Akhirnya aku hanya tertunduk lesu, menitik air mata ini mengingat separuh hati yang telah pergi, lelaki, ah lelaki.
Kameranya di masukkan ransel. Pelan dia berjalan mendatangiku, diulurkan tissue, kuusap tangis di pipiku.
Tak ada lagi tawa kurang ajar. Suaranya pelan, manis bertanya," Kenapa mbak?"
"Tolong hapus fotoku yah?"
" Kenapa?"
" Wajahku jelek kan? Â Aku malu."
"Hahaha, justru jelek itu yang menarik."
" Kau ini siapa? Kenapa pula rupa jelek bisa menarik?"
"Di sini panas mbak, kita duduk di sana yah, nanti ku jelaskan!" Tangannya menunjuk pada pohon beringin tua penunggu sungai ini.
Aku menurut, membuntuti langkahnya, mengambil tempat duduk di  akar  beringin, sejuk, tangannya di ulurkan, "  Kenalan dulu mbak".
Aku mengatupkan tangan, " maaf aku tidak bersalaman dengan lelaki ."
"Wow, Mbak berbeda yah, saya  Jagat, biasa dipanggil Jek. Mbak siapa?"