Mohon tunggu...
Anjas Prasetiyo
Anjas Prasetiyo Mohon Tunggu... lainnya -

Belajar dari Anda Semua

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Teladan Kerukunan sebagai Pesona Pariwisata Pangkalpinang

7 September 2016   13:22 Diperbarui: 9 September 2016   09:00 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pekuburan Sentosa (sumber: mariana.my.co.id)

Tak disangka, tiba-tiba saya dibawa masuk ke sebuah komplek pemakaman. Bukannya takut, mata malah amat takjub melihat besarnya kawasan itu. Batu-batu nisan bertuliskan aksara Tiongkok terlihat sangat terawat, jauh dari tangan-tangan jahil. Selepas bertanya kepada pak sopir, baru tahu kalau nama tempat itu adalah pekuburan Sentosa, sebuah komplek pemakaman Tionghoa terbesar se-Asia Tenggara. Rupanya sopir saya yang berdarah Melayu itu ingin menunjukkan sisi lain dari kota Pangkalpinang.

Pemandangan itu sontak membangkitkan tanya di benak saya; bagaimana sebenarnya hubungan antara orang Tionghoa dengan orang Melayu di Pulau Bangka. Di tengah merebaknya kasus intoleransi suku dan agama yang terjadi akhir-akhir ini, Pangkalpinang merupakan potret yang berbeda. Di kota yang berpenduduk sekitar tiga ratus tiga puluh ribu jiwa tersebut, orang berlatar belakang berbeda bisa hidup berdampingan secara damai. Hal ini pun ditegaskan oleh sopir saya yang diangkat anak sejak kecil oleh sebuah keluarga Tionghoa dan tetap berhubungan baik hingga kini.

Mengapa teladan kerukunan dalam kemajemukan tersebut tidak tersiar ke seantero negeri? Saya pikir Indonesia butuh teladan kerukunan di atas kemajemukan agama, budaya dan suku bangsa. Dan, kota Pangkalpinang dapat memainkan peran tersebut melalui pariwisata untuk menebarkan pesan-pesan toleransi ke seluruh pelosok negeri. Di samping itu, industri ini juga sangat potensial untuk memajukan perekonomian masyarakat setempat.

Berbicara soal pariwisata, hal mendasar yang harus diperhatikan adalah potensi Pangkalpinang itu sendiri sebagai destinasi wisata. Untuk perkara ini, sebenarnya kota bermotto BERARTI (BERsih, Aman, Rapi, Tertib, dan Indah) ini punya banyak hal yang bisa ditawarkan kepada wisatawan. Mulai dari keindahan pantai pasir putih, birunya danau bekas galian penambangan timah, klenteng, gereja dan masjid tua, serta kuliner khas Bangka yang menggoyang lidah. Namun, ibarat berlian terpendam, semua keindahan tersebut belum banyak diketahui orang.

Lantas bagaimana potensi wisata tersebut dapat digarap?

Demi memajukan pariwisata, Pemerintah Kota Pangkalpinang harus bahu-membahu dengan masyarakat setempat untuk membuat ajang-ajang kepariwisataan agar dapat mendatangkan lebih banyak orang. Bila selama ini, orang hanya mengunjungi satu atau dua tempat menarik di kota Pangkalpinang karena rekomendasi penduduk asli kota itu. Maka hal ini perlu diubah; wisatawan harus didorong untuk datang ke Pangkalpinang karena tahu ada obyek unik dan ajang parwisata menarik yang diselenggarakan secara rutin di sana.

Pariwisata Pangkalpinang bisa dikemas dengan basis petualangan yang asyik. Wisatawan tak hanya diajak untuk melihat-lihat, namun juga mengalami dan merasakan kekayaan alam, agama, budaya serta tradisi masyarakat setempat. Tentunya, karena wilayah ini telah dikenal luas dengan kerukunan masyarakatnya, nuansa harmoni ini dapat dijadikan tema dalam setiap ajang pariwisata.

Tingginya toleransi agama masyarakat Pangkalpinang tercermin pada keberadaan rumah-rumah ibadah bagi pemeluk Islam, Katolik, Kristen, dan Kong Hu Chu yang telah berumur puluhan hingga ratusan tahun. Bagunan-bangunan tempat ibadah tersebut terdaftar sebagai cagar budaya kota Pangkalpinang karena kekunoan dan keunikan arsitekturnya. Oleh sebab itu, pantaslah kita menyambanginya selama berwisata di Pulau Bangka untuk mendapatkan wawasan baru.

Masjid Jami' Pangkalpinang (panoramio.com)
Masjid Jami' Pangkalpinang (panoramio.com)
Pertama, Masjid Jami’ Pangkalpinang. Didirikan pada tahun 1936, masjid ini memiliki arsitektur khas dengan dua kubah dan empat menara yang dibalut dalam warna hijau. Menariknya, jumlah tiang di dalam masjid melambangkan unsur keislaman. Enam tiang yang berada di depan menyimbolkan rukun iman, dan empat tiang utama melambangkan jumlah khulafaur rasyidin atau pemimpin umat Islam sepeninggalan Nabi Muhammad SAW.

Kedua, Kelenteng Kwan Tie Miau dibangun pada tahun 1841. Sebagai klenteng tertua, Kwan Tie Miau menjadi bukti kedatangan Suku Haka dari Tiongkok untuk mengadu nasib dengan menambang timah di Bangka. Klenteng ini bercat merah dan kuning, serta memiliki lingkaran hitam dan putih pada puncak atapnya sebagai perlambang keseimbangan (yin dan yang) serta pakua yang melambangkan, rejeki, keberuntungan, serta kebahagiaan. Klenteng ini selama ratusan tahun telah menjadi penyemangat warga Tionghoa untuk menggapai kehidupan yang lebih baik di Pulau Bangka.

Kelenteng Kwan Tie Miau (sumber: perwakilan.babelprov.go.id)
Kelenteng Kwan Tie Miau (sumber: perwakilan.babelprov.go.id)
Ketiga, Gereja Katedral Santo Yoseph yang dibangun tahun 1934 menyimpan sebuah cerita seorang katolik yang peduli pada kesehatan masyarakat Bangka. Ia seorang tabib berdarah Tionghoa bernama Tsen On Ngie (Zeng Aner) yang datang ke Pangkalpinang dari Penang, Malaysia. Tampil menawan dalam balutan warna putih, arsitektur Gereja Katedral Santo Yoseph sangat unik dengan unsur lengkung yang dapat ditemukan pada jendela dan altarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun