untuk menyebut diri atau lawan politiknya.

Di ranah politik, realitas kriminalisasi lembaga negara (semacam KPK dan Satgas Mafia Hukum) dan keterlibatan pejabat negara dalam tindak kriminal yang semakin menjadi pemandangan lazim di tanah air. Memburuknya pelayanan publik nampak dari kurang tertatanya transportasi umum dan sarana publik lainnya. Memburuknya kinerja pemerintah juga terlihat dari merebaknya fakta tentang kebangkrutan APBD beberapa daerah tingkat dua di tanah air. Sedangkan, faksionalisasi elite terlihat dari terjerumusnya elit politik tanah air dalam dikotomi Sekretariat Gabungan Koalisi Partai Politik Pendukung Pemerintah (Setgab) vs non-Setgab, bahkan serta konflik internal Setgab.

Negara gagal dicerminkan ketidakmampuannya mengorganisasikan aparatur negara secara efektif, yang mengarah pada kebalauan politik (political disorder). Hal itu ditandai dengan ketidakjelasan otoritas politik, ketidakefektifan administrasi publik, dan meningkatnya angka korupsi. Hukum tidak bisa ditegakkan, ketertiban umum tidak bisa dipelihara, kohesi sosial membusuk, keamanan sosial tereliminasi, dan yang semuanya bermuara pada pudarnya legitimasi negara beserta semua infrastrukturnya (Peter Burnell dan Vicky Randall, 2008)

Negara gagal juga ditandai disfungsi lembaga-lembaga negara dan demokrasi sebagai entitas asasi eksistensi negara. Fenomena ini berimbas negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan politik, ekonomi, dan sosial yang sehat. Disfungsi lembaga-lembaga negara menjadi habitat subur bagi korupsi, kolusi, dan nepotisme yang meyakinkan bahwa delegitimasi negara adalah keniscayaan.

Deskripsi negara gagal, baik versi The Fund for Peace, majalah Foreign Policy, maupun Burnell dan Randall, nampaknya adalah sebuah realitas bagi Indonesia hari ini. Jikalau fenomena ini masih diingkari, terutama oleh kalangan birokrasi di lembaga-lembaga negara, maka Negara Indonesia tinggal sebuah legenda adalah peristiwa yang besar kemungkinan terjadi.

Semoga tidak.

************

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun