Era Angkutan Kota
Saya sudah tinggal di Soreang sekitar 26 tahun. Pada tahun 1999, tansportasi umum yang ada di Soreang hanya angkutan kota (angkot) yang melayani Soreang ke Leuwipanjang Kota Bandung dan angkutan kota yang melayani Soreang dengan wilayah belakangnya. Selebihnya ada delman dan beca untuk melayani masyarakat dalam skala kecil.Â
Di masa-masa awal tinggal di Soreang, saya relatif sering menggunakan angkutan kota untuk menjangkau kantor ataupun ke Kota Bandung. Apalagi saat itu pun belum memiliki kendaraan pribadi.Â
Banyak suka duka menggunakan angkot di kala itu. Kalau bicara dukanya mulai dari supir dan penumpang yang merokok di dalam angkot, supir ngebut, angkot ngetem lama, penumpang yang tidak mau geser tempat duduk, dan supir yang tetap "keukeuh"menerapkan angkotnya harus terisi 12 orang di belakang dan 2 orang di bagian depan.
"Tujuh lima, tujuh lima, tolong digeser bu". Itu teriakan khas para calo atau supir angkot jika sedang ngetem dan menaikkan penumpang.Â
Tidak peduli penumpangnya gendut-gendut, tetap saja harus diisi penumpang sejumlah 12 orang (7 orang di jajaran belakang supir dan 5 orang di jajaran pintu masuk. Alhasil penumpang harus berimpitan dalam angkot jika penumpangnya berukuran "besar".
Oh iya, kejadian yang hampir sama saya alami ketika masih tinggal di Kota Bandung dan harus mencapai kantor di Soreang dengan menggunakan elf jurusan Leuwipanjang - Ciwidey.Â
Tempat duduk di depan itu bisa diisi penumpang sebanyak dengan 3-4 orang, sampai-sampai sang supir "nyelempit" mepet pintu. Sayang jaman itu belum ada HP dan tidak ada dokumentasinya. Â Â Â Â
Menghadapi supir/penumpang yang merokok, saya sih gak mau ribut ya, lindungi diri saja dengan menutup hidung atau membuka jendela angkot. Daripada disuruh turun di tengah jalan, hehehe. Â
Banyak dukanya sih tapi suka nya juga ada. Jika kebetulan ketemu teman di angkot maka sering juga ongkos angkot "free" alias dibayarin teman.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!