Mohon tunggu...
Yan Sriw
Yan Sriw Mohon Tunggu... Guru - Keep calm and stay cool

Rencana-Nya, pasti lebih baik dan lebih indah... Trust in Him...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta yang Hilang

20 Mei 2016   22:13 Diperbarui: 20 Mei 2016   22:29 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak ku sangka, setelah 12 tahun berlalu aku melihat lagi wajahnya. Ketika aku sedang sibuk memungut beberapa sayuran yang jatuh dari kantong plastik yang aku tenteng. Pada saat aku mengangkat wajah, sepintas aku melihat seraut wajah yang sangat tidak asing di dalam memori otakku. Meski sudah belasan tahun lalu, tapi wajah itu sungguh tidak asing walau sepintas. Spontan saja ku kembali memalingkan wajah kearahnya. Tiba-tiba saja... kakiku seperti terpaku kedalam bumi. Langkahku menjadi sangat berat, perasaanku entah apa yang aku rasakan. Pelan tapi pasti ku masih mampu menyebutkan sebuah nama. ‘’Kang Bektiiii…..” suaraku pelaan, bibirku gemeteran. 


Di tepi jalan aku masih terpaku menatap sosok yang sedang memarkirkan motornya. Tak terasa butiran hangat jatuh menyusuri kedua pipiku. Mataku seolah tidak lagi mampu berkedip. Saat itu juga ingatanku menerawang kebelasan tahun lalu, dimana hari-hariku lalui bersamanya. Dia separuh jiwaku, meski kini lama tidak bersama namun dia masih separuh jiwaku. Belasan tahun aku bernafas dengan sebelah hidungku, berdiri dengan sebelah kakiku, melihat dengan sebelah mataku. 


Air mataku semakin deras, ingin rasanya aku berlari ke arahnya dan memeluknya. Ingin sekali aku curahkan segala perasaan yang aku alami selama itu. Kegalauanku memuncak, namun apalah daya…kupaksakan kedua kaki ini menjauh, perlahan ku memalingkan wajah. Ku tertunduk sepanjang jalan, air matapun mengalir deras. 


Sesampai di rumah aku lempar kantong yang berisi sayuran yang ku beli dipasar tadi. Terdengar samar adikku berkata-kata, tapi telingaku tak sanggup mendengar apa-apa. Badanku yang terasa melayang kupaksakan berjalan menuju kamarku. Badanku ambruk di atas kasur, mataku terpejam merasakan kepedihan yang selama ini aku pendam… Tak lama terdengar adikku masuk kamar. Ia duduk disebelahku berbaring, “teteh kenapaa?” suaranya pelan. Aku tak ingin berkata-kata, karena aku pasti tidak akan sanggup berkata-kata. 


“Teehh…teteh sakit?” aku membuka mata, ku tatap wajah adikku yang munggil. Sepertinya adikku baru ngeuh kalau mataku sembab dan merah. Ia terperanjat dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. 


“Teteh ada apaaaa???” pertanyaan yang seolah membuatku harus memberikan jawaban berupa tusukan samurai kedadaku sendiri. Aku terdiam, adikku semakin penasaran “Teh Windha, bicaralah…ada apa?”. Sungguh tak tertahan lagi, tangispun membuncah dari mulutku. Aku mecoba menahana tangis supaya tidak pecah, namun aku tak sanggup, terlalu berat beban yang aku rasakan. Terasa tangan adikku memegang kedua tanganku. Terdengar dia berbisik di telingaku “kalo sekiranya tangisan bisa meredakan apa yang Teteh rasakan,…menangislahhh…!!!” terasa ia melepaskan tanganku dan beranjak kelur dari kamar.


Perlahan ku buka mata, ku lirik jam dinding yang tak hentinya berdetak. Jarum jam panjang menuju angka 4 dan yang pendek menuju angka 12 lewat. Aku mencoba untuk bangun meski badanku terasa lemaas. Terdengar adikku yang sedari tadi terduduk di tepi ranjang. “kemanaaa?” ku jawab perlahan bahwa aku belum sholat.


Bada sholat adikku membawakan aku segelas teh manis dan sepiring nasi beserta ikannya. Ku teguk teh manis yang masih agak panas. Kulihat wajah adikku yang tak berhenti menatapku. Aku tau bahwa tentunya dia sangat penasaran denga apa yang terjadi.
Meski terasa berat aku coba menyampaikan sepatah kata “Subekti...” kataku. Adikku sontak saja dia bengong dan membelalakan matanya “maksudnya?”


“Aku tadi pagi melihatnya di pasar....”
“Dia melihat Teteh ngak?” dengan mimik antusias adikku memotong pembicaraanku. Aku gelengkan kepala pelan, aku sungguh malas berbicara, tapi adikku terus mendesakku.


“Apa Teteh masih terus mengingatnya?? belum bisa melupakan dia??” aku terdiam, entah aku harus bicara apa, karena itulah adanya. Aku masih sangat mencintai suamiku, meskipun aku tak tau lagi apakah kami masih suami istri atau bukan. 


Terdengar adikku berbicara lagi dengan sedikit lantang "Apa yang bisa Teteh harapkan dari laki-laki penakut seperti dia? Dia lebih menurut pada ibunya dari pada menjalankan kewajibannya sebagai suamimu... belas-belas tahun Teteh lewatkan hanya berharap dia kembali ke rumah ini lagiii???? kalo memang dia masih menyayangimu sejak ibunya meninggal dia seharusnya sudah sedari dulu mencarimu, Teh. Tidak jadi alasan meski dia sudah menikah lalu dia mengabaikanmu, saat itu kan Teteh juga masih istrinya..." kulihat mata adikku berkaca-kaca. Dia pasti ikut terluka sebagai adik yang tau sejak awal perjalanan kami. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun