Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Balada Perempuan Pemanjat Kelapa

7 Desember 2018   05:44 Diperbarui: 7 Desember 2018   05:53 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Berharap hadir lagi nama lelaki adalah kemungkinan yang kuhindari. Cinta rinduku tlah tunduk pada lelaki mulia yang telah lama hilang, berpulang.  Tak ada yang bisa menggantikan, aku sepi di tengah hiruk pikuk rayu bujang tampan dari segala penjuru mata keriuhan.

Sampai dia datang, Jurnalis muda itu begitu menawan, tidak kolokan,  hanya ingin buat hatiku senang.
" Mbak, coba lihat sini! " Serunya siang kala itu, saat lomba panjat pinang di lapangan kecamatan, memperingati tujuh belasan.

Aku yang sedang di puncak tiang hanya berani menoleh, dia dengan bertubi memotret jeprat-jepret membidik mukaku yang belepotan hitam oli dan angus, tak ada sedikitpun cantik atau manis kupamerkan, tapi dia malah tertawa senang. Duh, tanganku meraih satu gandul hadiah, ih dapat gayung kamar mandi. Langsung kutimpukkan padanya.

 Dia tertawa cekikikan menghindar. Selanjutnya ada wajan, sapu korek, sapuijuk, sendal sepasang bertebaran, ke mukanya, tapi dia selalu bisa sigap menangkis. 

Serasa hitam padam aku dibuatnya, bukan merah padam, karena mukakupun penuh dengan warna hitam. Bergegas aku melorot, kaki saja, celanaku aman tak ikut melorot, tadi sudah kuambil tali rafia untuk mengencangkan. Tak kuhiraukan orang - orang dibawahku yang terjengkang. Mereka berteriak marah kesakitan. 

Aku hanya fokus pada pemuda kurang ajar itu, yang berani mengambil gambarku saat posisi memeluk tiang, ya hanya aku satu satunya wanita yang berhasil memanjat tiang sampai ke puncak, karena pesertanya cuma aku seorang.

Tetangga laki-laki yang mestinya ikut jadi peserta menyerahkan tanggung jawab ikut lomba padaku, itu berkat profesiku yang sehari-hari juga pemanjat kelapa. Bukan sok tomboy atau maskulin, tapi ketrampilan itu warisan leluhur, tak boleh dilenyapkan begitu saja, aku satu satunya anak emak dan bapak, maka terpaksa aku jadi pewaris tunggal. 

Atau kalau tidak maka aku akan terantuk kutukan menjadi perawan tua yang tak laku laku. Ih, siapa mau. Meski aku kini hidup sendiri, tapi kan aku pernah menikah, jadi masih laku lah.

Dia, yang memotretku tadi  berlari kencang, ternyata dia bukan warga kampungku, jadi  tak tahu seluk beluk jalan berliku,  sampai di bibir sungai dia berhenti, tak melanjutkan.  Aku  di atas angin, kamera yang tadi dipegang melambai dipamerkan, kedua tangannya telentang menantang, menghadapkan badan ke arahku. 

Aku terdiam, tak mampu melanjutkan selangkahpun. Ah, aku wanita meski tampaknya dia jauh lebih muda tapi rasa malu melarangku, dilarang menyentuh lelaki.  kalau nekat kulakukan pasti perebutan itu akan menghasilkan sentuhan, pergulatan.

"Kenapa mbak? Kenapa berhenti? Ayo ! ini ambil kameranya!" Makin menantang dia.

Akhirnya aku hanya tertunduk lesu, menitik air mata ini mengingat separuh hati yang telah pergi, lelaki, ah lelaki.

Kameranya di masukkan ransel. Pelan dia berjalan mendatangiku, diulurkan tissue, kuusap tangis di pipiku.
Tak ada lagi tawa kurang ajar. Suaranya pelan, manis bertanya," Kenapa mbak?"


"Tolong hapus fotoku yah?"

" Kenapa?"

" Wajahku jelek kan?  Aku malu."

"Hahaha, justru jelek itu yang menarik."

" Kau ini siapa? Kenapa pula rupa jelek bisa menarik?"

"Di sini panas mbak, kita duduk di sana yah, nanti ku jelaskan!" Tangannya menunjuk pada pohon beringin tua penunggu sungai ini.

Aku menurut, membuntuti langkahnya, mengambil tempat duduk di  akar  beringin, sejuk, tangannya di ulurkan, "  Kenalan dulu mbak".

Aku mengatupkan tangan, " maaf aku tidak bersalaman dengan lelaki ."

"Wow, Mbak berbeda yah, saya  Jagat, biasa dipanggil Jek. Mbak siapa?"

" Panggil Mbak saja, pliis yah, tolong hapus foto saya."

" Emh, gini ya mbak, saya cuma melaksanakan pekerjaan, saya sedang meliput kegiatan tadi, seru lomba tujuh belasan, gambar itu untuk ilustrasi, ini saya tunjukin yah, mbak boleh pilih yang berkenan, sebetulnya untuk ukuran berita saya mau pakai yang paling dramatis, tapi khusus  buat mbak,  biar gak nangis, pilih saja, nanti yang lain saya hapus." Kamera di ranselnya dikeluarkan, berpindah ke tanganku.

Pantesan, jadi Jagat atau Jek, lelaki gondrong berwajah seperti Iwan Fals itu wartawan. Satu persatu gambar kulihat, lucu- lucu,  mulai saat aku menoleh, menimpuki dia dengan macam macam barang, sampai ketika aku melorot, menerjang orang-orang  dibawahku hingga terjengkang. Aku tersenyum, kupilih saat melemparkan barang ke bawah, yang tak terlihat wajahku.

"Baiklah mbak, tapi yang lain ku simpan yah, mbak terlalu manis untuk dilupakan!"
Hlah.

*****
Pertemuan itu adalah permulaan  aku mengenalnya. Hari-hariku berlalu dengan chat bersamanya jelang tidur, sekedar  menyapa saja, bertanya sedang apa, sudah makan apa  belum, sama siapa di rumah, pipis dulu sebelum tidur biar gak ngompol,  sampai ucapan selamat tidur.
Hingga suatu saat hari yang kukhawatirkan itu datang. Dia ada tugas meliput lagi kegiatan karnaval di daerahku.

" Mbak, aku besok mampir , pagi-pagi sekali, mau minta sarapan, jangan berangkat manjat kelapa dulu ya?"

" Oh, kau mau ke rumah? Baiklah, kan kubuatkan sarapan untukmu, kau suka kubuatkan apa? "

" Apa saja asal dari tangan mbak, aku suka yang buat, bukan yang dibuat, okey,  tunggu saya."

Aku selalu menjawab dengan emo tertawa kalau dia sudah menjurus ke sana, kupikir hanya bercanda saja. Dia tahu aku sudah bukan gadis lagi, lebih tua jauh malah, tak mungkin dia suka padaku, meski hari-hari ku tanpa jeda chat dengan dia selalu.

Hari itu tetiba aku jadi genit, bangun tidur ku terus mandi, biasanya manjat kelapa dulu, mematut diri di depan cermin, belum ada kerutan kok, hanya sehelai uban yang kalau kututup jilbab tak kelihatan. 

Memoleskan bedak tipis, lipstik juga, " duhmanisnya" kupuji diriku sendiri di depan cermin.

Tumben, hari itu aku ingin memakai gaun, feminin, kelihatan banget aura wanitanya.

Masih pukul 6 ketika kudengar ketukan pintu. Benar dia telah datang, rambut gondrongnya diikat ke belakang, klimis, bersirobok mataku dengannya, aku tersipu, dia tampan.

Kupersilahkan dia duduk di ruang tamu. " Sebentar, kuambilkan kopimu, tadi sudah kubuatkan."

Hanya senyum dan anggukan penanda jawaban. Secangkir kopi telah dia minum,
" Mbak nanti habis ngliput aku mau ajak kau ke rumahku."

" Hah, buat apa?"

" Mau kukenalkan sama Mamah, dia nanya mulu pacarku siapa?"

" Aku, pacarmu?"

" Ya iyalah, kenapa? Ada masalah?"

" Ah, eh, enggak Jek, apa Mamamu tidak menentang?"

" Enggak, Mama sih serah aku saja Mbak,  asal aku senang, sudah kepingin punya mantu katanya, biar ada teman bertengkar, hehehe." 

Ya Tuhan, aku tidak tahu mengiyakan atau menolak, pohon kelapaku, siapa yang akan memanjat kalau aku pergi dari rumah ini? Gejolak batin sepertinya tak kuasa menolak. Tapi pohon kelapa itu pun merayu. Seperti lagu, Rayuan Kelapa untukku.

Ngroto, pagi merayu pergi, 07122018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun