Mohon tunggu...
Anitya Wahdini
Anitya Wahdini Mohon Tunggu... Guru -

Alumnus Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Antropologi, angkatan 2001. Sempat mengenyam pengalaman menjadi jurnalis pada tahun 2006 sebelum akhirnya banting setir menjadi guru empat tahun kemudian. Kini aktif mengajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di salah satu SMA swasta di Bekasi. Buku yang telah diterbitkan: Perkawinan Sehat: Tips untuk Sang Dara, menulis bersama Dr. Endang R. Sedyaningsih-Mamahit, DR.PH (Menteri Kesehatan RI Kabinet Indonesia Bersatu II), diterbitkan oleh Dian Rakyat pada tahun 2012, dan novel Not an Angel, a Devil Perhaps, diterbitkan secara indie pada tahun 2013.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelangi Kelabu di Mataku

28 September 2016   11:55 Diperbarui: 28 September 2016   12:15 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada kenangan samar yang tersimpan dalam benakku. Kelas menggambar di Taman Kanak-kanak. Saat itu jemariku yang masih kecil menggenggam krayon biru dan kugunakan untuk mewarnai daun-daun di pepohonan. Krayon merah untuk memenuhi langit. Krayon hijau untuk menandai kokohnya batang pohon.

Jika saja aku melakukannya saat ini, mungkin aku akan dianggap sebagai anak jenius. Anak berbakat yang selalu berpikir di luar kotak. Thinking out of the box. Aku mungkin bahkan akan disebut-sebut sebagai penerus Picasso, Van Gogh, atau jangan-jangan malah Leonardo Davinci. Akan tetapi tidak jika mahakaryaku ini tercipta lebih dari sepuluh tahun silam.

Aku ingat Ibu Guru memandang kertas gambarku dengan tatapan aneh. Didorongnya kacamata tebal yang melorot ke pangkal hidungnya. Sedikit mengernyit, seolah tidak yakin akan apa yang dilihatnya. Hal yang terlintas di benakku kemudian adalah Ibu Guru berbicara dengan ibuku lama sekali. Aku menyanyikan lagu Bintang Kecil 20 kali, lagu Pelangi20 kali, dan lagu Burung Kutilang20 kali hingga akhirnya aku bosan menunggu sendirian di luar pintu kelas.

Pikiranku kemudian melayang pada pembicaraanku dengan Ibu saat aku sudah duduk di Sekolah Dasar. “Kau ini istimewa. Mungkin agak sedikit berbeda dengan teman-temanmu, namun tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dunia yang kamu lihat tetaplah sama,” kata Ibu seraya menyisir rambutku yang hitam panjang.

Lalu kemudian Ibu menjelaskan mengenai buta warna parsial. Rupanya aku merupakan perempuan langka yang terlahir ke dunia dengan kondisi “istimewa” itu. Dengan pemikiranku yang masih naif, aku terus saja menekuni dunia seni rupa. Mencintainya. Aku selalu senang menggambar. Itu adalah sebuah kesenangan dalam hidup yang tak akan pernah aku lepaskan.

*****

Jika ada istilah perempuan yang paling sial di dunia, mungkin aku termasuk di dalamnya. Betapa tidak, saat anak-anak seusiaku menggemari segala pernak-pernik Hello Kittyyang berwarna pink, aku tidak dapat memahami dengan pasti rupa warna tersebut dan mengapa ia sangat digemari.

Saat aku menggambar tokoh-tokoh animasi komik Jepang, macam Naruto atau Sailor Moon, teman-teman selalu berkomentar mengapa gambarku yang bagus itu tidak sesuai aslinya. Rambut karakter yang semestinya biru, kuwarnai hijau, kostum karakter yang semestinya cokelat, kuwarnai hijau muda.

Puncaknya, kini aku tengah duduk di bangku kelas 12 SMA, jurusan IPA, dan sama sekali tidak yakin dengan cita-citaku. Aku ingin sekali kuliah di ITB, Desain Grafis. Semua orang yakin dengan kemampuanku menggambar, begitu pula diriku sendiri. Menggambar, mendesain, mereka ulang objek adalah apa yang kuinginkan dalam hidupku kelak. Namun agaknya betapa pun aku lolos dalam setiap ujian tertulisnya, aku tidak akan pernah lolos dari ujian yang akan menjadi momok sepanjang hidupku. Tes buta warna.

“Mari kita bahas lagi mengenai cita-citamu, Sissy,” kata Ibu Susan, konselor sekolah. Hari ini adalah giliranku dipanggil Ibu Susan untuk membahas pilihan studi dan universitas setelah lulus SMA nanti. Kami berada di dalam ruang konseling yang sejuk dan nyaman di sudut sekolah.

Ibu Susan cukup peduli dengan urusan macam ini. Selain karena memang itu pekerjaannya, namun ada semacam dorongan dari dalam hatinya untuk membimbing anak-anak dalam melanjutkan kehidupannya di universitas. Sepertinya ia tidak ingin anak-anak salah langkah dalam menentukan studi dan masa depan. Semua harus sesuai dengan minat dan bakat. Tanpa paksaan sama sekali. Setidaknya itulah yang tergambar di mataku. Aku cukup mengagumi dedikasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun