Ini malam ke dua aku tidur tanpa alas dengan ayah dan bunda di atas kepala. Dua cahaya dengan pesona tak lekang masa yang rela untukku pertaruhkan nyawa. Baru dua hari kutemani, bayangkan betapa terjaga mereka ketika aku balita.
Dua kepala bermahkota putih cahaya dalam satu jalinan lelap bersama. Terjaga pun karena panggilan jiwa menyapa. Sakit satu mendera, ikut pula pendampingnya. Satu rasakan lara, satu menghiburnya pun sebaliknya.
Aku belajar, berdasar kesaksian. Dari dua pandang mata yang tak henti mengalirkan cinta. Bukan lagi tentang sabar sebagai tantangan, telah lewat masa itu dirasakan menjadi ujian. Â Dua tautan jiwa itu saling menikmati meski kesaksian yang mereka alami adalah penderitaan.
" Dunia hanya penjara sementara." Begitu kata bunda saat kutanya, tak mengapakah hidup dalam sakit mendera? Dengan obat yang tak boleh telat, dengan bantuan alat bantu kehidupan? Lara ini adalah penjaranya. Peluntur kesalahan, bila terima dalam kepasrahan.
Kusaksikan saling tatap saling senyum dilempar, saat reda, saat makin parah pun. Aku terpesona, inginku akhiri indah dunia seperti mereka, dalam cinta pada belahan jiwa. Dalam kepasrahan hidup pada Rabbnya. Atas nama cinta, atas nama Tuhan saja.