Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebingkai Kisah di Bulan Ramadan

10 Mei 2019   07:47 Diperbarui: 10 Mei 2019   08:35 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ke enam tarawih, anak-anak masih setia datang ke masjid beramai-ramai. Apa lagi? Sebab buku kegiatan bulan Ramadan dari sekolah harus mendapat tanda tangan. Kalau bisa, selama satu bulan penuh. Itu akan menjadikan nilai plus di sekolah.


Setiap Ramadan tiba, anak-anak sudah dipastikan mendapat buku itu. Sebuah buku yang berisikan catatan-catatan kegiatan selama bulan Ramadan. Dan yang paling utama adalah tentang kegiatan Shalat Tarawih.

Seperti malam ini, aku dan beberapa kawan beramai-ramai mendatangi sebuah Masjid dekat rumah untuk menjalankan Shalat tarawih. Masih awal Ramadan, semua masih bersemangat. 

Meski di sela-sela Shalat ada beberapa teman yang merasa kecapaian, lalu beristirahat sejenak. Memotong beberapa rakaat dari dua puluh tiga rakaat yang biasa dikerjakan di masjid tempat kami Shalat. Dua puluh rakaat untuk Shalat tarawih, dan tiga rakaat untuk Shalat witir.

"Payah, baru sepuluh rakaat saja sudah kalah," ucapku mencibir Ida, salah seorang teman di sebelahku.


"Biar saja, suka-suka aku dong," balasnya sedikit tak terima.

Kami berisik untuk sejenak. Dan baru berhenti saat seorang ibu di belakang menegur. Susana di masjid memang penuh dengan jamaah yang datang, dan membuat gaduh sedikit saja adalah sebuah kesalahan. Sudah pasti kita akan mendapat teguran. 

Bahkan kadang beberapa anak yang sukar diomong seringnya mendapat sabetan dengan seutas lidi dari mereka yang lebih tua. Jelas saja, semua itu untuk mengatur ketertiban. Kami hanya boleh gaduh jika Shalat usai.

Dua tiga rakaat telah dikerjakan. Suara anak-anak berlarian ke arahku, menyerahkan buku kegiatan Ramadan mereka. Ya, aku memang selalu menjadi yang tertua, meski usiaku bukan yang paling tua. Mereka akan mengumpulkan buku mereka kepadaku sebelum kemudian buku itu kuserahkan pada imam masjid.

Setelah selesai ditandatangani, buku-buku itu akan diserahkan kembali kepadaku. Dan aku akan membagikannya satu persatu dengan menyebutkan nama yang tertera di sampul depan.

Selesai menandatangani buku Ramadan, barulah kultum dimulai. Kuliah tujuh menit, atau ceramah yang berdurasi sekitar tujuh menit setelah melaksanakan Shalat tarawih. Demi mendapat gambaran untuk kemudian dituliskan di buku kegiatan Ramadan, aku selalu menjadi pendengar yang baik. 

Dengan fokus aku mendengar ceramah yang dipaparkan oleh penceramah. Penceramah biasanya bukan imam masjid, ada seorang yang bertugas khusus untuk melaksanakan ceramah seusai Shalat tarawih.

"Apa tadi isi ceramahnya?"

Anak-anak bergerombol mendatangiku. Untuk apa? Jelas saja untuk menyontek hasil catatanku.

"Kalian tadi enggak dengar ceramah?" tanyaku sebal.

"Enggak," balas mereka serentak.

Aku memajukan sedikit bibir pertanda kesal.

"Aku tidak mau membagikan catatanku sama kalian!" tegasku.

Aku beranjak, berpindah tempat. Bersandar ke saka masjid. Setelah kultum selesai kami akan dibagikan jajanan dari pihak masjid. Makanan itu biasanya dikumpulkan dari warga dekat masjid secara bergilir. Dalam satu hari, ada beberapa keluarga yang mendapat gilir menyumbangkan makanan berupa makanan apa saja seikhlasnya. 

Makanan-makanan itu nantinya akan dibungkus dalam beberapa wadah plastik untuk kemudian dibagikan kepada jamaah yang datang dalam Shalat tarawih. 

Tetapi jelas saja, hanya untuk mereka yang benar-benar usai mengikuti serentetan kegiatan hingga kultum usai. Sebab seringnya, ada yang pulang hanya saat Shalat tarawih selesai, tanpa mengikuti acara setelahnya.

"Arini, ayolah," seru Ida. Diikuti oleh teman-teman lain yang juga tak mencatat rangkuman isi ceramah.

Suasana masjid menjadi gaduh. Terlebih bersamaan dengan anak-anak yang berebut jatah makanan. Begitu memang, sebab kalau kita diam, kadang-kadang tak kebagian karena kehabisan. Bagi kami, mendapat sebungkus makanan yang dibagikan seusai Shalat tarawih adalah suatu kenikmatan.

"Minggir sana," ucapku berontak saat anak-anak terus merayu untuk melihat isi rangkuman ceramah milikku.

Aku beranjak, mencoba menghambur ke arah mang Sholeh yang sudah datang membawa baskom berisi jajanan yang akan dibagikan.

"Aku mau mang," seruku kepada mang Sholeh.

Mang Sholeh langsung menyerahkan sebungkus jajanan ke tanganku. Dan aku berkali berontak kepada teman-teman yang masih juga tak henti menarik-narik ujung mukenaku.

"Tumben kalian enggak berebut jajanan? Ada apa ini?" suara mang Sholeh menghentikan aktivitas mereka. Semua diam.

"Itu mang, Arini enggak mau bagi-bagi catatan," cerita Ida.

"Catatan apa yang kamu maksud, Ida?" tanya mang Sholeh.

"Catatan hasil rangkuman ceramah tadi, mang," balas Dewi cepat sebelum Ida yang menjawab.

"Lah, memangnya kalian tadi enggak dengar isi ceramah?" tanya mang Sholeh.

"Enggak mang," balas Dewi dan Ida berbarengan dengan suara lirih.

"Mereka itu pemalas, mang. Setiap hari masa selalu menyontek hasil rangkumanku," ucapku mencibir.

"Kalian enggak boleh seperti itu. Kalian harusnya mendengar isi ceramah dan membuat rangkuman sendiri. Jangan selalu minta ke Arini. Selain kalian akan dapat mengisi buku kegiatan Ramadan, ilmu yang kalian dapat kan juga buat kalian sendiri," jelas mang Sholeh.

Anak-anak menunduk mendengar penjelasan dari mang Sholeh. Entah, mereka akan sadar atau akan tetap begitu, aku tidak yakin. Aku tersenyum sombong, mendengar mereka menunduk tak berkutik.

"Ya sudah, Arini, kamu bagi catatan kamu ke mereka untuk hari ini saja. Besok-besok kalau mereka seperti itu lagi bilang sama mamang," ucap mang Sholeh kemudian.

Dan aku, muka kesalku langsung muncul kembali. Bagaimana tidak? Enak sekali mereka selalu tak mau bersusah-susah untuk mendapat nilai lebih di sekolah.

Dengan raut kesal, aku menyerahkan buku kegiatan bulan Ramadanku ke Ida. Mereka tampak bahagia saat mendapat buku itu dariku. Dengan sigap menyalin isi catatanku di buku milik mereka. Sementara aku, aku masih dengan raut kesalku.

"Jangan cemberut begitu Arini. Tidak bagus bulan puasa marah-marah terus," ucap mang Sholeh.

"Iya mang," balasku malas.

"Ini, mamang kasih kamu dua bungkus lagi. Hari ini bungkusan ada banyak sekali. Sepertinya bakal ada sisa," ucap mang Sholeh sambil menyerahkan dua bungkus makanan berisi rengginang, kue naga sari, semprong, pisang, kerupuk, juga segelas air mineral.

Aku tersenyum menerimanya. Senang sekali rasanya mendapat jatah lebih.

"Sudah selesai anak-anak?" tanya mang Sholeh ke segerombol teman-teman yang tadi menyalin catatanku.

"Sudah mang," balas mereka serempak. Ida kemudian menyerahkan buku milikku.

"Hari ini Arini dapat tiga bungkus makanan. Nah, karena kalian enggak mau mencatat rangkuman isi ceramah sendiri, kalian hanya akan dapat satu-satu saja," seru mang Sholeh.

"Yah ...," keluh mereka serempak.

Aku yakin mereka iri padaku. Kulihat mang Sholeh dengan tertib membagi-bagikan jajanan ke mereka. Seorang hanya satu bungkus, seperti janjinya.

"Terima kasih ya, Arini," ucap Ida merangkul pundakku.

"Iya, terima kasih Arini," ucap yang lain bergantian.

Setelahnya, kami berjalan pulang beramai-ramai. Selalu ada hal dan kisah menarik saat bulan Ramadan. Jam sekolah yang berkurang beberapa jam dari biasanya, mengaji kitab dua kali dalam sehari di Masjid dekat rumah setiap siang dan sore menjelang maghrib, shalat tarawih, mengaji Al-Qur'an di ba'da Shubuh. Semua menjadi rangkaian acara yang menyenangkan bagi kami.

***

"Sedang apa kamu Arini senyum-senyum sendiri?" tegur seseorang mengagetkanku.

Aku tersentak. Lalu menjawab dengan sedikit tergagap.

"Ti ... tidak nyonya. Aku hanya ingat di rumah," balasku.

"Kalau kerja jangan sambil melamun," tegurnya lagi.

"Baik nyonya, maaf," balasku sambil menundukkan kepala.

Aku melanjutkan pekerjaanku. Menyapu dedaunan yang berserakan di halaman depan rumah majikan.

Kupikir yang tadi bukan lamunan, ternyata aku harus disadarkan bahwa aku sekarang adalah seorang pembantu berusia dua delapan bukan remaja berusia belasan.

Kaohsiung, 10 Mei 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun