Pagi tadi, beta olahraga ringan dengan berjalan kaki di kawasan Departemen Sosial, Bekasi. Tempat ini begitu membekas bagi masa kecil beta. Dulu, saat bulan ramadan khususnya di akhir pekan, tempat ini tidak pernah sepi mulai dari lepas shalat subuh hingga menuju jam berbuka. Satu hari sebelumnya, bersama teman-teman, beta sudah merencanakan niat untuk bisa jalan ke DepSos. Agar rencana berjalan lancar, tentu harus memakai strategi. Salah satunya adalah dengan menunggu orang rumah tertidur pulas. Dengan begitu, barulah dengan mindhik-mindhik, beta berhasil keluar pagar. Semuanya harus dilakukan dengan pelan-pelan. Sekalinya terdengar suara, buyar sudah. Untungnya sering berhasil walau sesekali gagal.Â
Saat itu, lebih baik diomeli setelah pulang ketimbang sama sekali tidak main. Mana belum ada handphone untuk bisa berkomunikasi. Walau ada telpon rumah, tapi tidak mungkinlah digunakan. Sudah pasti gagal sebelum bertempur karena suara bellnya begitu nyaring. Â Jadi, semua dilakukan dengan penuh hati-hati dan strategi. Kalau lama tidak keluar, mereka juga sudah tau kalau beta disuruh tidur karena ketauan mau kabur main. Jadi, harus pintar-pintar membaca situasi. Wah, sangat menyenangkan dan begitu seru mengenang masa kecil itu.Â
Baiklah, kita lanjut. Setiap kali berjalan ke DepSos, petasan korek sudah siap dalam genggaman. Bersama teman-teman, beta nongkrong ga jelas di pinggiran trotoar komplek DepSos. Di sana, banyak sekali orang lalu-lalang. Di sinilah keusilan beta memberontak. Setelah puas saling lempar petasan dalam perjalanan, saatnya ngerjain orang lain dengan melempar petasan ke mereka yang melintas. Habis itu, beta dan kawan tertawa dan siap berlari kalau mereka marah dan mengejar. Untungnya, kadar petasan korek ini tidaklah seberapa bahayanya. Hanya saja, bikin kaget. Sasaran kami ya anak-anak sepantaran juga sih sebenarnya. Jadi, dosa yang dipikul mudah-mudahan tidak masuk dalam timbangan. Amin!
Saat itu beta masih SD dan sinyal cuan mulai terdeteksi. Petasan korek inilah yang menjadi salah satu ladangnya. Hal ini berawal saat beta ikut Ibu pergi ke pasar baru. Di sana, beta lihat para pedagang dengan beragam petasan. Setiap melewati abang-abang penjual petasan, langkah kaki beta selalu terhenti. Beta coba melihat-lihat dan sengaja memberatkan jalan. Tapi, apalah daya. Beta hanya bisa terpana, sekadar berkhayal bisa bawa pulang petasan.Â
Di setiap sudut penjual petasan yang ditemui, lagi-lagi beta hanya bisa melihat, terhenti sejenak, dan jalan lagi. Dalam tiap perhentian, tangan beta selalu ditarik Ibu agar lekas berjalan. Meski beta menangis, beta tau kalau Ibu tak akan membelikannya karena sudah pernah begitu. Tapi, beta tak tinggal diam. Dalam suasana merajuk, beta tetap berpikir. Untungnya, beta sadar akan panjangnya sebuah akal.Â
Saat belanja di pasar tradisional, Ibu selalu menitipkan beta di tempat makan. Tujuannya biar tidak capek dan merengek. Kesempatan ini tentu beta manfaatkan untuk melipir ke abang-abang penjual petasan. Sekadar mau tau berapa harganya karena ya duit pun tak ada. Setelah tau harganya, beta segera balik lagi ke tempat di mana beta dititipkan Ibu. Sambil makan dan menunggu, beta hitung-hitung perbedaan harga petasan di sekolah dengan di pasar baru ini. Ternyata selisihnya lumayan. Kalau dijual ke teman dengan harga di bawah pedagang sekolah, tentu beta akan untung. Pastinya teman-teman akan beli ke beta langsung. Baiklah! untuk sementara, rencana ini beta pendam dulu. Ketika pulang, peluang tersebut selalu terngiang-ngiang. Modus selanjutnya adalah mengumpulkan uang untuk ongkos naik angkot dan beli petasan satu bonggol yang sepertinya berisi 50 buah petasan korek. Harganya beta lupa.
