3. Ijtihad Qiyāsī, yaitu menetapkan hukum baru dengan analogi pada hukum yang sudah ada karena memiliki kesamaan ‘illah.
Misalnya, penetapan hukum transaksi digital (e-commerce, e-wallet) diqiyaskan dengan akad jual beli konvensional karena sama-sama memiliki unsur kerelaan (tarādhī), objek (ma‘qūd ‘alayh), dan nilai ekonomi.
Peran dan Tantangan Ijtihad di Era Modern
Ijtihad menjadi pilar penting dalam menghadapi perubahan zaman, di antaranya:
1. Menjawab problematika baru, seperti bioetika, keuangan syariah, teknologi informasi, hingga hukum lingkungan.
2. Menjaga relevansi hukum Islam, agar tetap ṣāliḥ li kulli zamān wa makān (sesuai untuk setiap tempat dan waktu).
3. Mencegah pembekuan pemikiran, karena syariat yang hidup harus selalu berinteraksi dengan akal dan realitas.
4. Namun, tantangan ijtihad di masa kini cukup besar. Di satu sisi, muncul pandangan ekstrem bahwa “pintu ijtihad telah tertutup,” sementara di sisi lain ada penyalahgunaan istilah ijtihad oleh orang yang belum memenuhi syarat. Karenanya, ulama menegaskan pentingnya ijtihad yang mu‘tamad (berotoritas), dilakukan oleh ahli yang menguasai disiplin ushul dan fiqh secara mendalam.
Kesimpulan
Ijtihād dalam ushul fiqh merupakan sarana dinamis yang menjaga fleksibilitas syariat di tengah perubahan zaman. Ia adalah hasil perpaduan antara ilmu, ketakwaan, dan kecerdasan analisis seorang mujtahid. Tanpa ijtihad, hukum Islam akan berhenti pada teks; dengan ijtihad, hukum Islam hidup dan menuntun umat menuju kemaslahatan. Sebagaimana dikatakan Imam Ibn al-Qayyim, “Syariat seluruhnya adalah keadilan, rahmat, maslahat, dan hikmah. Maka setiap perkara yang keluar dari keadilan kepada kezaliman, dari rahmat kepada kebalikan, dari maslahat kepada mafsadat, bukanlah bagian dari syariat.”
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI