Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Politik

INTELEKTUALITAS DALAM BIROKRASI (Ada Apa dengan Dicky Chandra, AADDC?)

15 September 2011   03:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:57 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

INTELEKTUALITAS DALAM BIROKRASI

(Ada Apa dengan Dicky Chandra, AADDC?)

Oleh Anjrah Lelono Broto *)

"Kalau bicara tidak sejalan, bisa jadi. Artinya, tidak sejalan itu kan tidak selalu berarti salah satunya buruk atau salah satunya salah. Bisa jadi dua-duanya benar tapi tidak cocok."

.       (Wakil Bupati Garut Dicky Chandra, JPNN, 09/09/11)

Sepenggal dialog di atas adalah kalimat yang dilontarkan Dicky Chandra saat dicegat wartawan usai bertemu Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan (07/09). Meski bernada diplomatis, namun inilah alasan singkat yang dilontarkan Dicky Chandra ketika dirinya memutuskan untuk mengundurkan diri dari kursi jabatannya selaku wakil bupati.

Adalah sebuah kemahfuman kita bersama bahwa ketidakcocokan, sebagaimana yang diungkapkan Dicky Chandra di atas, umumnya dilatarbelakangi oleh perbedaan logika berpikir dan bertindak. Sementara logika tersebut berpijak pada latar belakang lingkungan perkembangan diri, intelektualitas, relijiusitas, serta beberapa aspek lain. Artinya, perbedaan antara logika Dicky Chandra dan Bupati Aceng menjadi causa melayangnya surat pengunduran diri tersebut.

Birokrat acapkali mengeluh karena posisinya di dalam gerbong birokrasi menghalangi spirit untuk mengembangkan intelektualitas pribadi. Beberapa teman birokrat penulis, secara jantan, mengakui bahwa tuntutan kinerja teknis-pragmatis memaksa mereka bermutasi menjadi cyborg (cybernetika organism), berwujud manusia namun berbatin piranti birokrasi. Sesuatu yang menjadi prinsip kediriannya dimusnah-lantakkan, berganti dengan prinsip kemapanan kekuasaan.

Menurut penulis, sistem dan kultur  yang berkembang di lingkungan birokrasi menjadi alasan utama lahirnya keluhan-keluhan di atas. Sistem dan kultur tersebut menempatkan pribadi birokrat sebagai bagian tak terpisahkan dari gerbong birokrasi. Padahal, pengembangan intelektualitas pribadi berpotensi melahirkan pemikiran dan atau lakuan yang tidak merepresentasikan kepentingan kolektif birokrasi. Dengan kata lain, pengembangan intelektualitas pribadi sama halnya dengan pengkhinatan kolektifitas birokrasi. Pandangan minor inilah yang sekarang tersemat di wajah Dicky Chandra, dirinya dianggap tidak mampu mempertahankan kolektifitas dirinya dengan Bupati Aceng, yang mana merepresentasikan birokrasi Kabupaten Garut.

Pertanyaan saya, benarkah birokrat tidak mungkin menjadi intelektual yang baik? Dan intelektual yang baik tidak mungkin menjadi birokrat yang baik?

Untuk menemukan jawabannya, penulis menggunakan dua perspektif (accendunt duo). Pertama, intelektual yang baik menjadi birokrat yang baik adalah kemustahilan, mengingat perbedaan karakter yang mendasar. Intelektualitas menggunakan idealisme dan moralitas sebagai roh logika berpikir maupun bertindak. Karakternya yang independen membuatnya terjaga dari kontaminasi virus-virus kekuasaan. Citraan maupu posisi sosial hanya menjadi kerikil tajam yang terhempas dan terputus dalam benak intelektualis, mereka hanya memusatkan diri pada dinamika perubahan sosial ke arah yang lebih baik.

Daya intelektualitas seorang intelektualis diuji oleh realitas empiris. Antonio Gramsci mengkonseptualisasikan sebagai intelektual organik, yakni intelektual yang tidak tercerabut dari basis massa dan mengarahkan segala daya untuk proses humanisasi masyarakat. Imbasnya, pribadi seperti ini wajib hukumnya menjaga jarak dengan lingkaran birokrasi. Meski, kesunyian dan keteralienasian merupakan keniscayaan, sebagaimana perjalanan hidup Tan Malaka.

Dari sisi yang berbeda, Hannah Arendt dalam Teori Tindakan-nya menyatakan bahwa birokrat adalah ‘pekerja’. Pandangan Arendt ini memposisikan birokrat sebagai perpanjangan tangan kekuasaan semata.

Pandangan Arendt di atas menjumpai titik temu pada wajah birokasi di tanah air. Mengingat, sejarah birokrasi di negeri diawali pamong praja ciptaan pemerintah kolonialis Belanda yang berfungsi menjadi komprador pada sistem sosial kolonialistik kala itu. Pamong praja diciptakan hanya menjadi elit bukan vanguard yang berjarak dengan publiknya. Artinya,  birokrasi dan penguasa adalah penumpang dalam satu gerbong, sedangkan publik (rakyat) merupakan the other yang diperlakukan sesuai dengan kepentingannya.

Oleh sebab itu, sistem dan kultur yang berkembang dalam birokrasi yang demikian melahirkan birokrat berparadigma-berperilaku pelayan penguasa.  Akibatnya, meski terjadi perubahan struktur sosial politik tidaklah serta-merta diikuti dengan robohnya sendi-sendi feodalistik yang melekat pada  sistem dan kultur di lingkungan birokrasi.

Sistem dan kultur birokrasi semacam ini merupakan ‘area tidak nyaman’ intelektualis. Sekali pun dirinya berani melawan arus maka besar kemungkinan dirinya akan termarjinalkan, diksi yang sering digunakan dalam lingkungan birokrasi kepolisian tanah air adalah di’susnoduaji’kan.

Kedua, adalah keniscayaan bahwa seorang intelektualis yang baik juga mampu menjadi birokrat yang baik. Intelektualitas merupakan kualitas individu, sedangkan birokrat hanyalah fungsi sosial semata. Artinya, di antara keduanya tidak ada sebuah motif untuk saling meniadakan. Apabila, ada seorang individu yang memiliki kemantaban kualitas intelektualitas maka sebrengsek bagaimanapun dunia birokrasi yang digelutinya tidak akan mampu membuat logika dirinya bermutasi.

Pandangan yang kedua ini menemukan validitasnya pada figur-figur yang tidak terjangkiti sumirnya intelektualitas meski bergelut di dunia birokrasi, di antaranya adalah Buya Hamka, K.H Wahid Hasyim, dll. Dalam perspektif kedua ini, seorang intelektualis tidak ditabukan menjadi bagian dari dunia birokrasi. Justru eksistensinya dalam dunia birokrasi akan memberikan nilai lebih. Intelektualis seperti figur-figur di atas justru akan menggunakan birokrasi sebagai media mengejawantahkan imajinasi sosialnya dan bukan tujuan fungsi sosialnya.

Paparan singkat ini dapat menggiring kita pada simpulan bahwa Dicky Chandra merupakan figur intelektualis yang memilih perspektif kedua. Dunia showbiz yang menjadi latar belakang intelektualitasnya menjadi pijakan kuat mengapa dalam paruh waktu masa jabatannya PAD Kabupaten Garut dari sektor Pariwisata merangkak naik.

Andaikata Dicky Chandra merupakan figur intelektualis yang hanya menempatkan birokrasi sebagai tujuan fungsi sosialnya maka besar kemungkinan dirinya tetap bertahan dalam lingkungan birokrasi Kabupaten Garut, meski ada ketidakcocokan. Andaikata Dicky Chandra merupakan figur intelektualis yang menempatkan birokrasi sebagai media pengejawantahan intelektualitasnya maka dirinya memilih mengundurkan diri. Mengapa? Ketimbang ketidakcocokan di antara dirinya dengan Bupati Aceng –sebagai representasi birokrasi- justru hanya akan mengganggu kinerja birokrasi dan merugikan publik (rakyat) Kabupaten Garut.

Benarkah itu? Jawabannya akan terbetik dari mau-tidaknya Dicky Chandra mencabut surat pengunduran diri tersebut.

****************

Dimuat di Harian RADAR SURABAYA

Edisi Sabtu, 10 September 2011

Top of Form

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun