Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ibu Polwan di Masjid Bintang

15 September 2011   04:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:57 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ibu Polwan di Masjid Bintang *

Oleh : Anjrah Lelono Broto **

Mojokerto, 28-08-2011, 11.14 WIB

Tepukan halus menyentuh pundakku. Aku paham isyarat itu, karena lenganku sendiri juga mulai terasa ngilu. Aku paham isyarat itu, serta merta kukurangi kecepatan motor. Mataku mulai nyalang memperhatikan pinggiran jalan. Itu isyarat dari istriku, mengharap aku menghentikan perjalanan barang sejenak. Besar kemungkinan istriku sudah merasa lelah.

Siapa juga yang tidak merasa lelah? Panasnya matahari seakan menjadi kerabat dekat Iblis untuk menggoda umat-Nya yang sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Seakan-akan ada persekongkolan jahat antara Iblis dengan panas matahari.

Eh, mengapa juga aku su’udzan pada panas matahari-Nya? Astaghfirullah

Salah satu resiko yang harus kami terima karena menjadi miskin adalah terpisah dari orang-orang yang kami cintai, keluarga kami. Lebaran tahun ini, sebagaimana lebaran tahun-tahun sebelumnya, tubuh dan bawaan kami sekeluarga harus menjadi beban yang tak tertolak motor kami.

Dalam semangat untuk terus menyambung tali silahturakhim, kami bersama saudara-saudara senasib-seperjuangan membelah aspal jalanan lintas kota berbaris dalam satu bendera; pemudik.

Tepukan itu mendarat lagi. Aku mengangguk. Pandanganku menabrak sebuah bangunan pos peristirahatan yang berlogo kepolisian. Ekor mataku mengutip kata ‘bintang’ setelah kata ‘Masjid’. Ternyata, pos peristirahatan yang didirikan oleh kepolisian tersebut diberi nama “Masjid Bintang”. Tanganku memberi isyarat balasan kepada istriku, kita berhenti di sini.

Aku tak tahu bagaimana rona wajah istriku, ku harap dia menyetujui kami berhenti melepas penat sejenak di tempat itu.

Senyuman hangat menyambut, “Selamat siang.. dari mana, mau kemana, Pak?” seurai sapaan halus mengalir dari seorang bapak-bapak polisi saat motor kami kumatikan mesinnya di halaman sebuah masjid yang kelihatannya juga berfungsi sebagai parkiran pos peristirahatan tersebut.

Istriku dengan susah-payah turun dari motor kami, ku lirik anak kami digendongannya sedang tidur. Alangkah nikmatnya menjadi balita. Udara sepanas ini, tekanan keadaan seperti ini, tak menjadi alasan penolak untuk bisa tidur nyenyak.

Ku balas senyuman itu dengan lelehan keringat di dahi, di kening, di pipi, beberapa tetesnya jatuh ke bumi. “Madiun, Pak. Mau ke Surabaya,” jawabku.

“Mudik kok malah ke Surabaya?” aku tahu itu hanya basa-basi, namun kuhargai bahasa sapaan kemanusiaan itu.

“Yah, nyonya kan Arek Suroboyo.”

Monggo, silahkan,” tangan bapak-bapak Polisi itu memberi tanda mempersilahkan kami masuk ke dalam pos, yang selanjutnya kutahu bernama Masjid Bintang.

*****

Mojokerto, 28-08-2011, 11.26 WIB

Alhamdulillah

Ngilu yang beberapa saat lalu kurasakan di lenganku mulai berkurang. Ku lihat, wajah istriku juga nampak sedikit mencerah. Denyutan segarnya kembali mengisi wajah ibu dari anakku. Anakku sendiri masih terbenam dalam lelapnya. Istriku membaringkannya di sofa yang disediakan dalam Masjid Bintang ini.

Berkurangnya lelah di tubuh membuat aku memiliki lebihnya tenaga untuk lebih memperhatikan Masjid Bintang tersebut. Selain bapak-bapak polisi yang menyambut kami tadi, ada empat polisi lain dalam ruangan berdinding tripleks yang disulap mewah tersebut. Dua polisi seumuran bapak-bapak yang pertama, dan dua lagi adalah polwan yang nampaknya masih seumuran adikku. Mereka tampaknya santai, namun beberapa kali melakukan koordinasi melalui alat komunikasi mereka. Kira-kira itu namanya HT, entah apa kepanjangannya.

Salah seorang polwan menghampiri kami. Ku tahu nampaknya dia ingin mendampingi bapak-bapak polisi yang pertama menyapa kami tadi. Mungkin, dalam rombongan kami ada istriku dan anakku.

Dia mengawali sapanya dengan senyuman. Sungguh, manis sekali. Tiba-tiba anganku melayang pada waktu sepuluh atau mungkin lima belasan tahun yang lalu. Aku pernah melihat senyum semanis ini. Senyum polwan ini mirip-mirip dengan senyum satu perempuan dalam perjalanan hidupku.

Ach, kok malah melayang ke mana-mana. Astaghfirullah…. Astaghfirullah…. Astaghfirullah….

“Selamat siang, Mbak.. Capek ya?” sapanya pada istriku. Istriku hanya membagi senyumnya dan mengangguk. Alhamdulillah, alat di telinganya itu memang sungguh membantu.

Segera ku sadar kalau istriku tidak akan mampu membalas sapaan itu.

Maaf, Mbak eh… Bu… Eh…”

“Bu Verra,” sergahnya cepat.

“Maaf, Bu Verra, istri saya.. mmhhh…” saya memberi isyarat kepada Ibu Polwan ini bahwa istriku adalah tuna wicara. Pelan, kucoba sampaikan isyarat tersebut. Aku sendiri mencoba menjaga perasaan istriku.

Wajahnya ayunya sontak pias. Aku yang biasa melihat ekspresi seperti itu jika baru mengetahu kondisi istriku hanya tersenyum.

“Maaf, Pak.. Saya…”

“Bagus, ya, Bu..” mataku belagak memperhatikan keadaan Masjid Bintang tersebut, aku sengaja mengalihkan pembicaraan.

Ekor mataku menangkap kelegaan di wajah ayu ibu polwan tersebut. Aku juga menangkap kelegaan tersebut di wajah bapak-bapak polisi yang pertama menyapa tadi. Ketika salah seorang rekan memanggil, bapak-bapak polisi yang pertama menyapa tadi mengangkat tubuhnya dari sofa. Dia memberi isyarat pamit.

“Santai saja, Pak. Tunggu hingga capeknya benar-benar hilang…” pesannya sebelum beranjak.

“Makasih, Pak,” balasku.

*****

Mojokerto, 28-08-2011, 11.33 WIB

Beberapa waktu berlalu. Tak ada satu dua patahan kalimat di antara sofa-sofa dalam Masjid Bintang tersebut. Beberapa petugas polisi lain yang sebelumnya terdengar santai berbicara, saat ini nyaris tak terdengar. Hanya riuh lalu lalang motor dan mobil yang beredar di jalanan yang memenuhi gendang telinga kami, kecuali istriku tentunya.

Ibu Polwan tersebut kelihatannya masih terpengaruh awal percakapan kami yang mungkin di luar daya kiranya, sehingga tak sejumput pun kata yang mungkin basa-basi mengalir dari bibirnya.

Istriku memberi isyarat agar aku melakukan sesuatu. Aku tahu, istriku juga merasakan kebuntuan suasana ini. Aku yang senantiasa menjaga perasaan istriku agar jangan sampai apa yang ada pada dirinya menjadi sumber masalah, mencoba mencari celah, kira-kira aku bisa berbicara tentang apa dengan sosok polwan muda seusia adikku ini. Aku hanya seorang penjaga sekolah di sekolah pinggiran kota Madiun. Apa yang aku tahu tentang dunia kepolisian? Apalagi dunia polisi wanita?

Saat mata ibu polwan tersebut menumbuk anakku yang sedang terlelap di sofa Masjid Bintang, aku mendapat secercah celah.

“Putranya berapa, Bu Verra??” aku khawatir salah menyebut namanya, ku lirik nama di dada seragam coklatnya.

“Du.. Dua, Pak,” ada peranjatan. Namun, kulihat kebijakan akan profesi dan tanggung jawabnya segera membimbingnya menguasai diri. “Kalau bapak, baru satu, ya?”

“Iya, Bu. Belum berani nambah,” besar hasratku mencairkan suasana.

“Lho, mumpung masih muda, Pak. Memangnya kenapa nggak berani?”

“Takut, Bu. Takut nggak bisa memberi yang lebih pada anak-anak,” jawabku sekenanya. Aku pernah mendengar kalimat seperti ini diucapkan oleh Pak Salim, salah satu guru yang baru pengangkatan tahun kemarin. Kalimat ini diucapkan Pak Salim saat ditanya seorang wali murid soal berapa jumlah anaknya.

“Karunia kok ditakuti, sih, Pak..” tuturnya sembari membagi senyum.

Entah, ini sudah senyum ke berapa yang ibu polwan ini bagi pada kami. Alhamdulillah, di sengatan panasnya Ramadhan ternyata kami bisa menikmati baris-berbaris senyuman. Apalagi, dari sosok seorang aparat yang biasanya ‘dihindari’ di jalan raya ini.

Aku membalas senyumnya, dengan kecut. Andaikata, ibu polwan ini tahu berapa gaji seorang penjaga sekolah yang hanya bermodal ijazah SMA.

“Kalo Bu Verra berjaga di pos seperti ini, anaknya sama siapa, Bu?” luncurku seperti tak terpikirkan sebelumnya.

Mendadak senyum kecutku berpindah ke bibirnya, “ Kalau Kakak dengan embah-nya, adik dengan pembantu di rumah,” kutangkap ada rasa bersalah dalam kalimatnya.

Mase nggak sudah libur, to??” kejarku.

“Suami saya juga anggota, Pak. Berjaga di pos lain,” tanpa sadar alisku terangkat, tanda keterperanjatan. “Lebaran seperti ini justru membuat kami tidak bisa kumpul, Pak. Panggilan tugas,” senyum yang tidak kecut kembali terbagi.

Dadaku tiba-tiba terasa lega.

*****

Mojokerto, 28-08-2011, 12.32 WIB

Usai menjalankan shalat Dhuhur, aku, istriku, dan anakku yang sudah menyeleseikan lelapnya meninggalkan Masjid Bintang itu. Dadaku terasa lebih longgar, berbeda dengan sebelum melepaskan lelah di Masjid Bintang dan menikmati senyuman ibu polwan tersebut.

Alhamdulillah, Allah SWT memang punya banyak cara untuk mengingatkan hamba-Nya yang suka akan keluh-kesah sepertiku. Ternyata, di bawah teriknya sengatan matahari Ramadhan, aku masih bisa ditemani keluargaku tercinta. Berbeda dengan ibu polwan tersebut, demi panggilan tugas dia terpaksa tidak bisa membagi waktu dan dirinya utuh untuk keluarga. Bahkan, kami bersedia berjuang membelah aspal jalanan lintas kota ini juga semata demi bisa bersatu-bersama dengan keluarga. Sebuah ingin baik yang justru membuat orang lain, bapak-ibu polisi kita, tidak bisa bersatu-berkumpul dengan keluarganya.

Dimohonkan permaafan yang tulus lahir dan batin untuk kami, pemudik-pemudik negeri ini yang membuat Bapak-Ibu Polisi kita ‘terpaksa’ tidak bisa berkumpul dengan keluarganya.

Minal Aidin Wal Faizin…

--------ooo000ooo--------

Girilusi, Agustus 2011

* Dimuat di Rubrik Serambi Budaya RADAR MOJOKERTO, Minggu, 11 September 2011

** Awak Teater Kopi Hitam Indonesia (TKHI), Penjaga Gawang Talkhow Belajar Sastra di Radio SPFM.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun