Pendahuluan
Di tengah arus globalisasi yang semakin deras, di mana budaya-budaya lokal berhadapan dengan dominasi budaya populer dari barat, tugas menjaga dan melanjutkan tradisi leluhur menjadi semakin krusial terutama bagi minoritas agama seperti Hindu di Indonesia. Bagi umat Hindu, khususnya di Bali dan sekitarnya, generasi penerus bukan sekadar pewaris warisan spiritual, tetapi juga penjaga dan penggerak keberlangsungan budaya yang telah berusia ribuan tahun.ini berfokus pada pentingnya peran generasi muda Hindu dalam mempertahankan tradisi yang kaya, bukan dengan cara menutup diri, tetapi dengan mencintai, memahami, dan merasa bangga terhadap akar budaya mereka.
Mengenal Identitas sebagai Pondasi
Setiap generasi penerus memiliki tugas yang tidak bisa dibebankan pada orang lain: memahami siapa mereka, darimana asal mereka, dan apa nilai-nilai yang membentuk keberadaan mereka. Bagi generasi muda Hindu, ini berarti memahami Dharma, Karma, dan Moksha bukan hanya sebagai konsep agama, tetapi sebagai panduan hidup yang membentuk cara berpikir, berperilaku, dan memaknai kehidupan.Saat muda, kita sering terjebak dalam konflik antara keinginan modern kebebasan, penjelajahan, gaya hidup individual dan kewajiban tradisional seperti upacara, pemujaan di pura, serta adat istiadat keluarga. Perlawanan terhadap tradisi sering kali digambarkan sebagai pemberontakan terhadap otoritas. Namun, refleksi yang mendalam mengungkapkan bahwa tradisi bukan hambatan, melainkan jalan yang membawa kita pulang pada diri sejati.sebagaimana disebut dalam Imajinasi Nusantara: Budaya Lokal dan Pengetahuan (FES, 2010), budaya dan tradisi penting agar generasi muda memahami akar budaya dan pandangan dunia (world view) yang sudah lama terbentuk. Dalam konteks Hindu, ini berarti memahami bahwa dunia adalah Sankarapenuh kesatuan, tak terpisahkan dari alam dan Tuhan. Saat generasi muda memahami ini secara hati, bukan hanya otak, mereka tidak akan merasa tersiksa oleh ritual, tetapi merasa diterima, dipahami, dan bernilai.
Tradisi sebagai Kebanggaan, Bukan Beban
Kebanggaan terhadap identitas Hindu bukanlah sikap nasionalisme buta terhadap agama, melainkan pengakuan atas keindahan dan kedalaman filosofi Hindu yang telah berkontribusi signifikan terhadap keseimbangan sosial dan spiritual di Nusantara. Maukah kita mengklaim bahwa seni tari Kecak, musik gamelan, atau arsitektur pura yang menghiasi kawasan Bali adalah milik kita, sementara kita tidak tahu maknanya? Maukah kita membanggakan karya seni tanpa sadar bahwa mereka adalah ekspresi dari kepercayaan yang telah hidup selama abad-abad?Kebanggaan yang otentik muncul ketika generasi muda mulai mengalami tradisi dengan cara yang personal dan bermakna. Seorang pemuda yang dengan penuh perhatian menyiapkan canang sari (persembahan kecil) di depan altar, bukan karena diwajibkan, tetapi karena menyadari bahwa tindakan itu adalah bentuk gratitude terhadap kehidupan, sedang mengaktifkan rasa bangga. tidak hanya menjalani tradisi tetapi menghidupkannya.Dalam konteks multikulturalisme dan kearifan lokal (seperti yang dibahas dalam studi UHAMKA, 2021), pentingnya menjaga kontinuitas budaya tidak hanya mempertahankan identitas kelompok, tetapi juga memungkinkan evolusi dan adaptasi budaya itu sendiri. Tradisi yang hidup adalah tradisi yang dilalui, bukan yang dijadikan patung. Jadi, kebanggaan bukan berarti kaku dan stagnan, melainkan penuh kreativitas dalam menjaga esensi.
Generasi Muda sebagai Penjaga Spiritual dan Budaya
Generasi penerus Hindu tidak lagi bisa hanya menjadi penonton dalam ritual mereka harus menjadi pemain aktif. Melihat fenomena di Bali saat ini, di mana pemuda mulai mengambil peran dalam penyelenggaraan upacara keagamaan, memimpin prosesi, bahkan merancang konten untuk media sosial yang memperkenalkan budaya Hindu secara edukatif, adalah bukti bahwa generasi muda sedang menciptakan bentuk baru dari keberlanjutan tradisi.Peran ini bukan hanya sakral, tapi juga politik dalam pengertian yang luas. Dalam masyarakat yang plural, memperjuangkan hak untuk beragama dan mempraktikkan tradisi adalah bentuk perlawanan terhadap asimilasi paksa atau penghilangan identitas. Jika generasi muda Hindu tidak mengambil alih narasi tradisi, maka tradisi itu akan didefinisikan oleh pihak lain pemerintah, akademisi, atau bahkan media yang mungkin memahami dengan cara yang dangkal atau bahkan distorsi.Kepemimpinan generasi muda harus dibangun dari dua pilar: pengetahuan dalam dan keberanian luar. Pengetahuan dalam berupa pemahaman mendalam mengenai ajaran Hindu, aksara, mantra, filsafat, dan sejarah keagamaan. Keberanian luar berarti berani bersuara, berani menunjukkan identitas tanpa rasa takut, menolak stereotip bahwa Hindu adalah budaya yang “kuno” atau “tidak relevan” di era digital.Kita bisa lihat contoh inspiratif: pemuda Hindu yang mengembangkan aplikasi digital temple guide di Bali, yang membantu pelancong dan umat lokal memahami makna setiap prosesi. Atau komunitas pemuda yang mengadakan festival budaya Hindu di luar Bali, bukan sebagai pertunjukan eksternal, tapi sebagai bentuk pengakuan bahwa Hindu bukan hanya “agama Bali”, tapi warisan Nusantara yang menyebar.
Bukan Antagonis, tapi Kemitraan
Mungkin tantangan terbesar generasi penerus Hindu adalah menciptakan ruang di mana tradisi dan modernitas tidak saling berlawanan, tetapi saling melengkapi. Di era digital, anak muda ingin mengekspresikan diri melalui musik, mode, seni, bahkan aktivisme. Bagaimana jika tradisi kita juga bisa menjadi sumber inspirasi dalam ekspresi modern itu?Bayangkan seorang desainer muda yang menciptakan koleksi busana berbentuk sedekah (baju khas Hindu) dengan sentuhan gaya streetwear. Atau seorang musisi yang menggabungkan nada gamelan dengan musik elektronik, menghadirkan Sangeet dalam bentuk digital trance. Ini bukan penghancuran tradisi, tapi transformasi yang penuh hormat.Seperti yang diamati dalam studi Prosiding International Conference on Indonesian Culture (2023), perubahan budaya—sebagai contoh dari pergeseran dari sagu ke beras di masyarakat Mentawai tidak selalu berarti kehilangan. Jika diarahkan dengan penuh kesadaran, perubahan bisa menjadi bentuk kehidupan tradisi yang hidup dan adaptif. Generasi penerus Hindu pun harus menjadi perintis dalam melihat perubahan bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk menampilkan keindahan tradisi dengan cara yang baru.
Refleksi Pribadi