Ahay! Waktu yang dinantikan akhirnya tiba. Duit beta sudah terkumpul dan saatnya untuk memberanikan diri naik angkot sendiri. Setelah pulang sekolah, beta biasanya bermain. Beta ganti baju dan pergi seolah melipir ke rumah tetangga. Orang yang menjaga beta pun terkecoh dengan gelagat beta. Dengan suasana hati yang campur aduk, beta menuju ke pasar baru. Tidak mudah untuk bocah bepergian dengan kendaraan umum. Pasti akan banyak tanya dan cerita Ibu akan penculikan lumayan menghantui. Dengan wajah agak linglung, beta terus memandangi setiap jalan yang dilalui sambil mengingat-ingat tanda tempat ibu naik turun angkot.
Akhirnya sampai juga di pasar baru. Saat itu pasar tidak terlalu ramai. Mungkin karena sudah siang. Hal ini menguntungkan penglihatan beta yang hanya tertuju pada abang penjual petasan. Sesampainya di sana, beta pun berhasil membeli petasan korek, kiranya sebanyak dua bonggol. Saat itu beta beli langsung tanpa menawar. Ada perasaan takut juga berlama-lama di pasar. Setelah dapat, langsung beta mengarah ke terminal tempat ibu kembali naik angkot tempo dulu. Mendekati rumah, semakin campur aduk antara senang dan takut ketahuan membeli petasan. Tapi, akal memang terus memberi ruang. Beta sudah menyiapkan kaleng wafer di sebelah rumah yang saat ini memang kosong. Jadi, sebelum sampai rumah, beta pun memindahkan semua petasan ke kaleng tersebut. Dengan lalala yeyeye, beta peluk kaleng wafer, lalu masuk ke dalam kamar dan meletakannya di bawah kolong tempat tidur. Â Yes, rencana berhasil!Â
Senangnya tentu bukan kepalang. Setelah petasan berhasil diamankan, saatnya mendulang cuan. Setiap teman yang beta temui di sekolah dan di sekitar rumah, beta infokan tentang barang berharga ini. Mereka terheran-heran. Kok bisa beta punya banyak petasan bahkan jualan. Betapun kembali tertawa sembari mengingatnya. Dalam proses penjualan ini, tentu ada halangan dan rintangan. Mereka hanya bisa beli saat orang tua beta bekerja atau kalau diakhir pekan, saat tidur siang. Di sinilah aksi beta mendulang cuan. Begitu meneganggkan tapi tetap menggiurkan.Â
Dari hasil jualan petasan, usaha beta merambah ke menjual mainan gambaran, dan permainan lainnya. Beta memang suka bermain. Jadi, seringkali menang dalam berbagai permainan. Dari kemenangan itulah, beta jual sebagiannya. Alhamdulillah beta dianugerahkan kepandaian menyimpan uang sampai akhirnya bisa beli playstation sendiri. Saat itu, harga Games ini tidaklah murah. Sepertinya ini pencapaian tertinggi di kalangan bocil perumahan beta kala itu.Â
Namun, hal yang menurut beta prestasi, belum tentu disadari orang tua. Setelah berhasil membeli, pulang-pulang beta diomeli Ibu. Apalagi dia tahu kalau harga playstation ini cukup mahal. Untungnya darah minangkabau dari Ibu mengalir lebih banyak. Sesuai dengan plat kendaraannya yaitu BA, orang minang dikenal banyak akal. Hal inilah yang membawa banyak peluang dan keburuntungan dalam hidup beta. Saat itu, beta bilang, "kalau di rumah lagi ga ada orang, kan bisa disewain, Bu".Â