Mohon tunggu...
Anisa Eka Putri
Anisa Eka Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Mataram

suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perbandingan Pendidikan Islam: Menjembatani Nilai dan Inovasi di Tengah Arus Zaman

5 Juni 2025   21:43 Diperbarui: 5 Juni 2025   21:43 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di tengah derasnya arus modernisasi, pendidikan kerap terjebak dalam dilema: apakah harus tetap bertahan menjaga akar tradisi atau menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman? Pendidikan Islam pun tak luput dari perdebatan ini. Di satu sisi, warisan keilmuan Islam yang kaya dengan nilai spiritual dan moral tidak bisa dipisahkan dari sejarah peradaban umat. Di sisi lain, dunia yang semakin kompleks menuntut peserta didik untuk memiliki kecakapan abad 21 --- dari literasi digital hingga pemikiran kritis.

Sebagian lembaga pendidikan Islam masih memegang erat metode klasik seperti hafalan, talaqqi, dan bandongan. Model ini, yang diwarisi dari pesantren dan institusi-institusi tradisional, telah membentuk karakter religius, kedalaman spiritual, dan ikatan emosional antara guru dan murid. Namun, banyak juga institusi pendidikan Islam masa kini yang mulai mengintegrasikan kurikulum modern, teknologi digital, dan pendekatan lintas disiplin, seperti pembelajaran berbasis proyek dan pemikiran kritis.

Sayangnya, dua pendekatan ini sering kali terkesan berjalan sendiri-sendiri. Yang satu dipandang terlalu konvensional, kurang adaptif terhadap teknologi. Yang lain dianggap kehilangan ruh nilai-nilai Islam. Maka muncul pertanyaan: mungkinkah keduanya disatukan? Bisakah pendidikan Islam menjadi ruang sinergi antara tradisi dan inovasi?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perbandingan pendidikan Islam di berbagai negara menjadi sangat relevan. Dua contoh penting bisa dilihat dari Singapura dan Mesir, dua negara yang sama-sama memiliki sistem pendidikan Islam, namun dengan pendekatan yang berbeda secara karakteristik dan orientasi.

Singapura, meskipun negara minoritas Muslim, berhasil membangun sistem pendidikan madrasah yang modern dan terukur. Melalui kerangka Madrasah Education Programme (MEP), pemerintah Singapura tidak hanya mengatur agar kurikulum agama terstruktur, tetapi juga memastikan bahwa pelajar madrasah memiliki kemampuan akademik setara dengan pelajar sekolah umum. Banyak madrasah di Singapura mengadopsi kurikulum ganda: kurikulum keislaman yang mendalam dan kurikulum nasional Singapura yang fokus pada sains, matematika, serta literasi teknologi. Hasilnya, lulusan madrasah bisa melanjutkan pendidikan tinggi baik di universitas Islam seperti Al-Azhar maupun di kampus umum seperti National University of Singapore (NUS).

Sebaliknya, Mesir adalah rumah bagi salah satu institusi Islam tertua di dunia, yaitu Al-Azhar. Pendidikan Islam di Mesir sangat dipengaruhi oleh sistem klasik berbasis kitab kuning, talaqqi, dan sanad keilmuan. Namun, dalam dua dekade terakhir, Al-Azhar telah melakukan banyak reformasi kurikulum, termasuk memasukkan ilmu-ilmu kontemporer, bahasa asing, dan penguatan logika berpikir kritis dalam pendidikan menengah hingga universitas. Meskipun tetap menjaga otoritas keagamaan, Al-Azhar kini berupaya menjangkau relevansi global. Bahkan, sejak 2017, pemerintah Mesir mendorong integrasi teknologi dalam pembelajaran, termasuk penggunaan platform daring untuk kuliah jarak jauh.

Sementara itu di Indonesia, wajah pendidikan Islam sangat beragam. Kita punya ribuan pesantren, madrasah, sekolah Islam terpadu, hingga universitas Islam negeri yang masing-masing memiliki pendekatan berbeda. Ada yang sangat tradisional dan menjaga keutuhan metode klasik, ada pula yang sangat modern dengan label internasional. Namun, tantangan utama di Indonesia adalah ketimpangan kualitas, baik dari sisi kurikulum, sumber daya manusia, maupun fasilitas. Di sinilah pentingnya belajar dari negara lain: bagaimana mereka memadukan nilai dan inovasi dalam satu sistem yang saling menguatkan.

Kajian perbandingan pendidikan Islam bukan hanya soal melihat siapa lebih unggul, tetapi soal memahami praktik-praktik baik dan kemungkinan adopsinya secara kontekstual. Tradisi bukan berarti menolak teknologi, dan inovasi tak harus mengorbankan nilai. Tantangan ke depan justru terletak pada merancang sistem yang utuh, yang bisa membentuk manusia berilmu sekaligus berakhlak.

Pendidikan Islam tak harus memilih menjadi klasik atau modern. Ia bisa menjadi keduanya. Bisa menjadi jalan tengah yang dinamis, adaptif, dan tetap setia pada jati diri. Maka dari itu, membangun dialog antar sistem pendidikan Islam dari berbagai negara bukanlah upaya membandingkan untuk saling menilai, tetapi langkah strategis untuk menimba inspirasi dan membangun masa depan pendidikan yang kokoh di atas ilmu dan nilai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun